PWMU.CO-Acara pengukuhan guru besar untuk Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi menarik minat banyak kalangan akademisi, politisi, dan pejabat negara.
Para undangan memadati arena Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (12/12/2019), tempat Haedar Nashir menerima gelar profesor bidang ilmu sosiologi.
Dari kalangan pejabat negara tampak hadir Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Agama Fachrur Razi, Mensesneg Pratikno.
Ada juga mantan Wapres H. Jusuf Kalla, anggota BPIP Prof HA Syafii Maarif, anggota Wantimpres Prof Dr Malik Fadjar, mantan Menhan Ryamizard Ryacudu, mantan Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur, mantan Menteri Perikanan Susi Pujiastuti.
Juga para politisi seperti Ketua PAN Zulkifli Hasan, Wakil Ketua MPR dari PDIP Ahmad Basarah, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Zulfan Lindan (Ketua Nasdem), Ahmad Rofiq (Sekjen Perindo).
Dari jajaran pengurus Muhammadiyah terlihat Dahlan Rais, Busyro Muqoddas, Syafiq Mughni, Dadang Kahmad, Goodwill Zubir, Agus Taufiqurrahman, Abdul Mu’ti, Agung Danarto, Suyatno dan Marpuji Ali.
Ketua PWM Jatim Dr Saad Ibrahim dan jajarannya juga hadir di acara ini selain sederet pejabat eselon I dan II dari Kementerian dan lembaga serta para aktivis juga meramaikan acara ini.
Dalam pidatonya Haedar Nashir mengatakan, Indonesia dalam kurun terakhir seakan berada dalam darurat radikal dan radikalisme. “Radikalisme, khususnya terorisme menjadi isu dan agenda penanggulangan utama,” katanya.
Dia mengungkapkan, narasi waspada kaum jihadis, khilafah, Wahabi, dan lain-lain disertai berbagai kebijakan deradikalisasi meluas di ruang publik.
“Isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, dan bahkan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) terpapar radikalisme demikian kuat dan terbuka di ruang publik yang menimbulkan kontroversi nasional,” urai dia.
Menurut Haedar, jika konsep radikal dikaitkan dengan apa yang oleh Taspinar disebut violent movements (gerakan kekerasan) seperti dalam berbagai kasus bom teror, penyerangan fisik, dan segala aksi atau tindakan kekerasan di Indonesia, maka dapat dipahami sebagai pandangan dan kenyataan yang objektif.
“Radikalisme agama, termasuk di sebagian kecil kelompok umat Islam tentu merupakan fakta sosial yang nyata,” kata Haedar. Bentuk radikal yang membuat kerusakan, fasad fil-ardh, ini yang ditolak.
Namun dia meminta agar mengatasi masalah radikalisme tidak terjebak pada kedangkalan cara pandang dan langkah yang diambil. “Karena suatu masalah pada umumnya tidaklah sederhana dan terlepas dari ruang sosiologis yang mengitarinya,” kata Haedar.
Pemahaman terhadap radikalisme dan persoalan-persoalan keindonesiaan antara lain melalui perspektif sosiologi. Sangat tidak memadai bila dipahami hanya dengan pandangan yang linier dan positivistik. (*)
Penulis Affan Safani Adham. Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post