
Tanda Resesi: Manusia Tikungan oleh Ali Murtadlo, jurnalis di Surabaya.
PWMU.CO-Ini juga bisa dianggap tanda resesi: manusia tikungan (mantik). Dulu disebut polisi cepek. Saya tak mau menyebut begitu. Pertama, kasihan pak polisi. Kedua, kenyataannya sudah tidak cepek lagi.
Kian hari kian banyak jumlahnya. Di setiap persimpangan atau jalur putar balik pasti ada. Bahkan di mulut gang. Keberadaan mereka ini bisa sebagai gejala jumlah pengangguran makin tinggi. Tanda resesi.
Keberadaannya diperlukan kalau pertama, persimpangan tak ada lampu lalu lintasnya. Kedua, lalu lintasnya kelas berat: truk dan bus. Ketiga, jalannya kencang.
Namun mereka tak peduli beroperasi di mana saja. Jalan sepi maupun ramai. Bermodal sempritan. Seolah mengatur lalu lintas. Tapi menempatkan posisi dirinya pun salah. Lebih suka memilih posisi mendekati sopir untuk menerima sedekah. Padahal kendaraan yang disetop ada di arah lainnya.
Sebetulnya, kalau mau lebih bermanfaat, perlu dijaga dua orang. Yang satu, bagian mencegat kendaraan, satunya lagi, bagian menerima uangnya. Hasilnya dibagi.
Tapi ada yang nekat. Ambil persimpangan yang ada traffic lightnya. Kalau pas lampu merah, dia bunyikan sempritannya. Bendera dikibarkan agar kendaraan segera jalan. Padahal tanpa itu, lampu lalu lintas sudah mengaturnya.
Itulah pemandangan di sepanjang Jalan Prapen yang jembatannya dilebarkan dan relatif sepi, kini ada mereka. Padahal di situ panasnya luar biasa. Pohon yang ditanam, masih belum tumbuh tinggi. Di MERR juga. Kini hampir di setiap tikungannya ada mereka. Meskipun jalanan relatif lancar. Bahkan di pintu masuk dan keluar jalan tol pun mereka ada.
Kelompok Pemberi Uang
Ini survei kecil-kecilan. Lantas siapa yang sering memberi? Orang yang senasib. Artinya orang yang merasa bahwa cari duit itu sulit, harus kerja. Contohnya, sopir mobil box, sopir pengangkut air minum, sopir bahan bangunan, sopir truk.
Lihatlah, kalau mereka tidak punya uang receh, apa yang diberi? Sebatang rokok. Kekompakan warga alit yang luar biasa. Sedang mobil kelas menengah, ada yang memberi ada yang tidak.
Siapa yang paling tidak memberi? Mohon maaf mobil mewah. Yang saya maksudkan pengendara Alpard, Mercedes Bens dan di atasnya. Saya tahu mengapa kok tidak memberi. Karena yang pegang setir sopirnya. Dia fokus ke jalan, jangan buka-buka jendela. Ada majikan di belakang.
Saya sering bertanya kepada teman-teman, apakah mereka memberi atau tidak. Jawabannya imbang: memberi dan tidak. Semuanya ada alasannya. Yang memberi karena sekarang lagi masa sulit, pekerjaan apa pun asal halal dilakukan, termasuk penjaga persimpangan.
”Kalau saya sudah niat dari rumah, jadi di mobil saya, selalu disediakan istri bendelan uang 2 ribuan, yang sudah tertata rapi, sehingga tinggal mengambilnya satu per satu. Karena sudah saya niati ya beri begitu saja,” kata dirut sebuah harian yang berkali-kali saya nunuti.
Jadi Kebiasaan
Yang tidak? Alasannya juga kuat. ”Saya khawatir, nanti itu dianggap sebagai pekerjaan. Mula-mulanya hanya daripada nganggur setelah pekerjaan hilang. Tapi kalau keenakan, bisa kebablasan,” kata teman yang fanatik tidak mau memberi kepada pengemis, pengamen jalanan, dan mantik ini.
”Selain itu, ada Perda. Kita dilarang memberi,” katanya. Tapi, menurut saya, ada perintah tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah.
Bu Risma mungkin risih melihat semua tikungan di kotanya dijaga mantik. Karena itu, setiap pagi dan sore, di tempat tertentu dikerahkan Satpol PP. Sementara para mantik menunggu dan mengintip. Begitu pasukan Bu Risma bubar, langsung kembali ambil posisi.
Berapa rata-rata pendapatannya? ”Yang di dekat McD Raya Taman menuju Pondok Jati bisa jutaan. Tapi 24 jam dan banyak shift lho ya,” kata kenalan saya yang biasa menitipkan motor di situ. Tapi, itu benar-benar kerja. Benar-benar menyetop kendaraan, truk dan bus. Fungsinya: vital sekali. Kalau pagi dan sore juga dijaga polisi.
Yang kelas menengah? ”Antara Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu,” kata mantik di U-turn Jalan Panjangjiwo yang juga ramai.
Yang kelas kecil, sebetulnya sama sekali tidak diperlukan. Seperti di ujung jalan Untag depan Kecamatan Sukolilo putar balik ke Brimob, sehari kurang dari Rp 50 ribu. Makanya, karena tikungan garing jarang ditunggui.
Semoga ini hanya untuk sementara saja. Darurat. Mengatasi masa sulit saat pandemi. Kelak, ketika situasi sudah normal kita kembali bekerja normal. Badai pasti berlalu. Tetap semangat dan salam!
Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post