PWMU.CO – Saat ini tengah muncul atmosfer kehidupan baru di Asia. Easternisasi mengakhiri Westernisasi. Begitu laporan pengamat globalisasi, Kishore Mahbubani.
Menurut dosen Praktik Kebijakan Publik dan Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy di Universitas Nasional Singapore itu kini sedang berlangsung pergeseran pusat kekuasaan global dari Barat ke Asia.
Berada di halaman depan atmosfer kehidupan baru di Asia tersebut adalah China dan India. Kedua negara ini menjadi pusat kekuatan global baru.
Sementara itu Indonesia yang saat ini memperingati 74 tahun kemerdekaan masih berada di halaman belakang. Melakukan trajectory ke halaman depan Asia Baru tentu tugas berat yang harus diemban pemimpin yang baru saja terpilih dalam pemilu serentak 17 April 2019 kemarin.
Ada beberapa indikator yang membuat Indonesia belum bisa ambil posisi di halaman depan Asia baru. Mulai dari angka pertumbuhan ekonomi, kualitas pendidikan, kreativitas, hingga penguasaan teknologi. Namun demikian bukan berarti tidak ada kemajuan. Patut disyukuri Indonesia saat ini masuk G20, kumpulan negara yang ekonominya memengaruhi dunia. Tetapi sayangnya hal itu bukan karena faktor SDM melainkan lebih disebabkan karena faktor SDA.
Nyaris belum ada ikon ekonomi yang bisa dimunculkan yang memungkinkan Indonesia bisa dicatat di halaman depan Asia Baru. Bandingkan dengan yang bisa dipamerkan sejumlah negara yang menempati halaman depan. Mereka memiliki simbol-simbol pertumbuhan ekonomi. Mereka memiliki berbagai bentuk proyek konstruksi yang menggambarkan kekuatan ekonomi seperti konstruksi supertall dan gedung pencakar langit (skyscrapers) Petronas Tower (KL Malaysia), Shanghai World Financial Centre dan International Finance Centre (Hongkong), Taipei 101 (Taiwan), dan atau Burj Khalifa (Dubai, UAE).
Dua negara pengisi halaman depan Asia Baru, China dan India memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi. Mengutip data WTO, seorang scholar China, KM Seethi (2008) melaporkan tingkat pertumbuhan ekonomi China 10,4 persen pada paruh pertama 2008. Majalah The Economy mencatat tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 9,8 persen selama 25 tahun terakhir.
Sebagai dampak dari kemajuan liberalisasi ekonomi di India, pertumbuhan ekonomi mereka menunjukkan perbaikan—mulai dari rata-rata 3,7 persen pada 1950 dan 1960-an ke level 6 persen pada 1990-an. Bahkan baru-baru ini mencapai 9 persen. Sementara itu pertumbuhan ekonomi kita stagnan di kisaran 5 persen.
Dilihat dari sisi pengembangan kualitas SDM kita juga masih belum bisa mengisi halaman depan Asia Baru. Paling banyak menjadi bahan perbincangan akhir-akhir ini adalah kualitas perguruan tinggi. Pusat pengembangan potensi SDM kita itu bahkan berada di belakang Malaysia. Negeri jiran itu punya lima perguruan tinggi papan atas yang mutunya di atas perguruan tinggi terbaik kita, UI.
Sekadar melengkapi catatan ini, perguruan tinggi terbaik Malaysia, University Malaya di ranking 70 sedangkan UI berada di ranking 296 QS-World University Ranking.
Menristekdikti Moh. Nasir sampai memperlihatkan keputusasaannya dalam upaya mengejar ketertinggalan itu. Tampak menteri kita tidak percaya lagi kepada kemampuan akademisi dalam negeri. Tidak mampu menemukan alternatif lain yang dirasa bisa dijadikan jalan keluar, oleh karena itu lalu menteri kita memberanikan diri dengan meminta izin kepada Presiden untuk mengimpor rektor.
Akibatnya negeri kita masih harus menerima kenyataan menjadi pengisi halaman belakang Asia Baru. Tentu dengan berbagai risiko dan kerentanan. Terutama jika semangat zero-sum game dan filosofi Hobesian diterapkan negara-negara pengisi halaman depan. Katakanlah China. Negara ini semakin terlihat dominasinya, bukan hanya di depan negara-negara sekitar, bahkan dominasi itu semakin nyata diperlihatkan di depan Amerika Serikat yang selama ini memegang kontrol terhadap tatanan ekonomi politik dunia.
China paska Mao, pada awalnya menerapkan pendekatan institusionalisme fungsional dalam menjalin hubungan internasional. Menurut Ding Du (2008) pendekatan ini berangkat dari semangat interdependensi, kerjasama dan saling menghargai.
Di bawah kepemimpinn Deng Xiaoping, China banyak melakukan kerja sama multilteral, menjadi anggota berbagai organisasi antarnegara dan bersikap low profile dalam melakukan modernisasi dan membangun kekuatan dalam negeri.
Namun dalam perjalanannya berkat pertumbuhan ekonomi yang cepat, didukung kemampuan teknologi dan modernisasi militer, tampaknya China kemudian cenderung untuk mengambil peran sebagai pusat kekuatan dunia. Gencarnya pengembangan Proyek OBOR yang dijalankan Xi Jin Ping bisa dibaca sebagai salah satu indikasi kecenderungan tersebut.
Menghadapi hegemoni Amerika Serikat, di bawah Xi Jin Ping, China lebih memilih konflik meski bukan konflik militer. Lebih memilih sebagai penekan dari pada kerjasama. Belakangan konflik itu mengambil bentuk perang dagang dengan Amerika Serikat. Kebijakan Trump menaikan tarif bea masuk barang-barang China dibalas Xi Jin Ping dengan menaikkan tarif bea masuk barang-barang Amerika ke Tiongkok. Ketegangan kedua negara itupun tak terelakkan.
Ketegangan itu memunculkan pertanyaan, akankah China tertarik untuk kembali menerapkan strategi realisme—membangun dengan spirit zero-sum dan Hobesian sebagaimana yang dilakukan oleh rezim Mao? Yang pasti tampak saat ini China tidak lagi secara fungsional bersedia begitu saja mengikuti tatanan ekonomi politik yang dikendalikan Amerika Serikat. China sudah menjadi kekuatan baru dan mencoba menjadi penyeimbang kehadiran AS sebagai negara adidaya.
Sebagai kekuatan baru, akankah China menjadi kekuatan yang memainkan positive sum-game, peran sebagai pilar bagi upaya menciptakan stabilitas, ketertiban, dan keamanan khususnya di negara-negara kawasan Asia? Akankah China hadir menjadi negara yang dengan pengaruhnya bisa membantu negara sekitar berupaya mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan berbagai macam konflik vertikal maupun horisontal?
Atau akankah China memainkan peran Hobesian zero-sum game? Akankah China hadir sebagai kekuatan tak terkendali, yang dengan leluasa melakukan ekstraksi dan eksploitasi sumber langka di berbagai negara, khususnya negara-negara sekitar sehingga negara-negara itu kehilangan peluang untuk melindungi dan memanfaatkan kekayaan alam, kultural, dan sosial yang dimilikinya?
Di tengah atmosfir baru seperti tergambar di atas maka hasrat Indonesia untuk bisa melakukan trajectory dari halaman belakang ke halaman depan Asia Baru akan terbantu jika China dikendalikan rezim institusionalisme.
Dengan rezim institusionalisme itu kita bisa bangun kerja sama saling menguntungkan atau win-win solution antarkedua negara. Tetapi jika China justru dikendalikan rezim realisme, maka langkah trajectory itu akan banyak menghadapi hambatan.
Rezim realisme mendorong sebuah negara adidaya untuk tidak segan mengekstraksi dan mengeksploitasi kekayaan negara sedang berkembang. Mereka bangun kolusi dengan orang dan kelompok yang berkuasa. Mereka sebarkan ketidakpatuhan yang meluas di kalangan pejabat publik terhadap hukum. Mereka perlemah kekuatan civil society dengan mendekulturisasi simbol, tokoh, institusi, dan berbagai pilar yang menjadi penyangga masyarakat sipil.
Jelaslah rawan bagi negara yang leadershipless, negara yang tak memiliki pemimpin kuat yang mampu membangun disiplin dan mengkonsolidasikan berbagai elemen masyarakatnya. (*)
Kolom oleh Prof Dr Zainuddin Maliki MSi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur; anggota terpilih DPR RI dari Partai Amanat Nasional.