Guru peduli di tengah pandemi Covid-19 ditunjukkan Chilmi Muchamad. Dia harus mengajar keliling ke rumah-rumah muridnya yang tak punya HP.
PWMU.CO – Pagi itu, dengan sepeda metik merahnya, Chilmi Muchamad meninggalkan rumah. Dia bergegas menuju sekolah.
Sampai di sekolah yang berlokasi di Jalan Deandels Tuban sejenak dia membuka komputer. Lalu mencetak beberapa berkas melalui mesin printer. Tak lama, berkas itu dia bawa menuju rumah salah seorang muridnya.
Di rumah yang sederhana itu dia ditemui seorang murid perempuan dan ibunya, yang tetap disiplin menggunakan masker. Sang guru kemudian menjelaskan pelajaran beberapa saat dan meninggalkan tugas. Dia bersegera menemui murid lainnya.
Tidak seperti kebanyakan guru, yang pada era Pandemi Covid-19 mengajar secara online atau daring. Chilmi Muchamad tidak memungkinkan melakukan hal itu, karena atar belakang ekonomi siswanya rata-rata adalah kalangan masyarakat bawah.
Setidaknya ada 20 siswa yang tak bisa mengkases internet agar bisa mengikuti kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diberlakukan sekolah selama berlangsung pandemi Covid-19 sejak Maret 2020.
“Ketika kami mulai memberikan tugas secara online, sebagian besar tidak mengirimkan hasil tugasnya. Setelah kami cari info, ternyata memang ada yang tidak punya HP Android. Ada yang HP-nya rusak, dan ada yang berat beli pulsa,” ungkap pria kelahiran Tuban, 14 September 1980 itu.
Melihat realitas ekonomi wali muiridnya, guru Bahasa Inggris di Madrasah Ibtidaiyah Muhmammadiyah (MIM) 3 Panyuran Tuban, itu tidak mau berpangku tangan apalagi menyalahkan. Ia jemput bola. Mengantarkan materi pelajaran dan tugas siswa ke rumah-rumah mereka (klik videonya di sini).
“Sederhana saja, membantu belajar dan melepas rindu bersua dengan mereka,” suami dari Emi Nor Hidayati ini memberi alasan. Ayah dari Bintang Samudra Chilmi dan Cantika Syaza Chilmi itu menambahkan, guru lain yang melakukan hal yang sama ust Hasan Badri, Eka Anggara, dan Miftakhul Huda.
Empati dari Pengalaman Hidup
Kepedulian dan empatinya pada siswa kurang mampu sudah terasa sejak kecil, melalui pengalaman hidup bersama orangtuanya dan aktivitas organisasinya. Mantan bendahara Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Tuban ini merupakan anak dari keluarga kurang mampu. “Ayah dan ibu saya pedagang kelontong, sayur, singkong dan sejenisnya,” kenangnya.
Sebagai guru swasta di desa—meski sudah berstatus guru tetap sejak 2002—tentu belum cukup hanya mengandalkan gaji guru untuk menghidupi keluarga dan aktivitasnya di Persyarikatan. “Saya juga jualan ikan hias dan bibit ikan air tawar,” kata pria yang hobby bermain di dunia air tersebut.
MIM 3 Panyuran tempat dia mengajar merupakan almamaternya. Setelah lulus tahun 1992, dia melanjutkan studi di SMP Muhammadiyah 1 Tuban, kemudian Madrasah Aliyah Pondok Modern Muhammadiyah Paciran. “Selanjutnya, saya kuliah di IKIP PGRI Tuban Fakultas Pendidikan Jurusan Bahasa Inggris, lulus 2003.”
Sebagai guru sekaligus aktivis Persyarikatan, Chilmi Muchamad telah memberikan teladan. Sesulit apa pun situasinya harus terus bergerak membantu menyelesaikan persoalan. (*)
Penulis Nadjib Hamid. Editor Mohammad Nurfatoni. Naskah ini kali pertama dimuat di majalah Matan, Edisi 168 Juli 2020.
Discussion about this post