Beberapa hari setelah pertemuan itu, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini ditelepon oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Dengan nada bercanda, dia mempertanyakan kenapa Muhadjir tidak berpendapat saat bertemu dengan Jokowi?
“Pak Pratikno bilang ke saya, Sampean nggak mau punya pendapat itu gimana? Ternyata waktu itu dites. Kiro-kiro manggunge enak opo ora (Kira–kira manggungnya enak atau tidak). Coro perkutut ngono, manggunge apik opo ora (seumpama perkutut gitu, kicaunya baik apa tidak). Ya, saya ngomong ke Pak Pratikno, sampean nggak bilang gitu. Kalo tahu gitu.. ya saya berpendapat,” ujar Muhadjir meneruskan ceritanya.
Ternyata, lanjut Muhadjir, Presiden Jokowi memiliki penilaian lain. Menurutnya, Muhadjir adalah sosok eksekutor yang dibutuhkan dalam menyelesaikan berbagai problem pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Salah satu bukti kehebatan kualitas Muhadjir ditunjukkan dengan kesuksesannya mengantarkan UMM menjadi kampus unggulan.
“Beliau mengomentari langsung ke Pak Praktikno. Katanya saya itu bagus. Pak Pratikno juga heran… ndak ngomong kok bagus? Ternyata Pak Jokowi menilai lain. Saya dinilai sebagai sosok eksekutor yang beliau butuhkan. Tapi, sampai saat itu belum ada pernyataan kalau saya akan diangkat jadi menteri,” ujar Muhadjir.
(Baca: Mendikbud Prof Muhadjir Effendy Sudah Diwakafkan Muhammadiyah untuk Negara dan Terkait Banyaknya Guru yang Dilaporkan ke Polisi, Ini Pesan Mendikbud untuk Pelajar)
Sehari sebelum pelantikan (26/7) Muhadjir sedang menghadiri rapat PP Muhammadiyah di Yogyakarta. Tiba-tiba, ada telepon dari protokoler istana yang memintanya untuk siap-siap ke Jakarta. “Waktu itu ditelepon, sampean di mana? Saya jawab, di Jogja. Saya diberitahu protokoler bahwa besok diminta menghadap ke Presiden dan diminta pakaian putih-putih. Gitu aja. Belum diberitahu kalau jadi menteri. Jadi, saya nggak merespon serius-serius amat,” tuturnya.
Kebetulan waktu itu Muhadjir meminta istrinya untuk datang ke Jogja. Waktu itu mau silaturrahmi. Setelah mendapat telepon dari protokoler, Muhadjir menyampaikan agar istrinya langsung ke Jakarta.
“Jadi kalau istri saya bisa mendampingi waktu pelantikan, itu benar-benar kebetulan. Saya bilang ke istri, ndak usah ke Jogja. Langsung saja ke Jakarta. Malah baju-baju dari Malang saya suruh bawa,” kata Muhadjir.
(Baca juga: Inilah Perjalanan Karier Mendikbud yang Baru, Prof Muhadjir Effendy dan Mendikbud Prof Muhadjir Effendy di Mata Muhammadiyah Jatim)
Pagi hari menjelang pelantikan, barulah Muhadjir bertemu dengan Jokowi dan kemudian diberi pengarahan. Itulah pertemuan kedua antara dia dengan Presiden Jokowi sebelum diangkat jadi Mendikbud. Pada saat itu, baru Muhadjir diberi tahu bahwa dia diangkat menjadi Mendikbud. Siang harinya dia dikenalkan kepada wartawan. Kemudian sore dilantik. Dilanjutkan serah terima jabatan dan langsung rapat eselon I.
“Dalam pengarahan pagi itu, saya langsung dititipi sejumlah program yang mendesak. Padahal, saya masih setengah mimpi. Ini… saya sudah menteri apa belum? Dan ternyata bukan hanya saya saja. Menteri baru lainnya juga nggak dipanggil dulu. Jadi sangat secret. Kelihatannya beliau belajar dari pengalaman presiden sebelumnya yang terlebih dahulu memanggil calon menterinya. Itu jadi konsumsi publik yang dikhawatirkan menyebabkan simpang-siurnya pemberitaan,” ujarnya.
Meski tidak mengejar-ngejar jabatan Mendikbud, tapi Muhadjir merasa pas dengan jabatan itu. Yang pertama, Muhadjir lahir dari keluarga guru. “Ayah saya itu guru. Guru kuno, guru sekolah rakyat zaman Belanda. Bahkan di zaman Jepang diangkat jadi guru propaganda, untuk kemerdekaan,” kenangnya.
Kedua, saya ini, kata Muhadjir, sekolahnya PGA (Pendidikan Guru Agama): PGA 4 tahun dan PGA 6 Tahun. Di IAIN Tarbiyah. Ambil S1 di IKIP. “Masak gak dipercaya sebagai menteri pendidikan. Saya S2 memang ambil administrasi publik, tapi riset saya tentang subsidi, subsidi pemerintah untuk perguruan tinggi swasta. Doktor saya mengambil dokter militer. Tapi ambil profesi militer. Jadi tetap di pendidikan.” (ilmi)
Discussion about this post