PWMU.CO– Rengasdengklok, kota kecamatan di Karawang Jawa Barat ini menjadi terkenal karena di situlah para pemuda menyandera Bung Hatta, Bung Karno, Ibu Fatmawati, dan anaknya, Guntur, yang berusia 9 bulan menjelang proklamasi kemerdekaan, 16 Agustus 1945.
Dalam buku Sekitar Proklamasi, Bung Hatta menceritakan, dari Jakarta dijemput pakai mobil sedan saat makan sahur oleh pimpinan pemuda, Sukarni. Lalu menjemput Bung Karno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Mobil lantas meluncur ke arah Karawang. Menjelang belok ke Rengasdengklok pindah naik mobil pikap.
Mobil berhenti di sebuah asrama PETA. Penghuninya sekitar 40 orang. Komandannya sudanco dokter Sutjipto. Mereka diminta naik ke lantai atas. Ternyata ruang tidur prajurit. Lantai kayunya beralaskan tikar pandan. Di situlah mereka istirahat.
Tak lama kemudian dibawa masuk seorang sandera lagi. Camat Rengasdengklok. Camat ini mengenal Bung Karno dan Bung Hatta. Lalu dia bertanya,”Buat apa kita ini dibawa kemari?”
”Kita di sini ditawan karena pemuda mau mengadakan revolusi. Menggempur dan menangkapi tentara Jepang di Jawa ini,” jawab Bung Karno dengan nada berseloroh. ”Pemuda sudah mulai berani sebab Jepang sudah menyerah kepada sekutu,” ujar Bung Karno lagi dengan tersenyum.
Camat tadi menanggapi jawaban Bung Karno yang bernada sindiran itu masih penasaran dengan ulah para pemuda ini.
Pindah ke Rumah Tionghoa
Satu jam duduk di asrama itu datang pemuda yang memberitahu segera pindah tempat ke rumah seorang Tionghoa. Jaraknya 300 meter. Tapi Pak Camat diminta tetap di asrama. Rumah itu sudah dikosongkan. Pemiliknya Djiauw Kie Song sudah disuruh pergi.
Dua jam berada di rumah Rengasdengkolok ini hanya mengobrol bertiga dan memangku Guntur bergantian. Guntur ingin minum susu tapi susu kaleng yang dibawa Ibu Fatmawati tertinggal di mobil sedan yang sudah balik ke Jakarta. Sewaktu Guntur dipangku Bung Hatta ternyata bayi itu pipis. Bung Hatta tertawa melihat celananya basah.
Pukul setengah satu siang Bung Hatta meminta prajurit penjaga rumah supaya memangilkan Sukarni. Rupanya dia tak mengenal nama Sukarni. ”Cari saja di asrama PETA,” kata Bung Hatta. Melihat pemuda itu langsung pergi, Bung Hatta dan Bung Karno tertawa. Mestinya sesuai disiplin prajurit, tugas jaga tak boleh meninggalkan posnya.
Tak lama kemudian Sukarni datang. ”Apakah revolusi pukul 12 siang dengan 15.000 rakyat, pemuda, dan PETA sudah menyerbu Jakarta?” tanya Bung Hatta.
”Belum ada kabar,” jawab Sukarni.
”Segera telepon kota,” tukas Bung Hatta.
”Baiklah,” ujar Sukarni langsung pergi. Sejam kemudia dia datang mengabarkan belum bisa kontak Jakarta. Pemuda Jakarta juga tidak mengirim kabar.
”Kalau begitu revolusi sudah gagal,” sergah Bung Hatta. ”Buat apa kami di sini kalau di Jakarta tidak terjadi apa-apa.”
Syucokan Juga Ditangkap
Sukarni langsung pergi. Sementara bayi Guntur juga tidur nyenyak karena sudah mendapat susu yang diantar seorang pemuda. Bertiga hanya bercakap-cakap saja.
Sekitar pukul 3 sore datang Sukarni memberitahu, Syucokan (Residen) Sutardjo yang datang memeriksa stok beras di daerah ini juga ditawan pemuda di asrama. ”Apakah dia dibiarkan di sana atau dibawa ke sini?” tanya Sukarni.
”Bawa saja ke sini,” kata Bung Karno dan Bung Hatta.
Tak lama kemudian Residen Sutardjo datang dengan muka kusut. Begitu dia melihat dua pimpinan ini langsung wajahnya sumringah. ”Ehh Bung Karno dan Bung Hatta juga di sini. Nyonya Fatmawati dan Guntur ikut serta kemari?” katanya.
Dengan nada sinis dia menyampaikan,”Rupanya sejak Jepang menyerah, pemuda kta mulai berani. Baik itu dan merekalah yang akan menggantikan kita memimpin rakyat.”
Perkataan itu dijawab dengan gurauan oleh Bung Hatta.”Tahukah saudara bahwa saudara ini berada dalam tahanan PETA yang daidanconya anak saudara sendiri.” Mereka semua lalu tersenyum kecut.
Sutardjo rupanya kesal ditangkap para pemuda ketika sedang mengecek persediaan beras di Rengasdengklok tiba-tiba ditahan tanpa mengetahui sebabnya.
Subardjo Menjemput
Menjelang pukul 6 petang, Sukarni datang lagi memberitahu ada Mr Subardjo datang disuruh Gunseikanbu (Kantor Pemerintah Militer). ”Bawa saja kemari,” kata Bung Hatta.
Mr Subardjo ketika tiba, dia menceritakan di Jakarta tidak ada apa-apa. Lalu dia berkata kepada Sukarni,”Buat apa pemimpin-pemimpin kita berada di sini. Banyak hal yang harus dibereskan di Jakarta. Saya datang untuk menjemputnya.”
”Apakah PPKI jadi berapat pagi tadi?” tanya Bung Hatta yang sudah mengundang anggota PPKI bersidang hari itu pukul 10 di Hotel des Indies.
”Apa yang dikerjakan mereka. Saudara-saudara yang mengundang mereka rapat, tidak ada. Berada di sini,” jawab Subardjo.
Mereka langsung memutuskan balik ke Jakarta. Fatmawati dan Guntur naik mobil Residen Sutardjo. Bung Karno, Bung Hatta, naik mobil Soebardjo. Sukarni juga ikut duduk di depan di sebelah sopir.
Beberapa waktu berjalan, kelihatan langit merah sebelah barat, tanda ada yang dibakar. Sukarni dengan meyakinkan berkata,”Bung, rakyat sudah mulai berontak. Membakari rumah orang Tionghoa. Lebih baik kita kembali ke Rengasdengklok.”
”Tunggu dulu,” sergah Bung Karno. ”Baiklah kita periksa dulu.”
Mobil berhenti. Sopir disuruh turun memastikan asal api. Tidak jauh dia pergi kemudian kembali membawa informasi. ”Itu hanya rakyat yang membakar jerami,” katanya. Para pimpinan langsung tertawa. Menertawai ulah Sukarni. Mobil malam itu langsung meluncur ke Jakarta.
Penjelasan Mr Kasman
Harian Abadi, 20 Agustus 1969, memuat berita hasil wawancara dengan Kasman Singodimedjo yang tahun 1945 menjadi daidanco PETA Jakarta. Berita itu menjelaskan kenapa revolusi yang direncanakan para pemuda ini batal.
Kasman tanggal 16 Agustus 1945 itu berada di Bandung menghadiri pertemuan semua Daidanco Jawa-Madura atas undangan Sebu Sakka (Panglima PETA Jawa). Isi pertemuan, Jepang sudah menyerah kepada Sekutu. Semua senjata dan peralatan lainnya supaya diserahkan kepada militer Jepang.
Usai pertemuan, Kasman mengajak kepada para daidanco agar menolak perlucutan senjata ini dan mengajak berontak. Namun tak ada keputusan sepakat. Setelah pulang ke Jakarta. Pukul 18.15 dia mengirim kurir ke Chairul Saleh, pimpinan pemuda, yang sudah merencanakan untuk berontak.
Pesannya: PETA dan Heiho tidak dapat ikut karena tidak ada perintah dari Bung Karno.”
Menerima pesan itu Chairul Saleh dan kawan-kawannya langsung suram dan menyumpah-nyumpah Kasman. (*)
Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post