PWMU.CO – Secara teologis, monoteisme tiga agama besar dunia Yahudi, Kristen, dan Islam mengakar awal sama-sama pada satu orang, yaitu Nabi Ibrahim. Namun ketiganya berbeda dalam “bapak kebangsaan”. Rujukan jati diri ketiga pemeluk agama ini berbeda.
Bapak pemersatu bagi Islam adalah Rasulullah, simbolnya kalimat tauhid. Bapak pemersatu bagi Kristen adalah Yesus (Nabi Isa), simbolnya salib. Sedangkan bagi Yahudi bapak pemersatunya adalah David (Nabi Daud), simbolnya adalah heksagram atau bintang David.
Bintang David (Najmat Dawud dalam literatur Arab) diagungkan kaum Yahudi—sampai menjadi simbol dalam bendera Israel—bukan tanpa sebab. Jika Nabi Sulaiman (Solomon) dikenal sebagai nabi yang pandai (bisa bahasa semua makhluk) dan kaya raya, sesungguhnya kekuasaan Nabi Sulaiman “hanyalah” warisan perjuangan Nabi Daud. Tidak dididik dalam lingkungan militer, kemenangan Daud atas Jalut (Goliath) adalah awal ketokohannya menjadi idola Bani Israel.
Saya ingin mengajak pembaca mengkaji peristiwa duel Daud versus Jalut ini dalam perspektif bisnis. Karena dalam duel tersebut ada contoh bagaimana strategi dalam menghadapi kompetisi.
Jalut yang berbadan raksasa memiliki kemampuan perang jarak pendek. Istilah militernya infanteri berat, tidak ada prajurit Thalut utamanya pasukan infanteri yang berani beradu tarung jarak pendek dengan Jalut.
Daud dengan senjata pelontarnya, memiliki kemampuan “artileri udara”. Badan Daud yang kecil bisa bergerak gesit dan menyerang Jalut dari jarak jauh. Eitan Hirsc, pakar Balistik Militer Israel modern menyebut kecepatan lontaran batu Daud saat itu mencapai 34 meter per detik. Cukup untuk menembus tengkorak dan menyebabkan Jalut pingsan bahkan tewas.
Malcolm Gladwell penulis dan kolumnis New York Times dalam bukunya David and Goliath menyebut bahwa banyak kompetisi terjadi dalam pola yang sama. Dalam kompetisi yang tidak seimbang itu, sering kali kita salah memandang. Seperti Jalut, apa yang dianggap sebagai kekuatan sesungguhnya bisa merupakan titik lemah. Dan seperti Daud, apa yang dianggap sebagai kelemahan bisa jadi sesungguhnya adalah kekuatan.
Ada raksasa bisnis, raksasa politik, raksasa apa pun yang mungkin kita hadapi dalam sebuah persaingan. Kita cenderung merasa takut dan merasa tidak mungkin menang bertarung melawan mereka. Ingatlah pertarungan Daud ini dan camkan bahwa apa yang dianggap kekuatan pada kompetitor kita bisa jadi itulah kelemahan mereka.
Apakah Anda sedang mengelola bisnis, mengelola organisasi, mengelola lembaga pendidikan, atau dalam kompetisi apa pun. Jika Anda menghadapi kompetitor kuat maka eksplorasi dan eksploitasilah kelemahan mereka. Jangan mau bertarung dengan cara dan pola yang mereka kuasai, carilah bentuk-bentuk pertarungan lain. Sebaliknya, jika sedang dalam posisi kuat, ingatlah bahwa kompetitor yang kita remehkan bisa sewaktu-waktu melumpuhkan kita dengan cara yang tidak terduga.
Sebagai penutup agar kita tetap waspada, sudahkah kita menganalisis, dalam kompetisi yang kita hadapi, posisi apakah yang kita tempati? Apakah sebagai Jalut atau sebagai Daud? (*)
Kolom oleh Ahmad Faizin Karimi, Sekretaris Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Gresik.
Discussion about this post