
PWMU.CO – Sekelompok ibu-ibu baru saja usai mengikuti kegiatan pengajian. Sejurus kemudian, beberapa di antara mereka mengikuti shalat Jumat di masjid tempat acara diselenggarakan. Namun, sebagian lainnya shalat sendiri empat rakaat seperti halnya shalat Dhuhur yang biasa dilakukan.
Bagi sebagian kalangan, pemandangan ini menimbulkan kebingungan. Bagaimana sebenarnya hukum shalat Jumat atau Jumatan bagi perempuan, juga konsekuensi-konsekuensi lain yang ditimbulkan?
Perintah menunaikan shalat Jumat didasarkan pada Alquran surat Aljumu’ah ayat sembilan: “Ya ayyuha al-ladzina amanu idza nudiya lil al-shalati min yaumi al-jumu’ati fas’aw ila dzikrillah…”
Khitab atau alamat yang dituju oleh ayat tersebut bersifat umum meliputi semua orang beriman, laki-laki maupun perempuan. Dengan mengacu pada kaidah yang menyatakan bahwa dalil umum tetap berlaku pada keumumannya sampai ada dalil lain yang mengkhususkan, maka perlu dicari adakah dalil lain yang menunjukkan perempuan dikecualikan dari kewajiban Jumatan.
Menurut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim Dr Syamsuddin MA, hadits Nabi riwayat Abu Daud dari Thariq bin Syihab adalah bentuk pentakhsisan atau pengecualian. Yakni budak, anak-anak, orang sakit, dan perempuan. Dengan demikian, dia berkesimpulan bahwa Jumatan tidak wajib bagi perempuan. KH Mu’ammal Hamidy, KH Ahmad Munir, dan Dr Zainuddin MZ termasuk yang berpendapat demikian.
Memang status haditsnya sempat diperdebatkan. Pasalnya menurut Abu Daud, yang juga ditegaskan oleh Imam an-Nawawi bahwa Thariq bin Syihab tidak pernah mendengarnya langsung dari Nabi, sehingga dikategorikan hadits mursal. Sementara hadits mursal secara umum merupakan bagian dari hadits dhaif yang tidak memadai sebagai hujjah agama.
Namun Syamsuddin beralasan, karena yang melakukan adalah sahabat Nabi atau Mursal Shahabiy, maka menurut kesepakatan para ulama ahli hadits dinilai memadai sebagai hujjah agama. Apalagi Al-Hakim meriwayatkan hadits tersebut dari Thariq bin Syihab dari Abi Musa al Asy’ari. “Nah, ketahuan yang diirsalkan olehnya adalah Abu Musa. Jadi haditsnya sahih, yuhtajju bihi,” tandas Syamsuddin.
Sementara menurut Mu’ammal Hamidy, kehujjahan hadits tersebut bisa terangkat karena realitas. “Jika hadits tersebut lemah, betapa sulitnya Jumatan bagi si sakit, dan perempuan yang mengurusi rumah, juga anak-anak,” dia menambahkan.
Jika Jumatan disepakati tidak wajib alias sunah bagi perempuan, lalu apakah kembali pada shalat Dhuhur yang empat rakaat atau cukup dua rakaat? Bagaimana pula jika telah melakukan shalat Jumat, masih haruskah shalat Dhuhur?
Menurut Ustadz Mu’ammal, kembali pada hukum asal, yakni shalat Dhuhur empat rakaat. Shalat Jumat memang pengganti shalat Dzuhur, namun tata caranya tersendiri, bukan Dhuhur yang diringkas.
Syamsuddin juga sependapat bahwa bagi golongan yang tidak menghadiri Jumatan, melaksanakan shalat Dhuhur empat rakaat. Ada dua alasan yang dia kemukakan. Pertama, shalat Dhuhur diwajibkan mendahului wajibnya shalat Jumat, sehingga yang tidak wajib shalat Jumat harus kembali pada wajibnya Dhuhur.
Kedua, pelaksanaan ibadah harus sesuai dengan khitab-nya. Khitab atau yang dituju oleh ayat perintah Jumatan adalah golongan yang wajib Jumatan saja. Golongan yang tidak wajib Jumatan, tentu terkena khitab wajibnya shalat Dhuhur.
Sementara bagi yang sudah melakukan shalat Jumat, menurut Syamsuddin tidak boleh shalat Dhuhur, karena yang demikian ini bidah. Mengingat shalat Jumat adalah pengganti shalat Dhuhur. Disamping itu, shalat fardlu hanya lima kali sehari semalam, bukan enam kali. Shalat Jumat disebut sebagai pengganti shalat Dhuhur, kata ustadz Mu’ammal, karena ternyata tidak ada riwayat bakda Jumatan harus shalat Dhuhur. (*)
Kolom oleh Ustadz Nadjib Hamid MSi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.
Discussion about this post