PWMU.CO– Bung Tomo yang terkenal dengan pidato berapi-api waktu perang 10 November 1945 di Surabaya ternyata pernah dilarang berpidato saat menjadi pejabat. Larangan resmi dari Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin. Tidak dijelaskan alasannya.
Hal itu diceritakan Sulistina, istrinya, dalam buku Bung Tomo Suamiku (2008). Kejadiannya di tahun 1947. Saat itu suaminya menyandang pangkat mayor jenderal. Jabatannya kepala Combined Staff Tentara Nasional Indonesia (TNI). Juga baru menjadi pengantin yang berlangsung 19 Juni lalu.
Situasi negara di masa Agresi Militer Belanda. Menjalankan tugasnya, suaminya sering pergi ke pelosok daerah memeriksa pertahanan sekaligus memberi semangat pasukan dengan pidatonya. Bung Tomo ditemani Laksamana Muda M. Nasir berkeliling dari Blitar, Ponorogo, hingga Gunung Lawu Magetan.
Lalu perjalanan diteruskan ke Tawangmangu meninjau pemancar RRI. ”Ketika tiba di Tawangmangu terjadi peristiwa yang tidak akan kulupakan seumur hidup. Mas Tom mendapat telegram dari Menteri Amir Syarifuddin. Isinya pedes sekali. Mas Tomo harus memilih. Tetap menjadi jenderal namun tidak boleh berpidato. Atau pilih berpidato tapi berhenti jadi jenderal,” tutur Sulistina dalam bukunya.
Dia melihat suaminya merenung melihat ke luar jendela, melihat pemandangan yang hijau, sungai mengalir dengan tenang. Tak jauh dari situ tampak air tejun Gerojokan Sewu.
Suaminya membalikkan badan. Mukanya merah padam. Dia amat tersinggung. Dia memaki-maki. ”Persetan. Ora dadi jenderal ya ora patheken.” Artinya, persetan, tak jadi jenderal ya tak kena patek. Patek itu penyakit infeksi kulit frambusia.
”Siapa nanti yang memberi semangat, siapa nanti yang memberi penerangan kepada rakyat,” kata suaminya yang bernama asli Sutomo itu. Sulistina pun memanggilnya Mas Tom.
Suaminya berpikir ini taktik PKI, partainya Amir Syarifuddin. Lalu Mas Tom memilih jadi rakyat jelata agar tetap bisa berpidato daripada jadi jenderal tapi mulutnya dibungkam. Keputusan itu didukung oleh kawan-kawan seperjuangan dalam laskar BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia).
Saingan Pidato
Usai perang kemerdekaan, Bung Tomo mendirikan Partai Rakyat Indonesia. Pengurus dan anggotanya bekas organisasi BPRI yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Sebagai pimpinan politik dia juga dekat dengan Bung Karno. Kantor partai berada di Gondangdia Lama 18 Jakarta.
Suatu kesempatan Juli 1954, Bung Tomo dan istrinya diajak Presiden Sukarno kunjungan ke NTT, Minahasa, dan Maluku naik kapal perang Bintang Jadayat. Dalam rombongan itu ada Ibu Fatmawati, wartawan BM Diah dan istri, KSAD Mayjen Bambang Sugeng, ulama dan pejabat lainnya.
Di setiap pulau yang disinggahi, Bung Karno berpidato. Setiap selesai pidato Bung Karno memanggil Sutomo ke atas mimbar dan diperkenalkan kepada rakyat setempat kemudian disuruh pidato. Waktu itu rakyat di pelosok luar Jawa belum mengerti bahasa Indonesia sehingga pidato Bung Karno harus diterjemahkan. Tapi mengerti atau tidak, rakyat memberikan tepuk tangan luar biasa karena karisma Bung Karno.
Bung Tomo sebelum diminta pidato lebih dulu meminta warga setempat menerjemahkan beberapa kata atau kalimat sesuai bahasa setempat. Dengan cara itu senanglah rakyat karena paham isi pidatonya.
Ada kalanya Bung Tomo diminta mengulang lagi isi pidato saat mengobarkan perang 10 November. Namun akhirnya pidato-pidato Bung Tomo itu menimbulkan masalah.
Dia diingatkan oleh kawan-kawan seperjalanan agar tidak mengulangi hal yang dapat menyinggung Bung Karno. Apalagi sebagai anggota rombongan jangan sampai berada di atas pidato Bung Karno. Sejak perjalanan itu berakhir Bung Tomo tidak lagi masuk rombongan kepresidenan lagi kalau kunjungan ke daerah.
Dalam karier politiknya Bung Tomo pernah menjabat Menteri Veteran tahun 1955-1956 dalam Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Juga menjadi Menteri Sosial ad interim antara Januari-Maret 1956. Lalu menjadi anggota DPR tahun 1956-1959.
Di zaman Orde Baru mengkritik rezim Soeharto. Akibatnya ditangkap pada 11 April 1978. Ditahan selama setahun. Meninggal dunia 7 Oktober 1981 di Padang Arafah saat wukuf haji. Empat bulan kemudian jenazahnya dipindahkan ke Makam Ngagel Surabaya. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto