PWMU.CO – Kolonialisme dan imperialisme gaya baru tetap perlu diwaspadai. Catatan sejarah yang ditulis Prof Achmad Jainuri PhD—Guru Besar UIN Sunan Ampel dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur—ini sangat kontekstual dengan keadaan kini. Selamat menikmati! Redaksi.
Kolonialisme dan imperialisme pada awalnya datang secara wajar, mencari keuntungan melalui dagang. Karena daerah perdagangan waktu itu yang terpusat di daerah Mediteranean tidak aman, akibat peperangan di kawasan itu (Perang Salib), para pedagang mulai mencari rute baru untuk melanjutkan usaha dagang mereka.
Sampailah ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan, terus naik ke utara sampai ke India, Asia Tenggara, dan sekitarnya. Di Indonesia mereka tidak hanya menemukan rempah-rempah yang sangat mereka butuhkan. Mereka juga mendapati orang-orang yang lugu, yang sangat menguntungkan mereka dalam transaksi perdagangan.
Bagaimana tidak menguntungkan, rokok satu pak ditransaksikan dengan berkarung cengkeh. Terlibatlah kemudian rezim penguasa Barat mendukung kaum pedagang ini. Karena kenyataannya tidak hanya membawa kemakmuran hidup rakyat Barat, tetapi juga bertujuan untuk menancapkan kekuasaan di daerah yang kemudian menjadi jajahan mereka. Gold (kekayaan) adalah tujuan awal, glory (kejayaan) menyusul, dan gospel (agama) agenda yang tidak kalah pentingnya.
Jadi, kalau tidak ada perang (salib), kalau daerah Mediteranean—yang menjadi jalur perdagangan antara Timur dan Barat—aman, logikanya penjajahan ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tidak akan ada.
Untuk memperkokoh kolonialisme itu, rezim penguasa Barat selain melipatgandakan pengiriman pasukan ke tanah jajahan, juga menancapkan pengaruh melalui kolaborasi dengan tokoh lokal untuk kepentingan penjajah. Tokoh adat, raja, bahkan kelompok etnik tertentu sebagai kepanjangan kebijakan ekonomi mereka.
Yang disebut terakhir ini, terutama di tanah Jawa, diserahi untuk menarik pajak pasar. Pemerintah kolonial Belanda menutup mata besaran uang pajak yang dikumpulkan oleh mereka. Yang penting nominal yang ditetapkan pemerintah kolonial terpenuhi.
Para penarik pajak biasanya memungut uang pajak melebihi dari jumlah yang diserahkan pada pemerintah kolonial. Mereka ini mendapat perlakuan istimewa dari rezim penguasa. Hak monopoli ekonomi dan fasilitas diberikan pada mereka. Kondisi ini menimbulkan dikotomi ekonomi antara pribumi dan China.
Salah satu faktor berdirinya Syarikat Dagang Islam (SDI) adalah karena menggugat praktik monopoli ekonomi. Dari sini sentimen terhadap kelompok komunitas China muncul dan masih terasa hingga sekarang.
Berturut-turut peristiwa sosial yang muncul akibat sentimen ini, terjadi baik yang berskala personal maupun institusional.
SDI adalah gerakan yang mempelopori ketidakadilan ekonomi yang menyengsarakan warga pribumi. Setelah SDI menjadi Syarikat Islam pada 1911, perlawanan terhadap ketidakadilan ini berlanjut.
Peristiwa Kudus 1919 merupakan konflik terbuka karena persaingan bisnis antara para pedagang China dan Muslim (haji). Konflik ini oleh sebagian sumber dikatakan karena sentimen keagamaan. Pada saat parade liang-liong yang lewat di depan masjid Jamik Kudus, sebagian peserta perayaan “ditengarai” menghina Islam. Tidak terima dengan penghinaan itu, terjadilah kemudian konflik masif antara komunitas China dan Muslim. Banyak rumah dan pusat perdagangan China hancur, dan sebagian besar warga komunitas mengungsi ke Semarang.
Salah seorang tokoh yang terlibat saat itu adalah Kiai Asnawi Kudus, yang merupakan salah seorang tokoh sI Kudus. Dia termasuk yang dipenjara karena dianggap terlibat dalam peristiwa itu. Dari rangkaian petistiwa sosial di Solo dan tempat lain, SI dinilai sebagai kelompok nasionalis yang anti terhadap ketidakadilan ekonomi. Oleh kalangan komunitas China orang-orang SI dianggap radikal.
Pengalaman sejarah seperti itu kemudian menjalar juga ke sentimen personal. Terjadi relasi dan komunikasi semu antara pribumi dan non-pribumi (China), yang sewaktu-waktu bisa menyulut konflik etnis antarkeduanya. Sasarannya bisa jadi tertuju pada fasilitas yang mereka miliki.
Pada 1963, saat pemerintah Singapura menghukum anggota Marinir Indonesia, Latief dan Usman, solidaritas masyarakat Surabaya menentang eksekusi itu. Solidaritas dilampiaskan dengan membakar toko-toko milik non-pribumi yang ada di Surabaya.
Sentimen terbentuk juga karena diskriminasi sebagian oknum pejabat pemerintah yang melindungi kepentingan komunitas ini. Perlindungan dihargai dengan setoran sebagian keuntungan bisnis mereka. Para pebisnis non-pribumi ini, oleh sebagian aktivis, dianggap merusak tatanan pejabat birokrasi melalui pemberian sesuatu yang dapat dikategorikan gratifikasi.
Sebaliknya, oknum birokrat sangat senang dengan pemberian ini karena mereka umumnya “diam” tidak banyak bersuara ke publik. Hal ini berbeda dengan sebagian pelaku bisnis pribumi yang suka bercerita ke sana-sini. Bahkan, kekayaan sebagian oknum birokrat korup mereka serahkan kepada pebisnis non-pribumi untuk dijalankan sebagai saham usaha.
Para aktivis tentu paham dengan lika-liku hubungan yang saling menguntungkan kedua kelompok ini, tetapi terbelenggu oleh ketidakmampuan diri karena kekuasaan tidak ada. Jika menulis di media juga tidak ada yang mau memuat. Mereka ini hanya diam, atau hatinya saja yang membenci.
Ingat, sikap ini adalah selemah-lemah iman. (*)