Tuan Rumah Olimpiade, Madu di Ujung Hidung, kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, penulis, CEO PS Hizbul Wathan Liga 2 PSSI.
PWMU.CO – Indonesia tuan rumah Olimpiade 2032. Wow! Bukan mimpi di siang bolong. Itu bisa jadi kenyataan.
Di tengah suasana yang sesak seperti sekarang rakyat memang perlu hiburan. Perlu pelipur untuk sekadar melupakan hidup yang sumpek.
Indonesia pun mencalonkan diri untuk menjadi tuan rumah pesta olahraga multiajang terbesar di planet bumi itu.
Kalau Indonesia menang bidding dan ditunjuk menjadi tuan rumah, maka Indonesia akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menjadi tuan rumah Olimpiade. Negara Asia yang pernah jadi tuan rumah adalah Jepang, Korea, dan Cina.
Ini proyek besar yang tidak main-main. Perkara realistis atau tidak. Ada manfaat atau tidak, itu urusan yang bisa diperdebatkan semalam suntuk.
Proyek Mercusuar
Sama dengan proyek pemindahan ibukota yang terlihat “wow” tapi sampai sekarang masih “how”. Bahkan proyek belum jalan pun rakyat sudah lupa.
Biaya boyongan pindah ibukota dari Jakarta ke Kalimantan mencapai Rp 466 triliun. Dari mana dapat duit sejumlah itu, biar Mbak Ani yang berpikir.
Proyek-proyek besar mercusuar adalah proyek politik dengan biaya raksasa. Olimpiade China 2008 menghabiskan anggaran USD 43 miliar. Inggris menghabiskan USD 11 miliar untuk Olimpiade 2012, dan Olimpiade musim dingin di Sochi, Rusia menguntal biaya USD 50 juta dolar.
Memang negara-negara tuan rumah bisa mendapat keuntungan dari kedatangan turis dan sponsorship. Tapi, dalam banyak kasus justru tuan rumah menjadi bangkrut setelah olimpiade.
Olimpiade Athena Yunani 2004 malah membuat negara itu bangkrut setelah merogoh kocek USD 15 miliar. Olimpiade Brazil pada 2016 menghabiskan USD 12 miliar dan ongkos sosial yang jauh lebih mahal akibat penggusuran lahan warga untuk pembangunan venues.
Ribuan massa berdemo menentang Olimpiade Brazil yang dianggap muspro. Dan yang terjadi memang demikian. Gawe Olimpiade usai ekonomi Brazil malah berantakan. Fasilitas olahraga dan stadion yang dibangun dengan biaya jutaan dolar mangkrak jadi kuburan. Stadion Maracana yang legendaris juga jadi rumah hantu.
Itulah kutukan olimpiade, Olympic Curse yang dialami negara-negara dunia ketiga yang memaksakan diri menjadi tuan rumah demi prestise dan gengsi
Sukses Asian Games Bukan Ukuran
Indonesia sukses menjadi tuan rumah Asian Games. Pesta pembukaan dan penutupannya mewah dan meriah, apresiasi dan pujian membanjir. Erick Thohir dan Wisnutama yang jadi panitia ketiban rezeki jadi menteri.
Indonesia masuk empat besar dengan 31 emas. Prestasi itu semu karena sebagian besar berasal dari olahraga yang tidak masuk dalam cabang olahraga Olimpiade seperti silat, karate, atau sepeda gunung.
Di level olimpiade hanya bulutangkis yang punya potensi emas untuk Indonesia. Lainnya nyaris mustahil. Tidak seperti Asian Games atau Sea Games yang boleh dimasuki cabang olahraga titipan, olimpiade hanya memainkan 28 cabang olahraga yang nyaris semuanya mustahil dimenangkan Indonesia seperti aquatik, atletik, berkuda.
Di level Asia Tenggara saja Indonesia sekarang sudah ngos-ngosan untuk bisa juara. Bersaing dengan Thailand, Vietnam, dan Myanmar, Indonesia sudah ketinggalan jauh
Zaman Pak Harto
Di zaman Pak Harto Indonesia tidak terkalahkan di level Asia Tenggara dengan tujuh kali menjadi juara Sea Games. Sekarang untuk masuk empat besar saja setengah mati.
Kebijakan olahraga Pak Harto lebih jelas dan tegas. Semboyan “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” terbukti efektif mendongkrak prestasi olahraga nasional.
Lahirlah pahlawan-pahlawan olahraga level dunia dari Indonesia. Dari bulutangkis muncul Tan Joe Hok, Rudy Hartono, Liem Swie King, Icuk Sugiarto, Susi Susanti, Taufik Hidayat. Dari panahan muncul tiga Srikandi, Lilis Handayani-Nurfitriyani-Kusuma Wardhani. Dari sepakbola ada Ramang, Sutjipto Suntoro, Iswadi Idris.
Sekarang, untuk minta izin kompetisi sepakbola saja susahnya minta ampun. Untuk mendapatkan pemain sepakbola kita lebih suka ambil jalan pintas menaturalisasi pemain asing daripada membina pemain sejak usia dini.
Olimpiade memang menghibur dan melenakan. Sejak olimpiade pertama di Athena 1896 sampai era modern sekarang olimpiade melahirkan pahlawan-pahlawan dengan kualitas setengah dewa.
Naluri perang dan kekerasan manusia masa lampau disalurkan menjadi persaingan olahraga yang glamor dan menghasilkan uang dan kemasyhuran.
Di masa lalu para gladiator bertarung di kolaseum melawan sesama galdiator atau melawan singa yang buas. Sekarang para gladiator modern bertarung di stadion-stadion besar di Santiago Bernabeu, Camp Nou, Old Trafford, Anfield, San Siro, dan Allianz Arena. Para pahlawan gladiator modern zaman now adalah Leo Messi, Ronaldo, David Beckham, Zlatan Ibrahimovich, Mohamad Salah, Kylian Mbappe.
Zaman dulu para petarung memakai kereta kuda mengadu cepat di kolaseum. Sekarang para pebalap beradu cepat di lintasan Moto GP dan F1 di berbagai penjuru dunia.
Kemasyhuran, kejayaan, dan kekayaan menjadi bagian tak terpisahkan dalam industri olahraga modern. Bagi sebuah bangsa modern kekuatannya akan diukur dari kemampuan ekonomi, kemampuan militer, dan prestasi olahraga.
Tanpa prestasi olahraga sebuah negara tidak akan lengkap statusnya sebagai adidaya dan adikuasa. Karena itu Amerika Serikat yang kapitalis bersaing keras dengan Uni Soviet yang komunis dari satu olimpiade ke olimpiade lainnya.
Persaingan olahraga dan perebutan hegemoni politik saling silang sengkarut. Amerika memboikot Olimpiade Moskow 1980 karena Soviet menginvasi Afganistan. Empat tahun berikutnya ganti Uni Soviet memboikot Olimpiade Los Angeles 1984.
Ajang Ganefo di Jakarta 1963 adalah ajang olahraga dan politik. Indonesia ingin menunjukkan kepemimpinannya di antara negara-negara kekuatan baru yang tidak berpihak ke Soviet maupun Amerika.
Di tengah kondisi ekonomi yang susah Indonesia pamer kekuatan kepada dunia.
Projek Olimpiade 2032 ini pun seperti deja vu yang terulang lagi. Sekadar pelipur lara. Rakyat diberi madu di ujung hidung. Tak bakal terjangkau oleh lidah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post