Jika Saling Jegal, Indonesia Tak Akan Jaya

Jika saling jegal Indonesia tak akan jaya disampaikan oleh Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr M Saad Ibrahim MA.
Saad Ibrahim: Jika saling jegal Indonesia tak akan jaya (Tangkapan layar Sugiran/PWMU.CO)

PWMU.CO – Jika saling jegal Indonesia tak akan jaya disampaikan oleh Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr M Saad Ibrahim MA.

Hal itu disampaikan dalam Webinar Ikatan Alumni ITB Jatim dengan tema Penguatan Pangan dan Kesehatan Rakyat sebagai Basis Ketahanan Negara Pasca Pandemi via aplikasi Zoom, Kamis (18/6/2020).

Sumber Daya Alam Melimpah

Menurut Saad Ibrahim secara teologis Allah sudah menggariskan bahwa binatang ternak pun rezekinya diurus oleh Allah. Apalagi manusia makhluk yang dimuliakan Allah. Pasti rezekinya juga diurus oleh Allah.

“Secara kasat mata kita mengetahui masih banyak sumber-sumber alam yang dapat kita pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Relatif laut yang diberikan oleh Allah juga masih melimpah. Di tempat-tempat lain juga binatang binatang yang halal seperti kijang dan rusa begitu banyaknya,” ujarnya.

Demikian pula, sambungnya, Allah memberikan tanah bumi ini dengan air dan sebagainya yang semua itu sebagian dari rezeki Allah untuk makhluk-Nya, termasuk manusia.

“Oleh karena itu rasanya kalau ada satu kawasan yang sampai kelaparan, ada satu atau dua orang yang kelaparan, maka itu terkait dengan soal bagaimana mendistribusikan sumber daya alam (SDA) ini,” ungkapnya.

Membangun Mindset SDM

Tidak selalu, lanjutnya, kawasan yang SDA-nya melimpah itu mesti kemudian sejahtera dan makannya cukup. Ada juga kawasan dengan SDA terbatas tetapi justru makanan dan sebagainya melimpah ruah. Lalu dimana letak kuncinya.

“Letak kuncinya adalah dalam kaitan soal sumber daya manusia (SDM). SDM inilah yang harus melakukan proses-proses tadi di kawasan yang lebih lalu dibawa kawasan yang kurang,” paparnya.

Dalam al-Quran, ujarnya, disebutkan agar kekayaan itu tidak hanya berpusat pada sekelompok atau segelintir orang. “Ini pun bisa kita perluas agar kekayaan tidak terpusat pada satu kawasan saja, Tetapi bagaimana didistribusikan kita atur dan sebagainya,” jelasnya.

“Maka kita perlu menggarisbawahi mindset kita atau bangunan mindset kita itu dengan aspek aspek teologis seperti itu,” tegasnya.

Muhamamdiyah Bergerak Bukan Wacana

Berkaitan dengan pandemi Covid-19, ungkapnya, Muhammadiyah mulai Pimpinan Pusat (PP) Muhamamdiyah, wilayah, daerah dan cabang telah membentuk Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC). Yaitu pusat pengendali pengaturan atau yang menangani dampak Covid-19 di Muhamamdiyah.

“Tentu Jawa Timur juga melibatkan jaringan Rumah Sakit Muhammadiyah. Kami memiliki 83 rumah sakit dan klinik, di mana 7 Rumah Sakit diantaranya ditunjuk ikut menangani pasien Covid-19,” urainya.

Kaitanya dengan ketahanan pangan, lanjutnya, Muhamamdiyah tidak lagi dalam konteks wacana tetapi dalam konteks yang sudah melakukan.

“Jauh sebelum Covid-19 pada 2018 yang lalu kita mengadakan MoU dengan Perhutani di Tulungagung. Muhamamdiyah memanfaatkan lahan perhutani untuk menanam rumput yang digunakan untuk pakan ternak,” jelasnya.

Kami juga bekerja sama dengan BI untuk membuat peternakan di Lamongan. Ketua PDM Blitar adalah orang-orang yang memiliki keahlian dan memiliki peternakan yang sangat besar. Kemudian di link-kan dengan masyarakat, termasuk juga ke kawasan kawasan hutan itu.

“Jadi bukan wacana tetapi sudah melakukan itu semua. Muhammadiyah Jatim juga sudah mengeluarkan dana 125 miliar yang dipakai untuk mengurus dampak pandemi Covid-19 dengan MCCC. Termasuk kita kirimkan ke PMI (Pekerja Migran Indonesia) di Malaysia,” rincinya.

Mereka pekerja, sambungnya, dan sebagian sebagai pekerja harian. Hari ini bekerja maka hari ini dapat uang. “Tetapi ketika kemudian Malaysia lockdown dan cukup keras aturannya maka mereka pasti kehilangan mata pencahariannya. Maka Muhamamdiyah Jatim menyalurkan yang dimilikinya dan dititipkan ke Muhammadiyah untuk sampai ke Malaysia,” jelasnya.

Bahkan dulu ketika Rohingya didera masalah maka Muhammadiyah Jatim mengirimkan dana 6 miliar. “Pendek kata seluruh elemen bangsa baik Muhammadiyah, NU, Persis, pemerintah dan seluruh elemen bangsa ini harus melakukan taawun satu sama lain. Terutama untuk mengatasi problem Covid-19,” terangnya.

Manfaatkan WFH untuk Menanam

Khusus mengenai ketahanan pangan, Jatim dengan luasnya yang terbatas dengan penduduk yang padat sehingga lahan tanah terbatas. “Tetapi sesungguhnya ada tanah-tanah bahkan di lantai atas rumah kita. Itu bisa juga digunakan untuk, sekali lagi kaitannya dengan mengatasi soal problem ketahanan pangan ini,” ungkapnya.

Tetapi masalahnya, menurut dia, kuncinya adalah mindset atau membangun mindset. “Nabi kita pernah menyampaikan jika seseorang mengetahui bahwa besok itu kiamat, sementara ditangannya ada biji maka hendaklah ia tanam,” sitirnya.

Maknanya Nabi telah menanamkan atau membangun mindset soal pangan ini. Mindset inilah yang perlu kita bangun karena dalam posisi apapun kita pasti mempunyai waktu luang.

“Entah 1 jam atau 2 jam. Ketika tinggal di rumah maka bisa menanam di sekitar kita. Ini sekali lagi terkait mindset itu tadi. Oleh karena itu inilah yang harus kita awali untuk menyelesaikan problem ketahanan pangan ini,” terangnya.

Waspada Pikiran Kontraproduktif

Tetapi kadang ada pikiran-pikiran dan sikap-sikap yang kontraproduktif dengan pembangunan mindset ini. “Sebagai contoh untuk apa kita menanam buah-buahan dan sebagainya. Beli dengan uang 10 ribu atau 20 ribu itu sudah dapat. Menanam menunggu berapa lama?” sergahnya.

Dan ini rupanya menjadi bangunan mindset yang lain yang ingin enaknya dalam waktu cepat, tetapi tidak memperhitungkan ke depan. Indonesia bisa bikin pesawat, sepeda motor, mobil listrik dan yang lainnya. Tetapi kemudian gerak dari semuanya itu tidak menjadi gerakan atau bangunan mindset yang penting bagi bangsa ini.

“Orang berpikir lebih baik mengimpor sepeda motor dan mobil daripada kita memulai dari nol dan Sari yang belum ada. Itu nanti lama. Akibatnya kemudian membangun mindset tadi dalam konteks pangan itu menjadi kendala yang sangat besar,” paparnya.

Dan ketika, sambungnya, yang memberi contoh itu adalah orang-orang yang memiliki posisi strategis di Indonesia ini, termasuk mengimpor banyak makanan dan sebagainya, tentu ini akan menjadi halangan untuk kita berusaha keras membangun mindset itu supaya orang menanam.

“Dan mempersiapkan masa depan yang lebih jauh, tidak sekadar sekarang kita bisa beli, kemudian kita akan tergantung kepada negara lain,” pesannya.

Akibat Saling Jegal

Bangsa ini hanya bisa mencapai kebesarannya jika seluruh elemen bangsa baik pemerintah, organisasi keagamaan, organisasi politik, organisasi sosial lainnya semuanya satu garis ke arah kebesaran bangsa ini.

“Tetapi kalau satu sama lain kemudian saling menjegal dan sering merusak maka saya kira bangsa ini tidak akan pernah mencapai kejayaannya itu,” tegasnya.

Kalau orang Muhamamdiyah bermanfaat bagi orang Muhamamdiyah itu biasa. Tidak ada nilai plusnya.

“Tetapi kalau orang Muhammadiyah bermanfaat bagi yang lainnya. Bermanfaat bagi pemerintah, NU, LDII, Al Irsyad, bahkan bermanfaat bagi kelompok agama lain maka barulah punya nilai plus,” tuturnya. (*)

Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.

Exit mobile version