
PWMU.CO – Membawa nalar konsep Milk Al Yamin dengan kebolehan melakukan hubungan seksual di luar nikah merupakan pemikiran yang tidak ilmiah dan tidak bertanggung jawab secara akademis.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr Syamsuddin MA dalam Kajian Spesial di Masjid At Taqwa SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo (SMP Musasi), Sabtu (7/9/2019).
Menurut dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya ini, selain metodologinya yang tidak ilmiah, konsep Milk Al Yamin atau Milkul Yamin dalam karya disertasi Abdul Aziz yang merujuk pemikiran Muhammad Syahrur itu tidak memenuhi kaidah dari sisi kesejarahan, bahasa, ataupun qiyas.
Syamsuddin lalu memberi contoh perbedaan interaksi hubungan antara laki-laki dan perempuan pada masyarakat sebelum kedatangan Islam (pra Islam) dengan saat datangnya Islam.
Menurutnya, pada masyarakat pra Islam, ada tiga interaksi hubungan antara laki-laki dan perempuan. Di antaranya, pernikahan, perbudakan, dan pergundikan (hidup seatap tanpa hubungan pernikahan).
”Pernikahan dan budak masih diteruskan. Karena perbudakan tidak dihapus seketika namun perlahan-lahan,” ungkap Syamsuddin. Hubungan antara tuan atau syayid dengan budak perempuan itulah yang disebut dengan Milkul Yamin.
Milk Al Yamin atau Milkul Yamin, lanjut dia, mempunyai pengertian orang yang berada dalam kekuasaan seseorang. Secara bahasa artinya yang dikuasai oleh tangan kanan. ”Milk itu milik. Yamin itu tangan kanan. Budak diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Milkul Yamin. Tangan kanan sebagai simbol kekuatan,” tuturnya.
Syamsuddin lalu menerangkan, waktu zaman Nabi masih ada perbudakan, pada saat yang sama juga melarang perzinaan.
”Seandainya kemudian mengqiyaskan masalah Milkul Yamin dengan kebolehan berhubungan badan dengan pasangan yang tidak menikah, ya tentu saja di zaman nabi tidak ada perbudakan. Malah diperbolehkan orang melakukan hubungan seksual di luar nikah,” ujarnya.
Namun, kata Syamsuddin, faktanya tidak demikian. Dalam ajaran Islam jangankan hubungan di luar nikah, mendekati perzinahan saja tidak boleh.
Perbudakan saat ini, menurutnya, sudah kehilangan relevansinya. Mencari praktik perbudakan zaman sekarang tidak ada. Karena budak bukan manusia merdeka. Sementara saat ini semua manusia dijamin hak asasi kemanusiaannya.
Usia perbudakan sendiri, kata Syamsuddin, sudah ribuan tahun sebelumnya. Tapi ada spirit atau semangat yang dibawa oleh Alquran ketika menjelaskan persoalan-persoalan perbudakan itu adalah membebaskan mereka dari rantai perbudakan.
”Dalam Islam mengajarkan denda dalam pelanggaran-pelanggaran agama itu pasti melibatkan membebaskan budak,” sambungnya.
Syamsuddin melanjutkan, ayat-ayat perbudakan itu sudah kehilangan relevansi kesejarahannya. Ayatnya ada tapi dunia sudah tidak ada perbudakan. ”Dalam arti usaha Islam untuk perlahan-lahan mengikis praktik yang tidak manusiawi itu pada akhirnya juga berhasil,” tuturnya.
Tapi menurutnya, bukan berarti ayat-ayat tentang perbudakan tidak ada gunanya. ”Tetap ada gunanya. Yaitu spirit untuk memanusiakan manusia dan spirit untuk membebaskan manusia dari perbudakan sesamanya,” ungkap Syamsuddin.
Syamsudin juga mengingatkan, jika mengqiyaskan sesuatu yang tidak bisa diqiyaskan merupakan suatu kebatilan. Termasuk mengqiyaskan praktik perbudakan dulu dengan sekarang.
”Karena di zaman Nabi, ketika pemilik budak itu dilegalkan berhubungan dengan budak yang dimilikinya pada saat yang sama perzinaan itu dilarang dan dianggap sebagai kejahatan. Buktinya ada had, ada hukuman. Seperti kisah tentang perempuan ghanibiyah yang akhirnya dihukum rajam,” ujarnya.
Di antara misi Islam, lanjutnya, adalah membawa kepada kesucian, tazkiyatun nafs. Seperti yang termaktub dalam Quran surat Al Jumuah ayat 2 yang di antaranya berisi tugas kenabian adalah membawa manusia pada kehidupan yang suci.
Semua sistemnya, baik peribadatan, pernikahan, waris, bahkan sistem sosialnya dalam rangka membawa manusia kepada kehidupan yang suci.
”Sehingga Nabi ketika berhadapan dengan pemuda yang secara naluriah itu memiliki gejolak yang tinggi diminta untuk menikah bila yang mampu. Bagi yang belum mampu dianjurkan untuk berpuasa sebagai pengebiri nafsunya,” pungkasnya. (*)
Penulis Darul Setiawan Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post