Intoleransi di Sekitar Kita ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UINSA Surabaya.
PWMU.CO – Dalam sebuah acara peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, ada keributan. Ketika acara sedang berlangsung tiba-tiba ada seorang yang mendatangi acara itu. Ia marah dan memaki mereka yang hadir dalam peringatan itu.
Ia menyatakan bahwa peringatan itu adalah bid’ah, setiap bidah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. Ia mencoba mengusir semua yang hadir dan nyaris terjadi baku hantam.
Orang tersebut bersikap intoleran terhadap acara peringatan maulid yang dipandang bidah. Dengan melakukan itu, ia merasa telah melaksanakan amar makruf nahi munkar dan seandainya meninggal saat itu, ia yakin mati syahid dan langsung masuk surga.
Intoleransi Juga
Di tempat lain ada peristiwa yang kurang lebih sama. Masyarakatnya tradisional, sangat lekat dengan adat. Jika ada orang meninggal dunia, pasti diadakan upacara slametan selama tiga hari berturut-turut. Demikian juga dan pada hari ketujuh, keempat puluh dan seterusnya.
Pada suatu ketika ada keluarga yang tertimpa musibah, yakni salah seorang saudaranya meninggal dunia. Karena rajin membaca buku-buku berorientasi tajdid, keluarga itu tidak mengadakan slametan. Maka, warga kampung itu geger. Sang kiai memaki-maki keluarga tersebut, menuduh tidak bermoral karena memperlakukan orang yang meninggal itu bagaikan binatang.
Kiai itu menuduh mereka bukan ahlussunnah, dan karena itu tidak akan selamat, tidak akan masuk surga, di akhirat nanti. Ia sangat yakin bahwa semua orang Islam akan masuk neraka kecuali ahlussunnah, yang ditandai dengan upacara-upacara slametan seperti itu. Ia bersikap intoleran terhadap mereka yang tidak mau bikin slametan.
Dalam hubungan antarmanusia banyak masalah yang muncul. Sebabnya bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah intoleransi (sikap tidak toleran). Ketegangan, pertengkaran dan perkelaian bisa muncul karena intoleransi.
Serba menyalahkan pendapat orang lain, menghujat, mengecam dengan sesat, serba mengafirkan, dan mengutuk pemikiran orang lain adalah bentuk-bentuk intoleransi.
Sikap intoleransi itu negatif karena melewati batas-batas kewajaran. Intoleransi bisa berbuntut panjang dan menimbulkan dampak buruk yang sesungguhnya tidak perlu. Masalah kecil bisa menjadi besar karena intoleransi.
Enam Ciri Intoleransi
Intoleransi bukan berarti ragu-ragu; juga bukan berarti tidak punya sikap atau keyakinan. Intoleransi adalah sikap yang tidak bisa menerima atau memahami perbedaan.
Intolernasi berarti sikap kaku, keras, dan mau benar sendiri. Lawan dari semua sikap itu adalah toleransi yang memahami perbedaan tetapi pada saat yang sama memiliki sikap yang jelas dalam membedakan antara yang benar dan salah.
Antara yang baik dan buruk, dengan cara-cara yang lebih demokratis, santun dan beradab, tidak gampang marah dan kehilangan keseimbangan. Intoleransi bisa merupakan sikap terhadap sesuatu masalah tertentu tetapi juga bisa merupakan karakter seseorang.
Menurut psikolog Mark Goulston, ada beberapa ciri orang-orang intoleran. Pertama adalah fanatisme. Orang fanatik tidak hanya meyakini sesuatu secara kokoh, tetapi mereka juga meyakini sesuatu secara sempit tanpa menyisakan ruang bagi pemahaman lain.
Mereka yakin pandangan mereka adalah satu-satunya pandangan yang benar. Dan apa saja yang berbeda sekalipun kecil adalah salah dan dianggap musuh. Perlu disadari bahwa ada perbedaan antara taat dan fanatik.
Manurut Buya Hamka, orang taat meyakini sesuatu secara kokoh atas dasar alasan-alasan yang rasional. Sementara orang fanatik yakin secara membabi buta, tanpa alasan yang rasional, dan menyerang siapa saja yang tidak sepakat atau sekedar berpendangan beda sedikit dari pendapatnya sendiri. Sikap intoleran bisa muncul karena fanatisme.
Kedua adalah sikap kaku. Orang intoleran biasanya berkepribadian kaku. Ia tidak bisa melihat orang lain memiliki pendapat berbeda dari pendapatnya.
Ia memaksa orang lain untuk sependapat dengannya. Ia lebih banyak sibuk dengan urusan menjaga harga dirinya dan memandang perbedaan sebagai ancaman terhadap identitasnya.
Mereka memandang sikapnya yang kaku itu sebagai pertahanan diri mengahadapi serangan orang lain yang tidak sependapat. Baginya perbedaan pendapat selalu diartikan sebagai permusuhan. Orang yang berbeda pendapat dengan dirinya selalu dipandang semua musuh yang menyerang.
Sikap Serba Tahu
Ketiga adalah perasaan serba tahu. Orang intoleran merasa tahu banyak tentang semua hal. Pengetahuannya tentang aspek yang sempit dari kehidupan ini yang telah membuatnya sukses, membuatnya yakin bahwa kesuksesan yang sama dapat diterapkan pada setiap aspek kehidupan.
Demikian juga dalam melihat orang lain. Ia melihat bahwa orang lain akan sukses jika menempuh jalan yang telah dilaluinya. Baginya hanya ada satu jalan menuju sukses, hanya ada satu jalan menuju Roma. Ia bersikap intoleran terhadap jalan yang berbeda dari jalan yang pernah ia lalui.
Keempat adalah sikap tidak mau mendengar. Orang intoleran biasanya tidak suka mendengarkan orang lain berbicara, tidak mudah memahami atau menghargai pikiran orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia sibuk menasehati orang lain dan tidak suka mendengarkan nasehat orang lain untuk dirinya.
Hitam Putih
Kelima adalah ketegangan dalam hubungan dengan orang lain. Orang intoleran hanya mau menjalin persahabatan dengan mereka yang setuju, taat dan loyal terhadap dirinya. Mereka tidak suka berteman dengan orang-orang yang kritis terhadap dirinya. Ia lebih memilih teman “yes people”.
Keenam adalah sikap hitam-putih. Menurutnya, di dunia ini tidak ada yang abu-abu, tidak ada proses. Di dunia ini hanya ada manusia Muslim dan kafir, tidak ada setengah Muslim atau setengah kafir. Tidak ada proses menjadi Muslim.
Dalam pikirannya, jika sebuah negara itu bukan negara Islam, maka jelas itu negara kafir (jahili); tidak ada negara yang setengah Islam atau sedang berproses menjadi Islam.
Dalam Islam, kita diajarkan untuk mendengarkan pikiran orang lain, bersikap wajar tidak melewati batas, bersikap tengahan tidak ekstrem, berfikir luas tidak sempit, berprasangka baik, tidak mudah menuduh sesama Muslim dengan tuduhan sesat atau kafir.
Mengedepankan ukhuwwah (persaudaraan), bukan ‘adawah (permusuhan). Mari kita junjung tinggi toleransi dalam melihat perbedaan pikiran. Selalu mohon hidayah dalam menentukan pendapat, dan selalu mendasarkan pilihan pikiran kita pada semangat wallahu a’lam bish-shawab (Allah maha mengetahui yang benar). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul asli Intoleransi dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO.
Discussion about this post