
KH Umar Ali Abdullah, Kritis soal Fikih, ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
PWMU.CO – Namanya kerap muncul setiap kali ada kontroversi mengenai masalah-masalah fikih. Terutama terkait dengan penetapan awal puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri ataupun Idul Adha.
Di Indonesia memang ada dua cara dalam menetapkan awal waktu ibadah puasa dan hari raya, yaitu hisab dan rukyah. Tapi khusus Idul Adha, ada pula madzhab Arab Saudi yang didasarkan pada pelaksanaan wukuf di Arafah.
KH Umar Ali Abdullah adalah salah satu penganutnya. Orangnya kekeh dalam mempertahankan pendapatnya, yang berpegang pada teks tanpa mau kompromi dengan konteks di mana berada.
Terakhir, saat Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memutuskan hari raya Idul Adha 1436 jatuh pada hari Rabu, 23 September 2015, lebih awal sehari daripada keputusan pemerintah dan Arab Saudi, beliau protes keras melalui surat terbuka.
Hal serupa pernah dilakukan sebelum tahun 2000, ketika dirinya menjabat Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan. Saat itu PP Muhammadiyah menetapkan penyelenggraan shalat Id lebih akhir sehari dari Makkah. Tapi dia protes dan lebih mengikuti madzhab Timur Tengah.
Kritis sejak Nyantri
Pria kelahiran Brondong Lamongan, 1949 ini memang dikenal cerdas dan kritis sejak masih nyantri di Pondok Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng, Jombang. Tidak jarang dia berselisih pendapat dengan guru dan kiainya.
Hal itu berlanjut ketika dirinya kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang saat itu baru berdiri. “Bahkan sempat diusir oleh salah seorang dosen, lantaran beda pendapat,” ujar Hj Fahimah, istrinya.
Semasa hidup, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk dakwah. Jejaknya sebagai aktivis dimulai ketika masih menjadi santri di Pondok Tebuireng, Jombang, dengan aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia) Cabang Tebuireng (1959).
Setelah bertemu Prof Dr Hamka pada 1965, ia masuk Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Cabang Jombang. Kemudian terlibat dalam aksi penumpasan G30S/PKI di bawah komando Letnan Jusuf Hasyim.
Jiwa aktivisnya berlanjut saat kuliah di Surabaya. Tahun 1967 tercatat sebagai anggota HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Surabaya. Setelah pulang kampung, terpilih sebagai Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Blimbing Paciran, Lamongan. Beberapa tahun kemudian, diangkat menjadi Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan.
Penjaga Gawang Akidah
Ketika marak gerakan yang disebut kaum pluralis dan liberalis, dia tampil sebagai penjaga gawang akidah yang gigih. Beberapa buku ditulis untuk mengomentari pemikiran yang dinilainya menyimpang dari akidah yang diajarkan nabi. Buku Liberalisme, Tantangan bagi Muhammadiyah adalah salah satu karyanya.
Kegigihannya dalam menjaga aset Persyarikatan, patut jadi teladan. Anak kedelapan dari dua belas bersaudara ini paling tidak suka ketika menyaksikan ada oknum kader yang menyalahgunakan tanah wakaf untuk yayasan keluarga. Saking gemasnya, beliau pernah kirim surat protes melalui rubrik Dari Pembaca Majalah Matan.
“Tapi gara-gara surat tersebut, beliau sempat digruduk oleh mereka yang terkena sasaran kritiknya,” ujar Nely Asnifati Sekretaris Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jatim, yang juga keponakan almarhum.
Dirikan Bayt al-Quran
Kepeduliannya pada pendidikan al-Quran bagi generasi muda juga luar biasa. Sehingga pada usia senjanya, anak dari pasangan H Abdullah dan Hj Ummayah itu masih berupaya keras untuk mewujudkan pendirian Bayt al-Quran. Lembaga tempat para santri menghafal al-Quran tersebut terus dikawal hingga dirinya wafat pada 16 April 2016.
“Sebelum meninggal, beliau selalu pesan agar Bayt al-Quran dijaga,” ujar Fahimah, istri almarhum mengisahkan wasiat suaminya.
Beliau berharap, agar di antara enam anaknya suatu saat nanti ada yang bisa melanjutkan perjuangannya, meski dalam bentuk yang berbeda. Keenam anaknya itu adalah Muthohar Afafi SH; Ainul Khafid Rofi SAg; Zuhridi Ma’lufi SPd; Eva Amalia SH MKn; Asfina Fadhilia SH MKn; dan Fidya Dini.
Saat ditanya mengenai harapan ayahnya, Eva Amalia belum bisa menjanjikan. Ia menjelaskan bahwa salah satu adiknya, Asfina Fadhilia, kini menjadi Jaksa di Malang. Sedangkan dirinya, selaku notaris membuka kantor notariat di rumah, Jl Raya 70, Blimbing Paciran. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post