PWMU.CO– Kenapa semua penyakit dicovidkan? Pertanyaan itu sering dilontarkan masyarakat ketika menjumpai saudara, tetangga, atau teman yang masuk rumah sakit dengan gejala bukan covid-19 akhirnya menjadi covid.
Akibatnya ada orang sekarang ini enggan ke rumah sakit untuk memeriksakan gejala yang dirasakan atau membatalkan kontrol kesehatan rutinnya karena takut bakal dicovidkan.
Menjawab keresahan warga ini, Ketua Divisi Litbang Majelis Pembina Kesehatan Umum Dokter Tjatur Prijambodo menjelaskan, sampai saat ini keilmuan manusia belum sepenuhnya mengetahui pola penyakit covid-19. Mulai cara penularan, onset, gejala, termasuk vaksin dann terapi obatnya.
”Kenapa? Karena Allah menciptakan virus ini dengan kecerdasan yang luar biasa. Kehebatan daya adaptasi, kemampuan bermutasi, berubah bentuk, kekuatan menyerang atau virulensi yang terus meningkat. Maka, banyak hal baru yang terjadi di pasien covid-19, sehingga penyakit ini dijuluki penyakit dengan seribu wajah,” kata dokter Tjatur yang juga Direktur RS Aisyiyah Siti Fatimah Tulangan Sidoarjo, saat dihubungi Ahad (30/8/2020).
Dikatakan, adalah hal yang wajar kalau ada penilaian di masyarakat mengatakan, penyakit apa pun sekarang dicovidkan. ”Karena kenyataan yang terjadi misalnya, pasien datang dengan kencing manis, ketika dirawat, ternyata hasil foto thoraxnya menunjukkan pneumonia bilateral. Ini khas covid. Hasil laborat darah lengkapnya NLR-nya > 3,1. Ini juga khas covid. Maka diagnosanya berubah menjadi gejala covid,” tuturnya.
Untuk memastikan, sambung dia, lantas pasien dites swab. Hasilnya positif maka masuk penyakit covid-19. Begitu juga dengan pasien-pasien lain yang datang ke rumah sakit dengan gejala awal demam berdarah, tipus, diare tapi saat pemeriksaan lanjutan ditemukan tanda-tanda covid-19 maka harus diperlakukan sebagai pasien covid untuk pengobatannya.
Perubahan Diagnosa Biasa Terjadi
Dijelaskan, sebenarnya kondisi pasien-pasien yang berubah diagnosanya hal yang sering terjadi untuk kasus penyakit lain. Misalnya, awalnya diduga batuk biasa, ternyata kena TBC. Diduga nyeri dada biasa, ternyata serangan jantung. Gejala cuma gringgingen, ternyata stroke. Diduga maag, ternyata usus buntu. ”Perubahan diagnosa ini sering terjadi di rumah sakit,” tandasnya.
Saat ini, kata dia, covid menjadi isu sangat sensitif. Beragam tuduhan muncul misalnya sebagai konspirasi global, program misionaris, curiga rumah sakit cari untung, perdagangan vaksin, ditambahi lagi dengan kondisi ekonomi masyarakat yang memburuk, maka isu covid-19 semakin tajam.
Dokter Tjatur mengatakan, tak perlu mencurigai rumah sakit mencari keuntungan dalam kondisi saat ini. Karena manajemen rumah sakit, dokter, dan paramedis bekerja dengan komitmen sesuai sumpahnya. Tenaga medis sudah banyak berkorban tenaga, biaya, dan nyawa untuk mengatasi wabah ini.
Dia meminta para mubaligh atau profesional lain punya pendapat yang berbeda tapi jangan sampai lalai menjaga kesehatan. Kalau terkena covid-19, baru muncul penyesalan. Karena dampaknya sangat kompleks.
Menurut dia, fatwa Majelis Tarjih tentang beribadah dalam kondisi darurat covid jangan menjadi perdebatan karena dikeluarkan dengan mempertimbangkan segi kesehatan. Dia berharap penjelasan kenapa semua penyakit dicovidkan menjadikan masyarakat paham situasinya sehingga bisa berhati-hati.
”Patuhi protokol kesehatan. Semoga Allah selalu memberi kita kesehatan yang optimal dan dijauhkan dari penyakit apapun, sehingga dakwah kita tetap berjalan dengan baik. Aamiin yaa Robbal aalamiin,” pungkasnya. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto