
PWMU.CO – Sepasang suami-istri hampir putus asa. Gara-garanya, mereka telah lama menikah, tapi belum dikaruniai putra. Beragam cara telah dicoba, namun tetap nihil hasilnya. Suatu ketika, pasutri itu bertemu teman lamanya dan disarankan untuk mencoba program bayi tabung seperti dia. “Coba ikut program bayi tabung seperti saya,” katanya.
Lalu, apa bayi tabung itu dan bagaimana hukumnya? Bayi tabung adalah teknik pembuahan sel telur (ovum) di luar tubuh wanita, tanpa hubungan seksual. Setelah diketahui terjadi pembuahan, bakal janin ditanamkan ke dalam rahim si ibu sampai cukup usia untuk dilahirkan.
Prosesnya, seperti dituturkan oleh dr Zainul Arifin MARS: sel telur dari ibu disimpan dalam media (sebuah tabung di laboratorium) hingga memungkinkan untuk dibuahi. Kemudian sel sperma dari ayah, dipertemukan dengan sel telur tadi. Setelah terjadi pembuahan dimungkinkan untuk digandakan, sehingga diperoleh beberapa zygote (bakal janin), lalu dipilih yang terbaik untuk ditanamkan ke dalam rahim ibu.
“Selanjutnya, embrio atau hasil pembuahan itu tumbuh dan berkembang sebagaimana kehamilan biasa. Begitu pula pada proses melahirkannya,” dr Sholihul Absor MARS menambahkan.
Memang, seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran, bayi tabung menjadi salah satu alternatif metode untuk mendapatkan keturunan. Metode ini, belum pernah terjadi pada zaman Nabi. Baru muncul pada sekitar tahun 1977. Dengan demikian, hal ini termasuk masalah ijtihadiyah, yang penetapan hukumnya, diperoleh dari hasil ijtihad para ulama.
Para ulama sepakat bahwa bayi tabung ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang. Bayi tabung yang berasal dari sel sperma dan ovum pasangan suami-istri yang sudah menikah, embrionya ditanam di rahim istri—tidak ditransfer ke dalam rahim perempuan lain—hukumnya mubah. Sedangkan bayi tabung yang berasal dari donor sperma orang lain yang bukan suami-istri sah, hukumnya haram.
Seperti tertuang dalam putusan Muktamar Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhamammdiyah tahun 1980. Bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah, hukumnya mubah (boleh) dengan syarat-syarat tertentu. Seperti: teknis pengambilan sperma tidak bertentangan dengan syariah Islam; penempatan zygote seyogyanya dilakukan oleh dokter wanita.
Dasar diperbolehkan, antara lain kaidah fiqih al-haajatu tanzilu manzilah al-dlarurat: hajat (kebutuhan yang sangat penting) diperlakukan seperti dalam keadaan darurat (terpaksa)”. Kaidah fiqih lainnya adalah al-dlaruratu tubiihul mahdluraat: keadaan terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.
Tapi, bayi tabung dengan donor sperma, hukumnya haram. Didasarkan pada hadits riwayat Abu Daud, dan Tirmidzi, yang artinya: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain)”.
Larangan tersebut juga mempertimbangkan dampak negatif yang akan ditimbulkan. Bahwa bayi tabung dengan donor sperma berdampak pada pencampuran nasab yang tidak jelas, bertentangan dengan sunatullah, dan sama dengan melegalkan prostitusi. Ada kaidah fiqih yang mengatakan dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah: menghindari madarat harus didahulukan atas mencari kebaikan.
Masalah bayi tabung pernah pula dibahas oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI), di Yordania (1986). Hasilnya, sama dengan putusan Muhammadiyah. Mahmud Syaltut juga sama pendapatnya. Mantan Rektor Universitas Al-Azhar, Kairo, itu menulis dalam kitab Al-Fatawa, bahwa bayi tabung hasil donor sperma, hukumnya sama dengan zina. Sedangkan bayi tabung hasil sperma suami, dapat dibenarkan.
Lebih jauh dari itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia. “Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan,” tulis fatwa itu memberikan alasan. Termasuk bagi suami yang berpoligami, jika sperma dan sel telur itu dititipkan di rahim isterinya yang lain (bukan pemilik sel telur), itu dilarang.
Seolah ingin merumuskan fiqih Indonesia, pendapat-pendapat tersebut diakomodiasi dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Misalnya disebutkan dalam Pasal 127 ayat (1) bahwa upaya kehamilan yang dilakukan di luar cara alamiah, hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah, dengan ketentuan: Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal; Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Allahu a’lam. (*)
Kolom oleh Ustadz Nadjib Hamid MSi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Discussion about this post