Penerbit Buku Islam dari Masa ke Masa ditulis oleh Ady Amar, Direktur Penerbit Risalah Gusti, Surabaya.
PWMU.CO – Jika Anda lahir di awal 60-an sampai 70-an akhir, bahkan sampai awal 80-an pastilah akrab, atau setidaknya pernah mendengar penerbit Al-Maarif. Penerbit dari Bandung, tepatnya beralamat di Jalan Tamblong.
Inilah satu-satunya penerbit Islam, yang menerbitkan buku tidak saja karya klasik tapi juga modern. Dari mulai kitab Al-Adzkar-nya Imam Nawawi; Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq yang dibuat berjilid; hingga mengenalkan setidaknya dua buku karya Leopold Weiss. Dan masih banyak terbitan-terbitan lainnya yang bermutu. Al-Maarif bisa dikatakan candradimukanya penerbit-penerbit Islam lainnya yang datang kemudian.
Pokoknya Buku Islam
Al-Maarif menerbitkan pokoknya buku Islam. Semua aliran ubudiyah ada di dalamnya. Tidak ada sekat, misalnya hanya menerbitkan buku dari mazhab tertentu. Tidak demikian.
Jadi bisa didapatkan dari terbitannya itu buku-buku yang bernuansa tradisionalis maupun modern. Dari fiqih sampai tasawuf: dua aliran yang (tampaknya) mustahil disatukan.
Pemiliknya adalah Muhammad Bahartah, asli Yaman. Baru berkewarganegaraan Indonesia di akhir tahun 70-an. Tidak mengenyam pendidikan tinggi, tapi berpikir modern dalam mengembangkan bisnisnya.
Hanya saja kekurangan beliau adalah tidak pernah memberikan kepercayaan pada penerusnya untuk bisa mengembangkan lagi perusahaannya agar bisa lebih bertahan menyusuri zaman. Pak Bahartah, biasa dipanggil, memegang tampuk pimpinan sampai ajalnya, di usia lebih dari 90 tahun.
Lalu setelah itu diawal tahun 80-an mulai berjamur muncul penerbit-penerbit Islam lainnya. Dimulai dari Pustaka, Bandung. Lahir dari para aktivis Masjid Salman Bandung. Penggagasnya adalah Bang Imad Abdurrahim dan bang Ammar Haryono.
Lalu, Mizan, juga di Bandung. Muncul Iqra’, Risalah/Gema Risalah (Bandung). Pustaka Firdaus, Gema Insani Press, dan Pustaka Alkautsar (Jakarta). Lalu Shalahuddin Press, Yogyakarta. Penerbit Pustaka Mantiq, Solo. Dan Risalah Gusti, Surabaya. Dan seterusnya bak jamur di musim hujan.
Sebenarnya, sebelum menjamurnya penerbit di Surabaya ada penerbit modern yang sezaman dengan Al-Maarif, yang menerbitkan karya-karya pemikir Islam modern, khususnya kelompok Ikhwanul Muslimin. Pustaka Progresif, namanya.
Dari nama penerbitannya kita bisa tahu bahwa langkah penerbitannya bersifat progresif. Dipimpin oleh Ustad Hasan Ahmad Baktir. Dan setelahnya, muncul penerbit PT Bina Ilmu, Surabaya.
Dari penerbit yang berjamur itu tidak sedikit yang colaps sebelum menginjak dewasa. Tapi setidaknya mereka punya andil turut mewarnai perjalanan khazanah penerbitan buku-buku Islam di Indonesia.
Penerbit yang lahir pasca Al-Maarif digarap lebih baik, baik dari segi penampilan wajah buku, terjemahan, ddan editing buku yang lebih berkualitas. Dan tentu sudah ada pilihan-pilihan konten mau ke mana penerbitan itu dibawa.
Kembali pada Al-Maarif. Saya yang saat itu masih SD, sudah dikenalkan buku-buku terbitannya. Yang saya ingat adalah karya Muhammad Assad (Leopold Weiss), Jalan ke Mekkah (Road to Mecca) dan Islam di Simpang Jalan (Islam at the Crossroads).
Ayah dan khususnya ibunda adalah pribadi yang punya hobi membaca. Karenanya buku sudah dikenalkan sejak dini pada kami anak-anaknya. Sungguh kesyukuran tersendiri.
Pasca Bulan Bintang dan Tinta Mas
Penerbit Al-Maarif menyumbang banyak hal dalam kekosongan buku-buku agama, setelah Penerbit Bulan Bintang dan Tinta Mas Indonesia (Jakarta) terseok-seok lalu tutup tanpa tahu sebab utamanya. Yang jelas Bulan Bintang, juga Tinta Mas Indonesia, lebih dikaitkan setidaknya pemiliknya dekat dengan Partai Islam Masyumi.
Itu bisa dilihat dari buku-buku terbitannya yang diisi oleh cendekiawan yang berlatar belakang partai Masyumi. Nama-nama Sidi Gazalba, HM Rasjidi, HM Yunan Nasution, KH Munawar Khalil, dan sederet nama lainnya tidak asing merupakan tokoh-tokoh Masyumi, yang partai itu di tahun 1960, bersama Partai Sosialis Indonesia (PSI), dibubarkan rezim otoriter Soekarno.
Ada pula Pustaka Panji Masyarakat (Panjimas), yang dikelolah Buya Hamka, lalu diteruskan anak sulungnya H. Rusdy Hamka, dan penerbit Dewan Dakwah, yang dibidani Dewan Da’wah Islam Indonesia (DDII), yang dikelolah oleh tokoh-tokoh eks partai Masyumi. Di sana ada M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Anwar Haryono, dan lainnya sebagai pendiri.
Pustaka Panjimas juga menerbitkan majalah Panjimas, sudah tidak aktif lagi alias tutup. Sedang penerbit Dewan Dakwah juga menerbitkan majalah Media Da’wah pun bernasib sama, hidup segan mati pun tak mau.
Apakah ada benang merah antara partai Masyumi yang dibubarkan dengan tumbangnya penerbit Bulan Bintang dan Tinta Mas Indonesia? Wallahu a’lam.
Untuk memastikan perlu penelitian khusus, tidak spekulatif.
Tulisan sekadarnya ini tidak sampai dimaksudkan pada pembahasan detail masalah itu. Hanya “sekadarnya” melihat perkembangan penerbitan buku-buku Islam dari masa ke masa.
Juga pantas dipertanyakan, apa sih kehebatan penerbit Al-Maarif itu, di samping sebelumnya saya telah ungkap, mampu menerbitkan buku tanpa sekat pada aliran tertentu, mampu memadukan genre fiqih dan tasawuf berimbang sebagai khazanah saling melengkapi.
Dan terpenting adalah buku-bukunya terbilang murah harganya. Ya, amat murah untuk ukuran umum, bahkan dibanding dengan pendahulunya penerbit Bulan Bintang dan Tinta Mas Indonesia. Inilah amalan utama penerbit Al-Maarif, yang sulit disamai penerbit lainnya.
Karenanya, pantas untuk disebut bahwa penerbit Al-Maarif itu bagian dari arus utama perkembangan literasi buku-buku Islam (di) Indonesia. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post