Tiga Syukur dan Tangisan Dibalik Gerhana

Gerhana matahari telah pergi. Hiruk pikuk para penyambutnya telah berangsur surut. Tapi pagi tadi saya justru menangis. Dua koran nasional yang saya beli di perempatan jalan menjadi pemicunya. Halaman hitam dengan foto gerhana matahari total berhasil memancing air mata saya.

Ada rasa takjub, tentang keindahan gelap gerhana yang berhasil disajikan fotografer dan desainer perwajahan koran itu. Juga terselip rasa cemburu: kok saya tidak bisa menikmatinya langsung. Menikmati gelap di dalam terang siang hari. Di tempat saya memang terlihat gerhana, tapi parsial dan hanya menyuguhkan suasana temaram.

Tangisan makin kencang, ketika teringat apa yang saya sampaikan dalam khutbah shalat gerhana kemarin. Gerhana matahari ini luar biasa. Dan harusnya membuat kita bersyukur. Syukur yang sangat dalam. Syukur pertama, bahwa di zaman Rasulullah saw pernah terjadi gerhana.

Diriwayatkan bahwa saat itu beliau kehilangan seorang putra bernama Ibrahim, yang berusia 1,4 tahun. Meninggalnya Ibrahim bertepatan dengan gerhana. Masyarakat beranggapan bawah gerhana terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Rasulullah lalu meluruskan: matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Gerhana bukan terjadi karena kematian atau kelahiran.

Kemudian Rasulullah mengajak umat melakukan shalat; disamping memerintahkan doa, istighfar, dan sedekah. Inilah yang harus disyukuri. Bahwa Rasulullah mewariskan syariat untuk pedoman umat Islam bersikap dan beribadah ketika terjadi gerhana.

Saya menangis ingat apa yang saya sampaikan itu. Duhai, betapa sempurnanya Islam yang Allah turunkan melalui teladan Rasulullah itu. Dan saya bersyukur menjadi bagian darinya.

Syukur kedua, berkaitan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, terutama ilmu astronomi (di dalamnya ada ilmu hisab), yang bisa memprediksi “taqdir” terjadinya gerhana matahari. Kapan dan di mana akan terjadi gerhana, sudah bisa ditentukan jauh-jauh hari. Rasa syukur itu lebih dalam karena ilmu pengetahuan itu menjadi semacam tafsir Alquran, yang ayat-ayatnya cukup banyak berbicara tentang alam semesta.

Saya menangis, ingat yang saya sampaikan itu. Duhai, betapa sempurnanya Islam yang Allah turunkan, tidak hanya berbicara tentang fenomena sosial, tetapi juga fenomena alam semesta. Inilah Islam; Islam yang berkemajuan.

Syukur ketiga, berkaitan dengan kesempatan bisa menyaksikan gerhana matahari. Ini langka, sebuah anugerah besar. Bisa menyaksikan suasana temaram, bahkan gelap, di siang hari. Juga bisa shalat kusuf. Tidak semua orang diberi anugerah itu. Seperti tidak semua orang berkesempatan pergi haji.

Dalam sendirian di kendaraan; saya menangis. Dan semakin tersedu saat tersadar tentang siapa penggagas gerhana matahari itu. Duh, Allah, Engkau Mahabesar. Sepuluh menit saja Kau halangi matahari dengan bulan, bumi sudah gelap. Lantas bagaimana, jika Kau hadirkan fenomena “gelap” yang lebih lama lagi?

Maka, rasa syukur itu lebih dalam jika gerhana mampu membuat kita tersungkur di hadapan-Nya. Lalu saya teringat saat kemarin mengutip surat Ali Imran: Duh, Tuhanku, tidak sia-sia apa yang Engkau ciptakan, Mahasuci Engkau dan jagalah kami dari siksa neraka. Amin! (*)

Mohammad Nurfatoni
Redaktur PWMU.CO

 

Exit mobile version