
PWMU.CO– Masjid Lumpur Djinguereber Djenne, Timbuktu, Mali, Afrika, menjadi masjid terunik di dunia. Dibangun pada abad 13, dindingnya dilapisi laburan lumpur.
Masjid lumpur yang berlokasi di dataran sungai Niger dan Bani itu sangat luas. Panjang dan lebarnya 91 meter bisa menampung sekitar 2.000 orang. Tinggi mencapai 21 meter. Arsitektur bergaya Afrika dengan struktur bangunan dari plesteran bata dan perancah kayu.
Negara Mali terletak di pedalaman Gurun Sahara. Negara ini di masa lalu menjadi pusat persebaran Islam di pedalaman Afrika. Tiap masjid terdapat madrasah al-Quran dan hadits dengan murid berasal dari pedalaman. Tradisi ini masih terpelihara hingga kini. Djenne adalah kota santri.
Kota Djenne berkembang sejak abad ke-13 sebagai pusat transportasi utama untuk komoditas garam dan emas. Kafilah dagang membawa ulama dan penulis yang mengenalkan Islam ke penduduknya.
Masjid Djenne direnovasi besar-besaran pada tahun 1907 untuk memperbaiki kerusakan yang parah pada abad 19. Masjid ini memiliki tiga menara yang menyatu dengan bangunan. Struktur bangunan ditopang 25 pilar terbuat dari ratusan batang pohon kelapa atau glugu.
Orang Mali menyebutnya toron. Batang-batang glugu ini ada yang ditonjolkan keluar dinding. Berfungsi sebagai hiasan sekaligus tangga bagi pekerja sewaktu ada renovasi.
Dipopulerkan Wartawan Perancis
Awal tahun 1900-an wartawan Perancis Félix Dubois mengunjungi masjid ini. Dalam reportasenya dia menggambarkan arsitektur masjid bagaikan persilangan duri landak dan organ gereja. Dari laporan wartawan ini menjadikan masjid lumpur terkenal di Eropa.
Sirkulasi udara di dalam masjid terasa segar dan sejuk meskipun udara Mali sepanas gurun pasir. Bangunan ini punya ventilasi berupa kisi dari 90 kolom kayu menopang atap dan dinding yang mengisolasi panas matahari.

Atapnya memiliki beberapa bukaan yang memungkinkan aliran udara segar masuk saat musim kemarau dan dapat ditutup dengan penutup terakota selama musim hujan.
Dinding masjid diplester dengan lumpur. Acara pelaburan lumpur dikerjakan bulan April setiap tahun. Menjadi tradisi festival yang meriah karena melibatkan warga sekota.
Perbaikan plester lumpur sebenarnya juga dilakukan untuk rumah-rumah tradisional penduduk yang juga terbuat dari batang glugu dan lumpur. Tiap tahun harus diperbaiki karena sudah retak-retak.
Dilakukan bulan April untuk kewaspadaan datangnya musim hujan yang singkat pada Juli dan Agustus. Musim hujan pendek tapi sangat deras.
Malam hari sebelum acara pelaburan dinding masjid, warga kota begadang semalaman.
Jalan-jalan di kota Djenne diterangi cahaya bulan. Suasana dimeriahkan nyanyian dan ketukan drum.
Acara berakhir ketika peluit ditiup sekitar pukul 04.00 menjelang Subuh. Semua warga berkumpul di masjid untuk shalat berjamaah.
Dikerjakan Usai Subuh
Usai shalat pekerjaan memplester dimulai. Mereka dibagi per kelompok menurut dusun. Mengerjakan bagian dinding yang sudah ditentukan.
Mereka berlomba melaburkan lumpur paling halus dan indah. Karena itu memplester dikerjakan dengan hati-hati dan teliti meskipun digarap keroyokan.

Lumpurnya dibuat oleh tetua desa yang ahli. Dibuat dari campuran tanah liat yang diambil dari sungai Bani, dedak, minyak kacang, bubuk baobab, dan air. Adonan lumpur dikumpulkan di halaman masjid selama beberapa hari hingga lumer dan matang.
Kerja bakti ini diawasi 80 tukang batu senior. Warga mengangkuti lumpur dengan keranjang anyaman. Dimulai dari bagian bawah terus menaiki tonjolan toron untuk menggarap dinding atas yang sangat tinggi.
Sementara laki-laki bekerja melaburkan lumpur di dinding, para wanita mengambil air dari sungai dituangkan ke adonan agar lumpur tetap lumer.
Kerja bakti ini biasanya selesai pukul 09.00. Hasil pekerjaan mereka dinilai. Kelompok pemenang menerima hadiah uang 50 ribu franc CFA, sekitar Rp 1,1 juta. Hadiah ini cukup besar. Sebab penghasilan warga kota sekitar Rp 17.500 sehari.
Wali kota Djenne Balassin Yaro kepada BBC mengatakan, Masjid Djenne adalah simbol kohesi sosial setiap tahun. Partisipasi komunal dalam pekerjaan pemeliharaan menunjukkan rasa kebersamaan dan ekspresi bagaimana cara hidup bersama. (*)
Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post