Imron Manan, sang Penjaga Akidah ditulis oleh Nadjid Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – “Kamu jangan ikut-ikutan aliran liberal,” pesan Drs H Imron Abdul Manan disampaikan dengan terbata-bata kepada saya, saat bertemu setengah bulan sebelum beliau wafat.
Dengan menahan rasa sakit akibat kanker tulang yang menderanya, beliau mengungkapkan niatnya untuk menulis buku menanggapi merebaknya aliran liberal dan aliran sesat.
Sayang, sebelum sempat merealisasikan niatnya yang mulia itu, pria kelahiran Sedayulawas, Lamongan, 17 Agustus 1937 tersebut keburu dipanggil menghadap Sang Khaliq, Senin (7/1/2008), di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan (RSML).
Penulis Produktif
Ustadz Imron—demikian murid-muridnya biasa memanggil—memang dikenal sebagai penjaga akidah dan penulis yang produktif. Sejak muda ia sering menanggapi tulisan-tulisan yang dinilai menyimpang dari akidah Islam.
Buku Manakib Syekh Abdul Qadir Jailani Merusak Aqidah Islam, adalah salah satu karya yang merupakan tanggapan atas penulis lain tentang topik yang sama. Juga Akhirat Itu Kekal, tanggapan atas tulisan Drs Agus Mustofa, dalam buku Akhirat Tidak Kekal.
Karya tulis yang lainnya, seperti: Memahami Takdir secara Rasional Imani; Tauhid Populer; Selintas Mengenal Islam Jamaah dan Ajarannya; Syi’h dan Ahli Bait; Tempat Shalat Id Menurut Ulama Ahlus Sunnab wal Jama’ah, dan lain-lain.
Di samping beliau juga menulis beberapa karya terjemahan, dengan judul Peradilan dalam Islam; Tafsir Ayat Ahkam Rawa’iul Bayan, dan Syarah Riyadhush Shalihin, bersama KH Mu’ammal Hamidy; Mukhtashar Nailul Authar, bersama Ust Umar Fanany dan KH Mu’ammal Hamidy. Karya tulisnya yang belum diterbitkan menyoroti Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam.
Ayah empat anak itu juga pernah berpolemik di Majalah Al-Muslimun Bangil, dengan Ustadz Husen al-Habsyi, perihal Nur Muhammad, dan dengan Ustadz Khoiran Husen, seputar tahlilan dan selametan untuk mayit, melalui buletin stensilan.
Buku yang senada, seperti Tahlilan Menurut Pandangan Islam; dan Selamatan untuk Orang Mati Menurut Imam Syafi’i, dengan nama samaran: Ubaidillah.
“Pada tahun tujuh puluhan, beliau pernah berdebat langsung dengan pengikut Islam Jamaah, di Masjid Brondong dan menang, sehingga para pengikut Islam Jamaah keluar dari Brondong,” kata Ustadz Hamid Muhanan, salah seorang keluarganya yang kini tinggal di Babat, mengenang keahlian anak dari pasangan Abdul Manan dan Maimunah ini dalam adu argumentasi.
Di tengah kesibukannya sebagai hakim dan menulis, alumni IAIN Sunan Ampel generasi awal ini tetap menyempatkan berdakwah. Ia bahkan sudah aktif memberi pengajian sejak keluar dari tsanawiyah sampai menjelang akhir hayat.
Jadi Guru
Di dunia pendidikan, pengalamannya dimulai sebagai guru di Madrasah Muallimin Pesantren Tebuireng Jombang, lalu di Taman Pendidikan Putri Khadijah Wonokromo, Pesantren Persis Bangil, dan Pesantren Maskumambang Dukun, Gresik. Juga dosen luar biasa di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Penulis buku Islam Liberal Mengikis Akidah Islam ini termasuk salah seorang pendiri dan aktif mengajar di Pesantren Tinggi Ilmu Fiqih dan Dakwah.
Ma’had Ali yang bermarkas di Masjid Manarul Islam Bangil, itu didirikan pada 1984 oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Perwakilan Jawa Timur, atas usul Dr Muhammad Natsir, Ketua DDII Pusat.
Di Ma’had ini beliau menjabat sebagai wakil mudir, dan mengajar sampai 2003. Bagi yang pernah diajar, akan memiliki kesan yang sama: mengajarnya santai, tetapi tegas, sehingga mudah dicerna.
Pendidikannya dimulai dari madrasah ibtidaiyah di desa kelahirannya, dan pernah nyantri setahun di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Kemudian pindah ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan menamatkan kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada 1973.
Karirnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dimulai dari Hakim Pengadilan Agama (PA) di Bangil. Kemudian menjadi Ketua Pengadilan Agama di Bangil, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur, dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur (setahun), lalu pensiun tahun 2005.
Beliau juga sempat menjabat Ketua Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Perwakilan Jawa Timur.
Pejabat Bersih
Setelah pensiun, suami Shafwah Azhari itu bersama keluarga pindah dari Bangil dan menetap di Lamongan. Di Kota Soto ini, waktunya banyak dimanfaatkan untuk mengajar di Panti Asuhan Muhammadiyah Lamongan dan mebina jamaah pengajian.
Oleh karena itu, menurut dr Faisal Ama, mantan Direktur RSML, beliau merupakan aset berharga. Maka tidak heran ketika sakit beliau memperoleh perawatan intensif dan istimewa dari RSML.
Ustadz Imron, dikenal sebagai pejabat yang bersih. Ketika beliau menjadi Ketua PA, tidak pernah mau menerima hadiah. “Kalau ada yang memaksa memberinya, semisal dengan diberi pisang dan buah-buahan selalu dibagi pada karyawan-karyawannya,” kata KH Mu’ammal Hamidy, almarhum sepupunya, suatu saat memberikan kesaksian.
Kendati tidak pernah masuk secara struktural dalam kepemimpinan Muhammadiyah, tapi perannya dalam membina akidah warga ormas Islam bersimbol matahari ini di berbagai daerah, sangat dirasakan.
Saya sempat beberapa kali mendampingi beliau saat mengisi pengajian di daerah-daerah. Seperti Pasuruan, Sidoarjo, Lamongan, dan Surabaya. Rata-rata para jamaah sangat tertarik dengan isi ceramahnya yang disampaikan secara ringan. Disertai humor-humor kecil, tapi mengena. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post