PWMU.CO – Muhammadiyah bikin program masyarakat tangguh bencana. Sasaran program tersebut multilevel, baik untuk masyarakat yang ada di kota maupun di desa.
Muhammadiyah bikin program masyarakat tangguh bencana. Tidak sekadar tangguh bencana, namun juga kegiatan pengurangan risiko bencana yang ada di 18 ribu sekolah atau madrasah yang dimiliki oleh Muhammadiyah dengan sekolah aman bencana yang sudah diluncurkan pada tahun 2018.
Kemudian, di rumah sakit yang sudah ada disaster hospital plan sejak tahun 2008 hingga kampus aman bencana.
“Upaya-upaya di Muhammadiyah tidak hanya respon kebencanaan, namun juga pengurangan risiko kebencanaan,” kata Dr Rahmawati Husein, Wakil Ketua MDMC dan Dosen Ilmu Pemerintahan UMY, Kamis (30/1/2020), yang juga menjelaskan upaya Muhammadiyah dengan mengurangi risiko bencana.
Antisipasi Bencana
Kepala BNPB tahun 2008-2015, Prof Syamsul Ma’arif, mengatakan, antisipasi bencana di Indonesia masih perlu ditingkatkan.
Dari segi informasi yang akurat, tidak saling menyalahkan, namun saling memperkuat serta ditingkatkan kebijakan dan peraturan kebencanaan.
Syamsul juga menjelaskan, sistem sosial merupakan pluralitas tindakan untuk menanggapi serta menangani darurat bencana.
“Sistem sosial merupakan pluralitas, yakni tindakan unsur-unsur sosial yang berinteraksi satu dengan yang lainnya sesuai dengan norma untuk mencapai tujuan bersama,” kata Syamsul.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pluralitas tindakan adalah sinergitas dengan mendukung, mengkritik serta mengoreksi.
“Seperti Muhammadiyah yang terus bergerak ke depan untuk proaktif dalam menanggulangi kebencanaan,” paparnya dalam diskusi panel Pertemuan Ilmiah Muhammadiyah (PIM) Kebencanaan yang digelar Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (30/1/2020).
Dikatakan Syamsul, penanganan darurat bencana berawal dari siaga darurat, tanggap darurat, transisi darurat ke pemulihan, kemudian adanya kolaborasi antara pemerintah, pemerintah lokal, relawan pusat, relawan lokal, serta masyarakat terdampak.
“Penanganan darurat selanjutnya adalah sapalibatisme dan vertizontal, yaitu bagaimana hubungan pemerintah yang bersifat birokratis memiliki jiwa relawan saat bencana terjadi di suatu daerah,” kata Syamsul yang menambahkan kepemimpinan yang fasilitatif termasuk dalam hal pemberdayaan kepada masyarakat.
Budaya sadar bencana berawal dari keluarga. Untuk menyiapkan masyarakat yang tangguh bencana dimulai sejak dari keluarga terlebih dahulu. Dengan metode dasawisma, di dalam keluarga harus memberikan pengetahuan tentang ancaman dan risiko bencana serta cara menghindari dan mencegahnya.
“Kemudian sadar penegakkan hukum dan peraturan, menumbuhkembangkan sifat gotong-royong, habitus, serta tangguh bencana yang meliputi informasi, antisipasi, proteksi, dan adaptasi,” tandasnya.
Ketangguhan Bencana
Di sisi lain Prof Teuku Faisal Fathani, Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan, ketangguhan merupakan irisan dari kesiapsiagaan, responsif, pengurangan dan pemulihan bencana yang dilakukan dalam proporsi yang seimbang.
Pengurangan risiko itu rumit, sulit, dan butuh waktu lebih lama untuk melihat hasilnya. Dan fokus pada risiko bencana bertujuan untuk mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh bahaya alam seperti gempa bumi, banjir, kekeringan dan badai, melalui etika pencegahan.
“Oleh karena itu perlu mengubah paradigma dari penanganan ke pengurangan, dari kerawanan kita harus fokus ke risiko, dari mandat tunggal menjadi integrated, dari sistem terpusat menjadi tanggung jawab bersama,” paparnya.
Faisal juga menjelaskan bahwa untuk standar ISO/SNI saat ini dapat digunakan untuk misi kemanusiaan, yaitu digunakan pada standar sistem peringatan dini bencana alam.
Sudah ada dua SNI yang sudah terbit, yaitu SNI 8236 tahun 2017 untuk sistem peringatan dini longsor dan SNI 8240 tahun 2019 untuk sistem peringatan dini multibencana, dan juga ada ISO yang sudah publish adalah ISO 22327 dan ISO 22328 untuk multibencana.
“Untuk sistem peringatan dini tidak boleh sembarangan kita memasang alat sampai kita mengetahui risiko bencana,” papar penemu teknologi mesin deteksi longsor ini.
Oleh karena itu perlu sosialisasi desiminasi kepada masyarakat untuk menjelaskan bahwa sistem peringatan dini juga membutuhkan tim siaga bencana, peta evakuasi, SOP, alat sistem peringatan dini, serta komitmen dari pemerintah pusat, pemerintah lokal serta relawan untuk menjaga, mengoperasikan serta merawat sistem tersebut.
Penulis Affan Safani Adham. Co-Editor Darul Setiawan. Editor
Discussion about this post