PWMU.CO – H Rostam, Pemimpin Hasil Tempaan Hidup. Seorang pemimpin tidak selalu lahir dari pemimpin. Sebaliknya, tidak setiap pemimpin bisa melahirkan pemimpin. Ungkapan tersebut tampaknya cocok untuk menggambarkan sosok Drs H Rostam.
Aktivis Muhammadiyah Kota Mojokerto itu menjadi pemimpin bukan karena nasabnya. Tapi hasil dari proses tempaan kehidupan. Secara nasab, pria kelahiran Lamongan, 22 Maret 1943 ini anak dari pasangan orang biasa, Niti Asro dan Saminten, yang tinggal di Desa Gembong, Babat.
Kedua orangtuanya berprofesi sebagai tukang pande besi, yang kesehariannya bergelut dengan pekerjaan membuat sabit, cangkul, dan peralatan tradisional lainnya yang berbahan besi.
Semangat Belajar Luar Biasa
Anak bungsu dari empat bersaudara, ini tumbuh-kembang dalam keluarga yang sangat sederhana. Kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan justru memantiknya untuk berbuat lebih, supaya bisa mengubah nasibnya.
Jalur pendidikan, diyakini oleh dia dan keluarganya sebagai bekal menghadapi tantangan zaman. Semangat belajarnya sangat tinggi layaknya pande besi yang tak henti bekerja menempa besi, meski seluruh badan berpeluh keringat.
Kelebihan semangatnya dalam menimba ilmu ditunjukkan dengan jam belajar melebihi teman-teman sebayanya, sejak duduk di bangku sekolah dasar. Jika teman-temannya hanya belajar satu jam misalnya, dia melebihi temannya tersebut. Kerja kerasnya berbuah sukses. Dia bisa mengikuti jenjang pendidikan lebih tinggi, meski orangtuanya miskin.
Setelah lulus dari sekolah dasar pada 1956, dia mendapat beasiswa pendidikan dinas di Pendidikan Guru Agama Pertama (setara SMP tapi 4 tahun), di Bojonegoro. Setelah lulus, dia lagi-lagi mendapat beasiswa belajar di PGA Atas Malang, dan lulus tahun 1962.
Aktif di Muhammadiyah
Ketika menempuh pendidikan PGAA di Malang, H Rostam mulai berhubungan intensif dengan Muhammadiyah. Sembari bersekolah, dia menyempatkan waktu berguru dan nyantri pada tokoh legendaris, KH Bedjo Darmaleksana.
Nuansa Muhammadiyah semakin menyeruak dalam nafas kehidupannya, karena selama di Malang itu pula dia merangkap sebagai Takmir Masjid Al-Falah MAN 3—kini MAN 2—Malang. Di tempat ini dia dikader ustadz Abu Bakar Husein, yang juga tokoh Muhammadiyah.
Setahun setelah lulus PGAA, Rostam mencoba keberuntungan untuk mendapatkan beasiswa di tingkat perguruan tinggi. Sambil menunggu pengumuman hasil tes, dia mengajar di sekolah Muhammadiyah Malang. Keberuntungan tampaknya sedang berpihak padanya. Pada 1964 dia mendapat panggilan tugas belajar, di IAIN Jakarta Jurusan Pendidikan Masyarakat Islam.
Jiwa Muhammadiyah dan gairah berorganisasi semakin kokoh ketika memasuki perkuliahan. Dia langsung aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), yang pada zaman itu masih dalam tahap perintisan.
Bersama teman-teman yang sepaham, mereka terpanggil merintis pendirian IMM di lingkungan IAIN Jakarta. Melalui organisasi kepemudaan yang masih belum genap berusia setahun inilah dia menempa diri menjadi aktivis tangguh di kemudian hari.
Sebagai anak desa, H Rostam punya cerita lucu saat kali pertama masuk Jakarta. Geliat masyarakat Jakarta membuat Rostam yang lugu terkaget-kaget. Keingintahuan tentang Jakarta diwujudkan dengan berkeliling kota naik bus. Uniknya, selalu melalui rute yang sama dengan lokasi tujuan yang satu pula. “Setelah itu, biasanya saya langsung kembali ke tempat kos karena takut kesasar,” cerita Rostam.
Dekat Masjid
Hidup di perantauan membuat Rostam selalu mengingat titah orangtuanya. “Pergi ke mana pun, mampirlah ke masjid, Cung!,” tutur Rostam menirukan pesan orangtuanya dengan logat Lamongan.
Tak heran jika sejak masih di Bojonegoro, Malang, hingga Jakarta, dia tidak pernah jauh dari masjid. Di sela-sela kegiatan kuliah dan berorganisasi, disempatkan ngalap ilmu di masjid kampusnya.
Lulus dari IAIN pada 1969, Rostam langsung mendapatkan surat keputusan (SK) pengangkatan pegawai negeri sipili (PNS) Departemen Agama (kini Kemenag). Mengajar di PGA Negeri Mojokerto seperti membuatnya ‘pulang kampung’, karena jarak antara Mojokerto dan Lamongan tidak terlalu jauh.
Pada 6 Juli 1969, dia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Sumiani, adik kelas yang memikatnya sejak sama-sama belajar di PGAP Bojonegoro. Sambil menunaikan tugas negara sebagai PNS, Rostam tidak melupakan dunia dakwah.
Lazimnya pendatang baru, dia mengawali pengajian di sekitar tempat tinggalnya. Melalui media inilah dia menebar dan menanamkan pemahaman Islam ala Muhammadiyah kepada warga sekitar. Lambat laun pengajian itu terus bergulir, hingga mengantarkan Rostam berkiprah di Muhammadiyah secara lebih luas.
Berjuang di Mojokerto
Karirnya di Muhammadiyah Mojokerto diawali pada era 1980-an, sebagai kepala SMP Muhammadiyah selama lima tahun (1982-1987). Pada tahun itu pula dia diamanati sebagai Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PDM Mojokerto. Kemudian Sekretaris PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) periode 1985-1990.
”Amanah adalah tanggung jawab yang harus diemban dengan sebaik-baiknya,” begitu dia berfilosofi. Itu pula yang membuatnya selalu bersemangat dalam menggerakkan dakwah meski tidak di pimpinan terdepan.
Setelah lengser dari jabatan sekretaris, dia lebih banyak mencurahkan pengabdiannya pada dunia pendidikan, tepatnya Ketua Majelis Dikdasmen PDM Mojokerto.
Setelah pensiun dari PNS Depag, H Rostam menjadi pengurus Majelis Tarjih. Selama memimpin lembaga yang menjadi ‘ruh’ Muhammadiyah, dia berusaha memperkuat pendalaman ilmu agama bagi warga ataupun pimpinan. Salah satu prasasti keberhasilannya, penyelenggaraan kajian Fiqih Sunnah rutin tiap akhir pekan dengan tempat bergantian.
Salah satu kelebihan Muhammadiyah, dibanding organisasi lainnya adalah memberikan kesempatan kepada sispa pun berkembang secara terbuka dan setara. Kepemimpinan dalam organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini bukanlah pemberian atau titisan nasab. Melainkan karena prestasi dan kompetensi seseorang. Siapa pun berpeluang menjadi pemimpin di Muhammadiyah, asalkan dua hal tersebut terpenuhi.
Dalam pandangan Rostam, Muhammadiyah adalah organisasi perjuangan. Sehingga menjadi salah kaprah jika orang masuk Muhammadiyah hanya demi kepentingan pribadi. Baginya, hadits yang menyatakan khairunnas anfauhum linnas, harus menjadi pelecut bagi setiap orang dalam ber-Muhammadiyah.
Kiprah Wakil Ketua PDM Kota Mojokerto periode 2010-2015, itu berakhir pada 20 April 2013, seiring beliau dipanggil untuk menghadap Sang Pencipta.
Rosyida Ernawati memberikan kesaksian, ayahnya sangat totalitas dalam memajukan Muhammadiyah. Baik di bidang pendidikan dan dakwah, maupun aktivitas organisasi secara keseluruhan.
“Kiprah beliau di Muhammadiyah dimulai sejak sebelum menikah sampai beliau berpulang ke rahmatullah,” ujar guru SD Muhammadiyah Plus, Mojokerto itu.
Peduli Pendidikan
Di lingkungan keluarga, pemilik rumah Jalan Miji Baru Satu No. 10 Kota Mojokerto itu tipologi orangtua yang sangat peduli pendidikan anak. “Teruslah menuntut ilmu. Kalau bisa pendidikan anak-anak lebih tinggi dari Bapak, minimal sama dengan Bapak,” kata anak pertama itu menirukan pesan sang ayah.
“Jagalah pendidikan anak-anak,” titahnya kepada sang isteri, Hj Sumiani SAg. Sehingga tidak heran jika keempat buah hatinya tuntas meraih pendidikan sarjana bahkan pascasarjana. Yakni Rosida Ernawati SE, SPd; Ahmad Rosyadi Immawan SPi (alm); Ahmad Hasan Su’aidy SE SST Ak MSi; dan Ahmad Zamroni Bahtiar ST.
Bagi Ernawati, kenangan tak terlupakan adalah wanti-wanti almarhum agar selalu rukun, dan jujur dalam segala hal. “Juga berpesan supaya menghormati dan menjaga ibu. Selalu mendoakan orangtua, tekun ibadahnya, dan jangan lupa pada orang yang membutuhkan, seperti anak yatim dan fakir miskin.”
Paling berkesan bagi isterinya, almarhum senantiasa menjaga shalat berjamaah, baik di rumah maupun di masjid. Juga sosok konseptor. “Apabila ada rencana untuk 5 sampai 15 tahun mendatang, hari ini beliau sudah membuat konsepnya,” kata perempuan kelahiran 18 Oktober 1946.
Sebagai kepala keluarga, Rostam dikenal demokratis. “Hampir dalam segala hal selalu meminta pendapat istri dan anak-anaknya. Tidak pernah memaksakan pendapat, selain memberikan saran sebagai pertimbangan. Anak-anaknya diberikan kebebasan, namun harus bertanggung jawab atas pilihannya,” kenang isteri yang juga sekampung dengan asal suaminya.(*)
Penulis Abdul Kholiq dan Nadjib Hamid. Editor Mohmmad Nurfatoni.