PWMU.CO – Baru-baru ini dunia persekolahan digemparkan oleh usulan seorang pengusaha bernama Setyono Djuandi Darmono pada Presiden Jokowi. Pengusaha ini mengusulkan agar pendidikan agama ditiadakan di sekolah-sekolah negeri.
Jika kita cermati, usulan ini sebenarnya konsisten dengan tujuan persekolahan yang tidak pernah dinyatakan secara resmi dalam dokumen-dokumen pendidikan: untuk menyiapkan sebuah masyarakat dengan budaya yang dibutuhkan bagi masyarakat industri dan sekuler. Bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Persekolahan sejak diciptakan sekitar 200 tahun lalu di Inggris memang dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga kerja trampil untuk menyongsong industrialisasi besar-besaran. Pak Darmono sebagai pengusaha kawasan industri Jababeka sangat berkepentingan dengan mesin penghasil tenaga kerja trampil produk persekolahan seperti ini.
Sejak Orde Baru, persekolahan paksa masssal adalah instrumen teknokratik yang dibutuhkan oleh industrialisasi melalui investasi, terutama investasi asing. Persekolahan bersama televisi membentuk budaya konsumtif dan hutang yang menjadi tulang punggung masyarakat industri. Hal ini tidak pernah diungkapkan secara resmi oleh Pemerintah. Hoax yang paling berbahaya bukan menyebarkan kebohongan, tapi menyembunyikan kebenaran dari publik.
Oleh pak Darmono, pendidikan agama dinilai membahayakan karena berpotensi memecah belah bangsa. Yang tidak dikatakan beliau adalah bahwa pendidikan agama berpotensi memerdekan jiwa murid yang bertentangan dengan budaya patuh dan disiplin yang diciptakan persekolahan paksa massal. Kemerdekaan jiwa tidak pernah dikehendaki oleh pemerintah dan investor besar, terutama investor asing.
Persekolahan tidak pernah dirancang untuk membentuk jiwa merdeka yang dibutuhkan untuk membangun kemandirian. Ini bertentangan langsung dengan wasiyat Ki Hadjar Dewantoro.
Ki Hadjar mengajarkan bahwa tujuan pokok pendidikan adalah membentuk jiwa merdeka yang menjadi syarat budaya bagi bangsa yang merdeka. Tujuan ini secara terstruktur, sistematik, dan masif hilang dalam dokumen perencanaan pembangunan pendidikan. Jiwa merdeka diganti dengan akhlak mulia, daya saing, dan kompetensi. Bagaimana mungkin karakter jujur, amanah, peduli, dan cerdas bisa tumbuh dalam jiwa yang terjajah?
Namun Ki Hadjar juga mengingatkan bahwa pendidikan itu ditopang oleh tiga pilar: keluarga, masyarakat, dan perguruan atau persekolahan. Bahkan persekolahan dalam visi Ki Hadjar tidak ditempatkan di urutan pertama. Dominasi persekolahan dalam pendidikan saat ini tidak sesuai dengan wasiyat Ki Hadjar.
Jika usulan Pak Darmono ini diterima, maka pendidikan agama harus disediakan oleh masyarakat—untuk umat Islam adalah masjid—dan keluarga secara mandiri. Ini kabar baik sekaligus tantangan bagi umat Islam khususnya. Umat Islam perlu percaya diri dengan memperkuat kapasitas pendidikan keluarga dan masyarakat untuk melepaskan ketergantungannya pada persekolahan sebagai agen sekulerisasi masyarakat.
Pada saat kehidupan beragama dan ekspresi keagamaan dijamin oleh konstitusi, maka jika pemerintah masih sibuk mengintervensi keluarga dan masyarakat dalam menyediakan pendidikan alternatif, termasuk pendidikan agama, maka agenda Pak Darmono ini adalah agenda neokomunis seperti yang terjadi di Xinjiang (Uighur), RRC. Kalau itu terjadi, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam Indonesia kecuali untuk melawan agenda inkonstitusional ini. (*)
Gunung Anyar, 9 Juli 2019
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya
Discussion about this post