Kisah Terusirnya Mubaligh Muhammadiyah oleh Warga Mayoritas

Ketua PRM Mragel Simen (foto M Su'ud)
Simen, Ketua PRM Mragel (foto M Su’ud)

PWMU.CO – Tiga hari menjelang Lebaran, seharusnya suasana tenang penuh ukhuwah yang dirasakan umat Islam. Tapi tidak di tempat ini. Tepat di hari ke-27 bulan Ramadhan 1436, setahun yang lalu, terjadilah keributan itu. Sebuah demonstrasi yang nyaris berubah bentrok berdarah telah terjadi di Masjid Darun Najah Dusun Jatimalang, Desa Mregal, Kecamatan Sukorame, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Untungnya, salah satu pihak bisa menahan amarah sehingga keributan itu tak sampai menjadi tragedi.

(Baca: Dirobohkannya Masjid Kami, Sebuah Kisah Nyata Intoleransi Mayoritas pada Minoritas dan Kisah Terusirnya Tokoh Muhammadiyah Yungyang dari Mushala, tapi Akhirnya Dapat Hadiah Masjid)

Malam itu dari speaker sebuah masjid terdengar seorang mubaligh berceramah tarawih dengan topik shalat tarawih. Dalam ceramah itu, ia menyampaikan bahwa Rasulullah saat Ramadhan menjalankan shalat tarawih sampai kakinya bengkak. Menurutnya, jika sampai bengkak kakinya berarti Rasulullah tidak mengerjakan shalat tarawih dengan jumlah rakaatnya sedikit. “Dari sini Bapak dan Ibu dapat mengerti sendiri, bahwa yang sah adalah yang shalatnya 23 rakaat,” katanya.

Seorang warga yang mendengar ceramah itu—karena disiarkan lewat speaker luar—dibuat ragu dan bingung soal jumlah rakaat itu. Selama ini ia memang menjalankan shalat tarawih 11 rakaat. Maka, pada kesempatan lain bertanyalah ia pada Ustadz Syafiin yang sedang ceramah di Masjid Darun Najah.

(Baca juga: Jangan Paksakan Logika NU untuk Nilai Muhammadiyah! Begitu juga Sebaliknya dan Dalam Fiqih, Muhammadiyah Itu Bukan NU)

Mendapat pertanyaan itu, Syafiin menjawab bahwa tarawih yang 23 rakaat ada dasarnya dan yang 11 rakaat juga ada dasarnya. “Sekarang terserah Jenengan, mantap yang mana? Tapi menurut saya, yang mendekati benar adalah 11 rakaat, karena diriwayatkan oleh Aisyah,” jawab Syafiin.

Sebenarnya, ceramah dan tanya jawab di Masjid Darun Najah itu hanya memakai speaker dalam ruangan, bukan memakai corong (speaker luar). Tapi entah bagaimana sampai terdengar oleh jamaah lain. Dan ketika dilacak, siapa yang mendengar tanya jawab itu, tidak ada yang mengaku. Bersambung ke hal 2 …

Masjid Darun Najah Jatimalang yang dibangun PRM Mragel (foto M Su’ud)

Tapi jawaban soal rakaat 11 ini terlanjur memicu emosi jamaah lain. Apalagi ada provokasi dari tokoh-tokoh tertentu. Maka malam itu terjadilah kegaduhan. Ratusan warga mendatangi Masjid Darun Najah. Kebanyakan yang terlibat demo ini adalah para pemuda. Ada juga aparat desa. Yang mengejutkan, para preman alias mereka yang sering mabuk-mabukan, ikut juga dalam demo ini.

(Baca juga: Tentara Ini Jadi Ketua Ranting Muhammadiyah dan Wakafkan Rumah-Tanahnya untuk Dakwah dan Menjaga Amanat Wakaf adalah Mutiara Muhammadiyah)

Mereka berteriak-teriak dan membentak-bentak. Dan menuntut agar dua ustadz yang membina Masjid Darun Najah, yaitu Ustad Syafiin dan Ustad Rokhim (kebetulan keduanya pendatang), serta delapan mahasiswa KKN agar pulang malam ini juga. Mendapat intimidasi hebat ini, maka aparat desa mengumpulkan pihak-pihak terkait di rumah Kepala Desa (Kades).

Aparat desa, termasuk Kades, menyayangkan tindakan anarkis ini. Tapi tuntutan mereka tidak bisa dibendung. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,  maka Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Mragel, Simen, mengamankan dua ustadz dan delapan mahasiswa KKN itu.

Kegaduhan berlangsung hingga larut malam. Sempat terjadi dorong-mendorong. Suasana lumayan bisa dikendalikan ketika datang beberapa anggota Polsek Sukorame.

(Baca juga: Ketika Dua Ormas Besar Berbagi Tugas: Muhammadiyah Urus Milad dan NU Urus Haul dan Ini Perbedaan Gaya Sarungan Warga Nahdliyin dan Muhammadiyah)

Kepada pwmu.co, Rabu (22/6) pekan lalu, Ketua PRM Mragel Simen bertutur bahwa kedangkalan dalam memahami persoalan agama penyebab kesalahpahaman itu. “Mereka tidak suka jika ustadz-ustdaz di Masjid Darun Najah menyampaikan tema tauhid, yang mewajibkan manusia agar menjalani Islam yang kaffah, yang bersih dari segala bentuk kesyirikan,” katanya.

Selain itu, kata Simen, ada faktor “cemburu” dengan banyaknya jamaah mereka yang kini menjadi jamaah Masjid Darun Najah. Untuk membendung gejala ‘hijrah’ jamaah itulah, maka didatangkanlah seorang mubaligh untuk membahas topik shalat tarawih, yang menjadi awal kegaduhan ini.

Peristiwa kegaduhan dan intimidasi itu akhirnya membuat dua ustadz asal Sedayulawas, Brondong, Lamongan yang terusir itu tidak kembali lagi ke Jatimalang, Mragel. Karena diancam oleh warga mayoritas, “Kalau sampai kembali lagi akan terjadi sesuatu.” Semoga peristiwa seperti ini tidak terulang kembali. Perbedaan pemahamam fikih tidak harus disikapi dengan intimidasi. (Mohamad Su’ud)

Exit mobile version