Siapa Bilang Jadi Orang Kedua Tidak Enak, kolom ditulis oleh Ichwan Arif guru SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) GKB Gresik.
PWMU.CO – Menjadi orang kedua bukan kendala untuk berkembang. Atau sekadar nebeng nama besar, tenar, dan popularitas orang pertama. Syaratnya dalam diri tersemat jiwa pembelajar.
Orang pertama dan kedua di sini bisa dianologikan dalam jabatan. Direktur dan wakilnya, kepala sekolah dan wakilnya, dan seterusnya.
Jadi orang kedua harus memosisikan diri sebagai pribadi terbuka. Istilahnya, gelasnya harus dikosongkan supaya bisa diisi dengan pengetahuan dan wawasan ‘baru’.
Sedangkan orang pertama harus diposisikan sebagai mentor yang bisa memberikan percikan pengalaman dan pembelajaran karakter kepemimpinan. Yang tidak kalah pentingnya adalah pola pikir, bagaimana mengelola diri dan lingkungan tempat bertugas atau berkarier.
Orang kedua harus mampu menjadikan orang pertama sebagai sarana belajar. Istilahnya, jangan menunggu peluang, tetapi harus menjemputnya. Tidak hanya duduk di balik kursi empuk, tetapi dia harus berperan aktif. Menjadikan setiap moment di kantor, tempat dia bekerja, sebagai media untuk mengasah dan mempertajam kompetensi.
Apa yang sudah dilakukan, diputuskan, dikerjakan, maupun dikelola oleh orang pertama. Itu semua adalah ilmu dan wawasan untuk di ATM (amati, tiru, dan modifikasi) orang kedua. Jadikan dia sebagai kelas untuk belajar.
Setiap alur, detik, menit, jam, maupun hari ada hal baru. Ilmu baru harus ditransfer dalam dimasukan dalam gelas kosong orang kedua. Selanjutnya diolah dan dipraktikkan.
Terapkan Teori Robin
Dalam buku yang berjudul Motivaction, Mimpi atau Mati! Iwel Sastra pernah mengatakan kalau saja Robin tidak ikut Batman ke mana-mana, apakah kita akan kenal Robin? Justru Robin menjadi ikut terkenal karena selalu ikut Batman. Robin sangat pintar memilih teman dalam bergaul, teman yang juga bisa mengangkat eksistensinya.
Ini, katanya, disebut teori Robin. Artinya, kita bisa menjadi Robin, menempel ‘Batman” untuk bisa mengangkat eksistensi, baik dalam pergaulan maupun bisnis. Orang kedua bisa terus menempel ke orang pertama sebagai tempat mentor dalam belajar.
Tapi, harus diingat, menempelnya orang kedua bukanlah sebagai benalu atau follower yang tidak memiliki pendirian. Menjadi follower yang aktif dan positif. Harus memiliki prinsip, eksistensi dirinya meningkat karena gurunya ada di dekatnya.
Mengosongkan Gelas Diri
Ketika kita berada di orang kedua, andai gelas kita sudah penuh, maka yang terjadi adalah air yang dimasukkan akan tumpah. Gelas sudah tidak bisa diisi lagi. Begitu juga jika gelas kita hanya terisi setengah, maka air yang diisi juga tidak maksimal, cuma setengah.
“Eman.” Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana rasa rugi kita ketika menjadikan diri pembelajar.
Memiliki gelas kosong, orang kedua lebih banyak mendengar dibandingkan bicara, serius menyimak apa yang dibicarakan orang pertama daripada menyepelekan, merendahkan diri dalam proses belajar, dan belajar memahami lawan bicara. Gelas orang kedua akan diisi dengan ilmu, nasihat, kebaikan, maupun kebenaran.
Manajemen Diri dan Tidak Apatis
Berada di posisi orang kedua harus bisa menempatkan diri dengan benar. Menjadikan diri tidak merasa bahwa diri paling pintar dan paling tahu. Kalau pikiran ini ada di benak kita, maka yang terjadi adalah sulit untuk menerima masukan. Orang lain dianggap kurang tepat. Harus ada manajemen diri sehingga mental block tersebut menjadi penghambat untuk berkembang.
Selain itu, orang kedua harus menjauhkan diri dari apatis. Menghilangkan karakter cuek atau acuh tak acuh. Pasang antivirus sehingga bisa melindungi diri. Lebih baik, kembangkan karakter kritis dan tidak pesimis. Setelah menerima ilmu baru, segera latih untuk berpikir, menggali makna, dan tarik semua hikmah pembelajaran sebagai nilai positif.
Berada di dekat orang pertama harus diibaratkan tinggal di lingkungan ilmu. Rumah tinggal kita penuh dengan ornament ilmu, dan tempelan kalimat motivasi. Aura positif ini yang bisa mempercepat pertumbuhan diri. Menjadikan diri kita sebagai probadi yang semakin kuat, dewasa, dan matang dalam hal keilmuan.
Kita sebagai orang kedua? Maka, kuatkan niat dan mantapkan jiwa pembelajar kita. Hanya menunggu waktu saja, nanti kita akan menjadi orang pertama. Semoga! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post