PWMU.CO – Buya Syafi’i di mata pendeta adalah orang yang sangat sederhana dan sejuk dalam mengemukakan pendapat.
Hal itu disampaikan oleh Pendeta Dr Andreas A Yewangoe dalam Diskusi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dengan tema “Merawat Buya Merawat Indonesia Buya Syafii Maarif di Mata Tokoh Bangsa” via aplikasi Zoom, Jumat (6/6/2020).
Andreas A Yewangoe mengawali dengan ucapan selamat ulang tahun ke-85 untuk Buya Syafi’i Ma’arif. “Usia 85 luar biasa tingginya. Kita berharap Buya tetap memberikan pemikiran-pemikirannya. Beliau adalah guru bangsa kita,” ucapnya.
Memulai paparannya, Andreas A Yewangoe menyajikan kenangan unik bersama Buya Syafii Maarif. Pada tahun 2003 saat itu saya Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia). Buya diundang untuk makan malam di salah satu restoran. Saya belum kenal beliau waktu itu.
“Buya datang sendirian dengan mobil semacam Combi dan nyetir sendiri. Saya pikir dia sopirnya karena pakaiannya juga sangat sederhana. Sesudah duduk di dalam ternyata ini Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Bagi saya ini luar biasa,” ujarnya.
“Agak berada di luar bayangan saya. Seorang Ketua PP Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, semestinya lain penampilannya,” imbuhnya.
Sejak itu, lanjutnya, beliau bersama saya sebagai Ketua Umum PGI ikut pembentukan gerakan moral nasional yang menyerukan untuk meninggalkan budaya kebohongan dan seterusnya. “Dan sampai sekarang kami bersama-sama sebagai dewan pengarah di UKP-PIP,” ujarnya.
Buya Penemu Diksi Unik
Menurutnya yang sangat menarik dari Buya adalah beliau ini mampu untuk mempergunakan diksi yang tepat yang belum terpikirkan. Contoh misalkan diksi gagal paham.
“Itu dari Buya Syafi’i. Pemakaian pertama ketika ada seseorang yang mencalonkan diri presiden padahal ada masalah besar lumpur Lapindo. Buya mengatakan gagal paham bagaimana orang itu mencalonkan diri,” ungkapnya.
Lalu istilah gagal paham menjadi populer. Setelah itu ada lagi diksi rongsokan peradaban. “Istilah rongsokan peradaban muncul mengacu pada situasi peperangan yang terus terjadi di Timur Tengah. Karena orang bermusuhan padahal dari agama yang sama,” kisahnya.
Buya ini, lanjutnya, adalah orang yang sangat gelisah dengan ketidakadilan. Dalam seluruh pergaulan dengan beliau, Buya selalu berkata sila dalam Pancasila yang di anak tirikan di Indonesia adalah sila ke-5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Dalam setiap percakapan diskusi, apa fungsi badan ini, selalu ditekankan sila ke-5 itu. Tanpa keadilan sosial maka sulit untuk berbicara mengenai Persatuan Indonesia,” tambahnya.
Apalagi, sambungnya, Indonesia yang sangat berbhinneka. “Buya orang yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Jadi kita boleh bicara apa saja bebas, tetapi beliau juga menekankan tanggung jawab,” paparnya.
Boleh berbicara berdiskusi tentang pemakzulan presiden karena dijamin undang-undang tetapi apakah itu bertanggung jawab dalam situasi semacam ini.
“Jadi harus bertanggung jawab. Kita juga harus arif dan berguna bagi masyarakat saat ini. Saya kira Buya selalu mengemukakan atau memperlihatkan hal-hal seperti itu,” ujarnya.
Buya Menyejukkan
“Saya ingat dalam salah satu diskusi di Yogyakarta di gereja GPIB. Ada yang bertanya mengapa kalau Buya berbicara di sini selalu sejuk” ucapnya menirukan penanya.
Buya menjawab sangat sederhana. “Buya hanya memberikan contoh. Dalam pengalaman pribadi saya, saya melihat Buya ini sejuk di dalam menyampaikan pendapat,” jelasnya.
Buya Syafi’i ini, menurutnya, adalah orang yang konsisten. Sekali bicara A pada pagi hari maka sore juga A. “Jadi tidak melihat angin lain tiba-tiba berubah. Itulah yang memberikan keyakinan dan keteguhan pada kita,” tegasnya.
Misalkan Buya berbicara mengenai negara Pancasila versus negara Islam dan seterusnya. Maka beliau sangat konsisten di dalam menyampaikan hal-hal semacam itu.
“Jadi kita sebagai orang Indonesia yang tidak beragama Islam juga merasa dilibatkan dan menjadi bagian dari negara ini. Tidak pernah kita merasa di luar,” terangnya.
Jadi itu kesan yang sangat hidup di dalam pergaulan dengan Buya. “Dan saya lihat buku-buku beliau sangat banyak dan itu bisa menjadi warisan untuk generasi yang akan datang,” tuturnya.
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post