PWMU.CO – Hukum Shalat Fardhu di Kendaraan. Kajian ini ditulis oleh ahli hadits Dr Zainuddin MZ, Lc MA, Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits.
Pertanyaan
Ustadz saya mau bertanya hukum shalat fardhu di kendaraan? Karena ditemukan hadits shahih bahwa Rasulullah SAW tidak pernah shalat fardhu di kendaraan. Beliau dikabarkan hanya shalat sunah di kendaraan.
Padahal dalam kaidah beragama, asal ibadah adalah haram dilakukan kecuali adanya perintah atau adanya keteladanan dari Nabi SAW
Hamba Allah, Surabaya
Hadits Shalat Sunah di Kendaraan
Sejauh penulis ketahui, hadits yang seakan hanya shalat sunah yang pernah dilakukan Rasulullah SAW di kendaraan diriwayatkan oleh beberapa sahabat. Yaitu: (1) Amir bin Rabi’ah; (2) Sa’id bin Yasar; (3) Jabir bin Abdullah; (4) Ibnu Abbas; dan (5) Sa’id bin Jubair.
Hadits Amir bin Rabi’ah
وَعَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ رضي الله عنه قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. زَادَ الْبُخَارِيُّ: يُومِئُ بِرَأْسِهِ, وَلَمْ يَكُنْ يَصْنَعُهُ فِي الْمَكْتُوبَةِ
Amir bin Rabi’ah RA berkata: Aku menyaksikan Rasulullah SAW. shalat di atas kendaraannya sesuai arah kendaraan itu. (HR Muttafaq alaihi, Bukhari: 1093; Muslim: 701). Dalam kodifikasi Bukhari ada tambahan redaksi: Nabi memberi isyarat dengan menundukkan kepalanya, dan hal itu tidak pernah dilakukan Nabi untuk shalat fardhu.
Hadits Sa’id bin Yasar
عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: (كُنْتُ أَسِيرُ مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما بِطَرِيقِ مَكَّةَ، قَالَ سَعِيدٌ: فَلَمَّا خَشِيتُ الصُّبْحَ نَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ ثُمَّ لَحِقْتُهُ، فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: أَيْنَ كُنْتَ؟ فَقُلْتُ: خَشِيتُ الصُّبْحَ, فَنَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ، فَقَالَ عَبْدُ اللهِ: أَلَيْسَ لَكَ فِي رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ؟ فَقُلْتُ: بَلَى وَاللهِ، قَالَ: فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم) (كَانَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ) (التَّطَوُّعَ) (وَيُوتِرُ عَلَيْهَا) (قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَتْ بِهِ) (وَيُومِئُ بِرَأسِهِ إِيمَاءً) (ثُمَّ قَرَأَ ابْنُ عُمَرَ هَذِهِ الْآية: {وَللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ, فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ} قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَفِي هَذَا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآية) (غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ)
Sa’id bin Yasar berkata: Aku bepergian bersama Abdullah bin Umar di jalur Mekah. Ketika aku kawatir datangnya Subuh, aku turun lalu shalat witir. Kemudian aku menemuinya lagi. Abdullah bin Umar berkata: Kenama anda tadi?
Aku menjawab: Aku kawatir datangnya Subuh, lalu aku turun dan shalat witir. Abdullah bin Umar berkata: Bukankah sudah ada keteladanan bagimu dari Rasulullah? Aku menjawab: Ya. Abdullah bin Umar berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW) (di atas kendaraannya) (yakni shalat sunah) (witir) (menghadap ke arah manapun) (mengisyaratkan dengan menundukkan kepala).
(Kemudian Abdullah ibnu Umar membaca ayat: “Milik Allah arah timur dan barat, maka arah mana pun kamu menghadap, disitu wajah Allah” (al-Baqarah: 115). (Hanya saja Nabi saw. tidak melakukan shalat wajib). HR Bukhari: 954, 955; Muslim: 700; Abu Dawud: 1224; Tirmidzi: 472, 2958; Nasai: 490, 491, 744; Ahmad: 447, 6155.
Hadits Jabir bin Abdullah
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنهما قَالَ: (كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي التَّطَوُّعَ وَهُوَ رَاكِبٌ) (عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ) (إِلَى الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرِهَا) (وَيُومِئُ إِيمَاءً) (وَالسُّجُودُ أَخْفَضُ مِنْ الرُّكُوعِ) (فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ) (الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ)
Jabir bin Abdullah RA berkata: (Rasulullah SAW shalat sunah di kendaraan) (menghadap ke arah manapun kendaraan itu) (ke arah kiblat atau lainnya) (dengan memberi isyarat menundukkan kepalanya) (untuk sujud lebih rendah dari ruku’nya) (Jika beliau hendak) (shalat fardhu, maka Nabi turun dan shalat menghadap kiblat). HR Bukhari: 391, 1043, 1048; Abu Dawud: 1227; Tirmidzi: 351; Ahmad: 14311, 14595, 15080.
Hadits Ibnu Abbas
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم يُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ
Ibnu Abbas RA berkata: Rasulullah SAW shalat witir di kendaraan. HR Muslim: 700; Ibnu Majah: 1201; Ahmad: 6224; Abu Ya’la: 5459.
Hadits Sa’id bin Jubair
وَعَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ رضي الله عنهما يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ تَطَوُّعًا, فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ نَزَلَ فَأَوْتَرَ عَلَى الْأَرْضِ
Sa’id bin Jubair RA berkata: Ibnu Umar RA shalat sunah di kendaraan. Jika hendak shalat witir, ia melaksanakannya di bumi (turun dari kendaraannya). HR Ahmad: 4478; Daraqutni: 6. Menurut Arnauth, sanad hadits ini shahih.
Dari paparan hadits-hadits di atas tidak ditemukan bukti bahwa Rasulullah SAW shalat fardhu di kendaraan. Yang beliau lakukan hanyalah shalat witir dan sunah-sunah lainnya. Bahkan dalam teks hadits di atas dijelaskan ketika Rasulullah SAW hendak shalat fardhu, beliau turun dari kendaraannya dan menghadap kiblat.
Shalat Fardhu di Kendaraan
Semua hadits yang menerangkan Nabi SAW hanya shalat sunah di kendaraan dan beliau turun dari kendaraannya ketika hendak shalat fardhu merupakan hadits-hadits fi’li (respon para sahabat terhadap perilaku Nabi SAW).
Tentunya berita-berita itu sebatas kemampuan setiap sahabat saat merespon perilaku Nabi SAW. Ungkapan sahabat “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW shalat fardhu di atas kendaraan”, tidak otomatis larangan. Karena sebatas itulah kesaksian mereka terhadap perilaku Nabi.
Sama halnya pernyataan Aisyah’ “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW kencing dengan berdiri”, bukan berarti larangan kencing dengan berdiri.
Ternyata sahabat lain pernah menyaksikan Rasulullah SAW kencing dengan berdiri. Dalam kaedah berfikir, berita yang meng-itsbatkan, harus dikedepankan terhadap yang menafikan.
Kemudian supaya dipahami, kebanyakan shalat sunah dikerjakan secara mandiri. Hal ini berbeda dengan shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah. Sementara mana mungkin menggambarkan shalat berjamaah di atas kendaraan tempo dulu, yang kendaraan waktu itu berupa keledai, bighal, kuda dan unta?
Tentu tidak mungkin, dan efektifnya adalah turun dari kendaraan. Hal ini tentunya sangat berbeda ketika wujud kendaraanya berupa kapal laut, pesawat, kereta api dan sebagainya, yang sangat sulit jika dikerjakan harus turun dari kendaraan-kendaraan tersebut.
Penulis belum pernah menemukan hadits qauli larangan shalat fardhu di kendaraan. Sekiranya ada tentunya selesailah perdebatan seperti ini. Yang penulis temukan justru adanya kebolehan shalat fardhu di kendaraan sebagaimana paparan hadits-hadits berikut ini.
Argumentasi Shalat Fardhu di Kendaraan
Kebenaran shalat fardhu di atas kendaraan didasari al-Quran dan hadits. Di dalam al-Quran ketika menyipati shalat sewaktu perang telah berkecamuk, maka pasukan Muslim melakukan shalat Khauf dengan berjalan dan berkendaraan. Sebagaimana firman Allah SWT:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ, فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا, فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat Wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (al-Baqarah: 238-239).
Diskusi dengan kelompok Salafi selalu menggunakan pendekatan tekstual dan tidak mau dengan kontekstual. Maka secara tekstual ayat di atas membenarkan adanya shalat fardhu di kendaraan.
Apalagi jika perang sudah berkecamuk, maka setiap individu menyelesaikan shalatnya secara mandiri. Maka pemahamannya secara tekstual baik disebabkan adanya bahaya atau tidak substansinya boleh shalat fardhu di atas kendaraan.
Beberapa hadits berikut ini dapat dijadikan payung hukum bolehnya shalat fardhu di kendaraan. Yaitu hadits (1) Abdullah bin Mas’ud; (2) Jabir bin Abdullah; (3) Abu Malih; (4) Nafi; dan (5) seorang sahabat.
Hadits Abdullah bin Mas’ud
قَالَ ابْنُ عُمَرَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ, صَلَّوْا رِجَالًا قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ, أَوْ رُكْبَانًا, مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ, أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا
Dinarasikan Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda: Jika perang telah berkecamuk, maka shalatlah kalian dengan berjalan kaki atau berkendaraan dengan menghadap ke arah kiblat atau arah manapun. (HR Bukhari: 901, 4261; Ibnu Majah: 1258)
Hadits ini mempertajam kandungan ayat di atas dalam kondisi perang setiap pasukan tetap menjalani shalat. Menurut riwayat Ibnu Mas’ud sewaktu shalat Dzuhur pada waktu Dzuhur, shalat Ashar pada waktu Ashar, shalat Maghrib pada waktu Maghrib, dan shalat Isya’ pada waktu Isya’ yang dilakukan secara mandiri baik dengan berjalan mapun berkendaraan.
Hadits Jabir bin Abdullah
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنهما قَالَ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ، وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Jabir bin Abdullah RA berkata: Seorang berkata: Wahai Rasulullah, kami sedang di kapal, kami tidak membawa air darat kecuali sedikit. Jika kami pergunakan wudhu tentu (tidak cuku) dan kami akan kehausan. Maka bolehkah kami wudhu dengan air laut. Rasulullah SAWbersabda: Air laut itu suci dan bangkainya halal. (HR Abu Dawud: 83; Tirmidzi: 69; Nasai: 59; Ibnu Majah: 388)
Pertanyaan wudhu bagi mereka yang di perjalanan berkonotasi untuk melaksanakan shalat fardhu. Bukan shalat sunah. Artinya mereka menanyakan bolehkah wudhu dengan air laut untuk digunakan shalat fardhu. Ternyata Rasulullah SAW membolehkannya. Tentunya bukan kebolehan untuk sekedar wudhu, melainkan juga kebolehan wudhu itu untuk pelaksanaan shalat fardhu karena mereka saat dalam perjalanan.
Hadits Abu Malih
وَعَنْ أَبِي الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ بن عُمَيْرٍ الْهُذَلِيُّ قَالَ: خَرَجْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ, فَلَمَّا رَجَعْتُ اسْتَفْتَحْتُ, فَقَالَ أَبِي: مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: أَبُو الْمَلِيحِ, فَقَالَ: لَقَدْ رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم زَمَنَ الْحُدَيْبِيَةِ وفي رواية: (يَوْمَ حُنَيْنٍ) [فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ] وَأَصَابَتْنَا سَمَاءٌ لَمْ تَبُلَّ أَسَافِلَ نِعَالِنَا، فَنَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم: أَنْ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
Abu Malih bin Usamah bin Umair al-Hudzali berkata: Aku pergi ke masjid di malam hujan. Ketika aku pulang aku minta bapakku membukakan pintu rumah. Bapakku bertanya: Siapa? Mereka berkata: Abu Malih. Bapaknya berkata: Waktu itu kami bersama Nabi SAW di Hudaibiyah (dalam riwayat lain di Hunain) (yakni di hari Jumat).
Lalu kami mendapatkan hujan yang tidak sampai membasahi bawah sandal. Lalu seorang muadzin menyerukan: Shalatlah kalian di rihalukum. (HR Abu Dawud: 1057, 1059; Nasai: 854; Ibnu Majah: 936; Ahmad: 20295, 20719, 20726). Menurut Arnauth, sanadnya shahih.
Hadits ini sama sekali tidak menunjukkan sewaktu perang sedang berkecamuk, melainkan adanya udzur hujan sehingga masyarakat tidak disyariatkan shalat berjamaah. Melainkan mengerjakan shalat fardhu, apalagi adanya tambahan redaksi sewaktu hari Jumat secara mandiri.
Redaksi “di rihalikum” jika dalam kondisi mukim dapat dimaknai “di tempat domisili masing-masing”, namun jika di perjalanan dimaknai “di atas kendaraan masing-masing”. Dalam hadits ini pemaknaan yang kedua yang lebih tepat, karena adanya redaksi kami dalam perjalanan, di Hudaibiyah, di Hunain, dan sebagainya.
Hadits Nafi’
وَعَنْ نَافِعٍ قَالَ: (أَذَّنَ ابْنُ عُمَرَ رضي الله عنهما فِي لَيْلَةٍ) (ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ) (بِضَجْنَانَ) (فَقَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ: أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ, أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ) وفي رواية: (أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ, أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ, أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ) (ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم كَانَ يَأمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِي السَّفَرِ) (فَيُنَادِي بِالصَّلَاةِ, ثُمَّ يُنَادِي أَنْ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ) وفي رواية: (أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ) وفي رواية: (الصَّلَاةُ فِي الرِّحَالِ)
Nafi’ berkata: (Ibnu Umar mengumandangkan adzan) (di waktu malam yang dingin berangin dan hujan) di wilayah Dhajnan) (Di akhir seruannya ia mengucapkan: Shalatlah di rihalikum (diucapkan 2x) (dalam riwayat lain diucapkan 3x).
(Kemudian ia berkata: Sesungguhnya dahulu Nabi SAW memerintah juru adzan di malam yang dingin hujan dan dalam perjalanan) (untuk menyeru shalat di rihalikum) (dalam riwayat lain: Shalatlah di rihalikum). (HR Bukhari: 606; Muslim: 697; Abu Dawud: 1060, 1061, 1062; Nasai: 654; Ahmad: 4478, 5302, 5800).
Hadits Seorang Sahabat
وَعَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى اللهُ عليه وسلَّم قَالَ: سَمِعْتُ مُنَادِيَ النَّبِيِّ صلى اللهُ عليه وسلَّم فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ فِي السَّفَرِ يَقُولُ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ, حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ, صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
Seorang sahabat berkata: Aku mendengar juru adzan Nabi di malam hujan saat bepergian mengucapkan: Mari menuju kebahagiaan (diucapkan 2x), shalatlah di rihalikum. (HR Nasai: 653; Nasai dalam Sunan Kubra: 1617; Ahmad: 23215; Abdurrazaq: 1925).
Tidak dikenalnya identitas sahabat tidak menafikan keshahihan hadits di atas. Hadits ini sama sekali bukan dalam peperangan, melainkan di perjalanan yang dalam kondisi hujan. Maka pemaknaan di rihalikum jelas di atas kendaraan masing-masing.
Kesimpulan
Jika shalat sunah yang boleh ditinggalkan saja bisa dilakukan di kendaraan, lalu kenapa shalat fardhu yang tidak boleh ditinggalkan justru tidak boleh. Kemusykilan itu disebabkan mewajibkan shalat berjamaah, sehingga sangat tidak mungkin dilakukan di atas kendaraan yang nota benenya berupa keledai, bighal, kuda dan unta.
Dengan demikian kesaksian sahabat bahwa Nabi SAW tidak pernah shalat fardhu di kendaraan, atau jika hendak shalat fardhu maka Nabi turun dari kendaraannya, sama sekali tidak menafikan kebolehan shalat fardhu di kendaraan.
Jika Anda seorang pelaut yang kebanyakan hidup Anda berlayar berbulan-bulan, lantas apa yang Anda lakukan terhadap kewajiban shalat lima waktu jika tidak boleh dikerjakan di kapal?
Padahal dahulu saat perluasan dakwa Islam, kepergian sahabat ke negeri Syam atau Habasyah misalnya, mereka berhari-hari di atas kapal, apakah mereka tidak shalat fardhu sama sekali? (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel Hukum Shalat Fardhu di Kendaraan kali pertama dimuat oleh Majalah Matan, Edisi 165 April 2020. Dimuat PWMU.CO atas izin redaksi.
Discussion about this post