
Kenangan Jakob Oetama dan Komputer Jangkrik tulisan Tjuk Suwarsono, jurnalis senior di Surabaya.
PWMU.CO-Meninggalnya Jakob Oetama, Rabu (9/9/2020) siang, mengingatkan pertemuan saya dengannya pada awal tahun 1988. Pak Jakob sebagai ketua Dewan Pers bercita-cita mewujudkan koran daerah di luar Jawa yang benar-benar dibangun dari dasar. Kerja wartawannya ditopang teori jurnalistik dan manajemen modern.
Ada dua provinsi yang dijadikan prototipe, yaitu Bengkulu dan Sulawesi Tenggara. Bengkulu terpilih mengawali projek ini. Maka para redaktur pelaksana koran-koran terkemuka di berbagai kota besar ditawari tantangan ini. Siapa yang bersedia ditempatkan tiga bulan di Bengkulu.
Tidak ada yang tertarik. Maklumlah saat itu Bengkulu terpencil di pantai barat Sumatra. Kotanya kecil bekas jajahan Inggris, menjadi terkenal karena Bung Karno pernah dibuang ke sana dan menemukan tambatan hatinya.
Waktu itu saya sebagai Redaktur Pelaksana Harian Sore Surabaya Post juga ditawari. Saya pun menyanggupi. Tiba di Bengkulu, tidak ada koran harian diterbitkan di sini. Hanya ada mingguan lokal yang terbit tak teratur dua pekan sekali.
Tidak ada komputer, kecuali toko elektronik yang menjual layarnya saja. Ada 30-an wartawan pemegang kartu pers di sini. Seluruhnya koresponden. Saya tidak bisa melibatkan mereka, karena masing-masing sudah terikat dengan medianya.
Benar-benar mulai dari nol besar. Bagaimana bisa menerbitkan koran harian yang modern tanpa SDM yang memadai, cukup terdidik, dan terlatih secara profesional.
Pesan Pak Jakob
Pesan Pak Jakob, koran baru ini sebisanya diawaki putra-putri daerah yang memang harus disiapkan matang. ”Percuma saja mendatangkan wartawan dan staf manajemen dari luar daerah. Berarti tidak terjadi proses pemberdayaan putra-putri daerah,” begitu katanya.
Saya buka lamaran. Ada 200 orang pelamar datang. Ternyata tak satupun terpilih. Akhirnya perburuan dilakukan di kampus Universitas Bengkulu.
Di situ ada majalah dinding dan majalah kampus yang dikelola tujuh mahasiswa-mahasiswi militan. Tulisan-tulisannya sering “merepotkan” rektornya.
Tujuh anak muda ini saya tawari. Mereka bersedia. Langkah pertama menjebloskan mereka ke kawah candradimuka jurnalistik. Otaknya mesti dicuci dan dikosongkan dulu lewat pelatihan menulis. Di situ baru diperkenalkan rambu-rambu dan tanggung jawab profesinya. Berpikir dan menulis di majalah kampus jauh beda dengan koran umum yang dibaca kalangan luas.
Kebetulan saat itu jagat penerbitan sedang berubah. Meninggalkan mesin timah curah Linotype yang panas dan kotor, menuju pracetak bersih dengan komputer-komputer Vidikey.
Wartawan berpindah dari mesin ketik biasa menuju tuts komputer. Dan mesin cetak pun beralih dari huruf-huruf timbul (letter press) menuju cetak datar (offset). Kehadiran teknologi baru ini cukup mengguncang.
Komputer Jangkrik
Pak Jakob tak mau ambil risiko. Disiapkanlah seperangkat komputer canggih Apple Macintosh sebagai alat pendukung penerbitan di Bengkulu. Padahal teknologi ini baru saja dipakai penerbit-penerbit besar di Jawa. Tak terbayangkan untuk Bengkulu.
Selain mahal, Apple Macintosh membutuhkan pendamping teknisi ahli untuk mengoperasikannya. Melihat sikon setempat yang belum siap, saya tolak Macintosh. Lebih memilih PC (personal computer) yang murah, sederhana, hasil rakitan toko. Istilahnya komputer jangkrik! Kalau ada gangguan tinggal panggil perakitnya.
Mendengar penolakan ini Pak Jakob menegur. ”Apakah saudara bisa menerbitkan koran ini dengan, apa itu, komputer jangkrik?” sergahnya. Saya jawab mantap, bisa. Di Surabaya itu sudah biasa dilakukan.
Singkat cerita koran milik Pemprov Bengkulu yang dikembangkan Dewan Pers ini berhasil terbit. Mesin cetaknya pinjam PNRI (Percetakan Negara RI) yang mesinnya banyak nganggur. Sebab hanya cetak 15 hari sekali. Kini terima order cetak harian.
Koran itu adalah Semarak Bengkulu. Setelah berhasil terbit rutin lantas diambil alih grup Jawa Pos. Sampai hari ini harian itu, namanya diubah Rakyat Bengkulu. Masih berkibar dan beranak pinak menerbitkan media lainnya yang menguasai kota-kota di Sumatera bagian selatan.
Kehadiran koran ini menjadikan anak-anak kampus dan dosennya yang semula hanya berkutat di majalah dinding dan majalah kampus, kini memimpin penerbitan besar dan stasiun TV lokal. Ratusan anak muda yang terlibat di dalamnya, seluruhnya putra daerah. Di antara mereka kini hijrah ke banyak kota memimpin media massa dan TV.
Inilah jejak Pak Jakob di Bumi Raflesia ini. Kenangan Jakob Oetama dengan jasa komputer jangkrik. Sebuah empowering jurnalisme yang mengubah budaya literasi masyarakat. In memoriam Pak Jakob Oetama. Hormat setingginya untuk beliau. (*)
Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post