Kalau ingin menggemuruhkan rasa bangga sebagai muslim di sebuah negara dengan tingkat pendapatan perkapita USD 30 ribu, jauh lebih maju dari perekonomian Korea Utara, justru posisi sebagai minoritas dalam berbagai aspek yang melekat pada muslim Korea Selatan sebagai pemantiknya.
Terbersit rasa bangga karena Islam yang biasanya dengan begitu mudahnya disebut di tempat asalnya, Saudi Arabia dan kawasan-kawasan di sekitarnya, kemudian merambah dan menjadi fenomena sebagai agama mayoritas di Indonesia, lalu belakangan berkembang lumayan dinamis di kawasan Eropa, dan sekarang aku menjumpai komunitas muslim di Seoul, Korea Selatan.
Sebutlah Korea Selatan! Maka yang terlintas dengan mudahnya alih-alih komunitas muslim, tetapi yang akan disebut sejak di urutan pertama adalah Samsung, KIA, Hyundai, dan belakangan budaya pop yang mulai merambah dan memengaruhi gaya hidup kaum muda di tanah air. Kawanku di grup Whatsapp yag biasa disapa Dila, berseloroh agar dibawakan Soo Jong ki. Siapakah dia? Aha, rupanya aku telah mengalami “cultural lag” karena aku bahkan tidak tahu, apalagi mengenal, nama artis top dari Korea Selatan dan pasti berwajah rupawan yang disebut Dila itu.
(Baca juga: Nikmatnya Berpuasa Lebih Lama di Negeri Minoritas Muslim dan Di Turki, Shalat Subuh pun Serasa Jumatan)
Lalu apa pula dengan Tony Moly? Andai Mega, gadisku, tidak menyertai gambar ketika mengirim pesan via Whatsapp, mungkin aku mengira nama ini adalah artis top Korea Selatan seangkatan Soo Jong ki. Aha, Tony Moly ternyata nama merk gincu! Kenapa Dila dan Mega, misalnya bilang, tolong Prof, yah, datangi komunitas muslim Korea Selatan? Bisa dimaklumi jika tidak menyebut Islam karena memang bukan fiture penting di Korea Selatan. Beda dengan Indonesia. Begitu nama ini disebut, maka salah satu yang disebut adalah Islam karena merupakan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di Indonesia.
Datang ke suatu negara dengan atribut keislaman yang lumayan kuat, apalagi menjadi anggota, aktivis, dan sekaligus bekerja di salah satu amal usaha Muhammadiyah, wajar jika ingin merasakan juga nuansa keagamaan di dalamnya. Biasanya muncul pertayaan, apakah ada masjid? Bagaimana dengan komunitas dan aktivitasnya? Sekedar mencari informasi via internet tentu kurang begitu memuaskan.
Aku merasakan kebahagiaan begitu memasuki masjid di Seoul itu, meskipun dari sisi ukuran dan arsitekturnya terlihat bersahaja. Tetapi dengan mempertimbangkan karakter Seoul yang diantaranya dari sisi keagamaan kurang menempatkan Islam sebagai fiture penting, maka keberadaan masjid yang dibangung pada 1976 itu, memberikan rasa bangga. Jangan menganggap remeh artefak, lalu terucap itu kan sekedar perwujudan fisik agama.
(Baca juga: Ternyata Isu Terorisme Tak Pengaruhi Laju Populasi Muslim di Barat dan Spiritualisme Yes, Beragama No: Tantangan Baru Kaum Agamawan)
Ditambahkan pula pernyataan begini, yang dipentingkan dalam agama itu kan substansi. Dalam agama ada dimensi pengalaman yang bisa membangkitkan rasa atau emosi. Dimensi ini bisa terwujud kalau kita melibatkan diri dengan cara melakukan aktivitas sakral di dalam artefak itu, misalnya masjid. Apalah artinya haji kalau tidak ada Ka’bah, bukit Shafa dan Marwah, Sumur Zamzam, hamparan Arafah dan seterusnya. Ini semua adalah artefak. Pertama kali melihat Ka’bah, dadaku langsung bergemuruh.
Dadaku memang tidak bergemuruh begitu memasuki masjid di Seoul itu. Kata euraka memang terkatakan. Mengapa eureka? Ya, aku menemukan artefak berupa masjid di sebuah negara di mana Islam merupakan agama minoritas, kecil pula. Umat Islam, sekecil apa pun, sebagaimana komunitas agama lainnya, juga sekecil apapun, pasti menginginkan keberadaan suatu “rumah Tuhan” yang memertautkan komunitas dengan Tuhan di samping dengan komunitasnya sendiri.
Karena itu, jangan pandang remeh salah satu keinginan yang sublim ini. Aku lalu teringat komunitas keagamaan di salah satu kabupaten di Madura. Pernah memiliki rumah ibadah yang menyerupai toko di pinggir jalan protokoler. Tetapi sampai saat ini rumah ibadah itu tidak bisa dibangun lagi setelah menjadi sasaran amuk massa. Pada 2006,aku melakukan penelitian pada komunitas keagamaan minoritas itu. Dalam setiap wawancara yang kulakukan kepada beberapa orang,selalu muncul pernyataan kerinduan terhadap terwujudnya kembali apa yang mereka sebut juga sebagai rumah Tuhan.
(Baca juga: Hanya 4 Takbir di Rakaat Pertama: Keunikan Shalat Id di Santa Barbara dan Tanpa Polemik seperti Indonesia, Negara Barat-Kristen Ini Izinkan Polwan Muslimah Berjilbab)
Hanya sekitar 130.000 pemeluk Islam di Korea Selatan. Sementara penduduk asli yang tertarik kepada Islam sekitar 40.000 orang. Aku belum mengetahui tingkat kelekatan mereka sebagai suatu komunitas dan ketangguhan ekonominya. Aku merasa perlu membicarakan dua aspek ini karena ingin membandingkan dengan organisasi yang mengundangku dan Pak Rektor, yaitu Heavenly Culture, World Peace, Restoration of Light (HWPL) untuk menghadiri “2nd Annual Commemoration of the World Alliance of Religions Peace (WARP) Summit” 18-19 September di Seoul. Organisasi, lebih tepatnya LSM atau NGO berskala internasional yang didirikan oleh Man Hee Lee itu, bukan sekedar mengundang, tetapi juga menyediakan akomodasi dan transportasi selama mengikuti konferensi berskala internasional.
Peserta dari Indonesia yang memeroleh undangan sekitar 30 orang, termasuk Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU dan Prof Syafiq A. Mughni, Ketua PP Muhammadiyah. Di luar Indonesia, masih ada 109 negara lainnya yang diundang dengan jumlah peserta secara keseluruhan sebanyak 800 orang. Seumpama biaya hotel saja untuk para peserta yang berasal dari 110 negara sekitar Rp. 5000.000, maka pihak pengundang harus menyediakan uang sebanyak 4 milyar rupiah.
Biaya ini belum termasuk transportasi, konsumsi, dana mobilisasi massa dan pelibatan grup-grup kesenian yang memeriahkan Festival Perdamaian yang dipusatkan di Seoul Olympic Stadium, stadion terbesar di Seoul yang pernah dipakai untuk olimpiade musim panas pada 1988. Dengan kapasitas stadion yang menampung sebanyak 70.000 orang, sementara pada saat pelaksanaan Festival Perdamaian yang dihelat pada 18 September, mulai jam 14.00-20.00 terlihat tidak satu kursipun yang kosong, maka berarti HWPL mampu menghadirkan peserta sebanyak kapasitas stadion itu. Sungguh luar biasa!
Apa dan bagaimana HWPL itu, akan kuceritakan pada catatan harian berikutnya. Mudah-mudahan suatu saat jika aku datang kembali Seoul, pihak pengundang adalah komunitas muslim di sana. Jika pun tidak, aku ingin mendatangi mereka lagi. Mudah-mudahan ada kemajuan.
*)Catatan ini ditulis oleh Prof Syamsul Arifin, Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Diselesaikan di Bandara Internasional Incheon, Seoul, Korea Selatan, 20 September 2016 (Jelang Boarding ke Hongkong)