Irjen Polisi Gajah Mada, Melempar Simbol, kolom ditulis oleh Ady Amar, pengamat masalah sosial-politik.
PWMU.CO – Muhammad Fadil Imran, namanya. Kapolda Metro Jaya. Berpangkat Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi. Bisa jadi ini bukan pangkat terakhirnya.
Tapi bisa juga itu pangkat terakhirnya. Semua ditentukan sikap dan lakunya. Jika salah melangkah—dan itu menyangkut pengambilan keputusan di atasnya, dan apalagi menyangkut yang di atas atasnya lagi—maka bintang dua sudah cukup baginya.
Sebelumnya, namanya tidak terlalu populer. Mutasi dari Polda Jatim. Hanya enam bulan sebagai Kapolda Jatim, lalu ditarik sebagai Kapolda Metro Jaya. Jabatan yang tentu lebih prestisius.
Biasanya, jika ditarik ke pusat maka tenaganya memang sedang dibutuhkan. Dan tidak dipungkiri, bahwa itu untuk menghadapi Habib Rizieq Shihab (HRS). Karena yang sebelumnya yang digantikannya, Irjen Polisi Nana Sudjana, dianggap tidak tegas menghadapi HRS, sehingga acara pernikahan putri ketiganya dan acara Maulud Nabi Muhammad SAW di Jalan Petamburan III, dihadiri banyak massa di masa pandemi, (14/12.2020).
Pak Fadil sikapnya harus berkebalikan dengan yang sebelumnya, yang dianggap terlalu longgar. Maka, sikapnya tampak keras, tidak sekadar tegas. Tentu ini bagian menampakkan apa yang dikehendaki atasan. Apa yang diperintahkan lalu dikerjakan. Bahkan jika mungkin ia akan beri bonus lebih.
Sikapnya itu untuk sementara dianggap baik, dan disuka atasannya. Bahkan atasan atasannya pun memujinya, bisa jadi, tentu tidak secara terbuka.
Narasi yang dipilih Pak Fadil ini tidak biasa dilakukan yang sebelum-sebelumnya. Narasinya tampak menantang bak jagoan, keras, dan itu pada HRS. Menganggap dialog dengan HRS sudah tidak perlu lagi.
Ada narasi lainnya, yang disampaikan dan penekanannya diulang-ulang. Itu soal kata menangkap. Maksudnya menangkap HRS. Dan tentu dengan mimik yang dipasang serius dengan sorot mata tajam dan wajah geram.
Tampaknya Pak Fadil menikmati perannya itu. Dan pastinya menganggap itu peran terbaik yang dimainkannya. Jika ada pihak di luar sana yang melihatnya berlebihan, itu soal lain. Penilaian boleh-boleh saja. Bahkan banyak yang menilai, itu bagian dari ambisi untuk jadi Trunojoyo-1, itu analisis yang boleh-boleh saja.
Jika analisis internal perebutan posisi jadi Kapolri itu benar adanya, maka itu ditampakkan dengan mereka yang kemungkinan terpilih. Maka yang tampak adalah perang pernyataan antara Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo. Dua kandidat yang punya kans untuk jabatan Kapolri.
Keduanya tampak berlomba dalam menangani HRS. Dan itu dengan sikap tidak cuma tegas, tapi juga keras. Dan tampaknya itu jadi model yang disuka oleh atasannya dalam menangani HRS.
Maka HRS dan FPI sebenarnya bisa disebut batu loncatan untuk jabatan Kapolri bagi keduanya. Dan boleh juga lalu disebut, bahwa HRS utamanya dan FPI itu sebenarnya pihak yang dikorbankan.
Semua analis melihat, bahwa masalah hukum yang dikenakan pada HRS menyangkut protokol kesehatan, itu tidak layak dipidanakan, juga pengikutnya lima orang yang statusnya lalu jadi tersangka. Seperti kesalahan yang dicari-cari.
Fadil dan Permainan Simbol
Pak Fadil Imran memang luar biasa. Ia mencoba memainkan simbol. Dan tidak tanggung-tanggung. Ia memakai nama Patih Gajah Mada, tentu secara tersirat, sebagai representasi dirinya.
Patih Gajah Mada, kisahnya dalam simbol yang dimainkannya itu dibuat tampak sederhana. Pembasmi preman kampung. Tepatnya premanisme di Jakarta.
Begini kisah yang dia sampaikan di Polda Metro Jaya (11/12/2020), “Sosok Gajah Mada, ini dinantikan masyarakat dalam menghentikan aksi preman kampung.”
Preman kampung dalam simbol yang dimainkan dalam versinya itu anak kecil pun akan paham, bahwa itu diasosiasikan dengan HRS, sedang aksi-aksi premanisme itu simbol darinya untuk FPI.
Kisah memang dibuat dan diasosiasikan tidak jauh dari apa yang tengah dihadapi.
“Selama ini preman di Jakarta bertindak seolah tak tersentuh jerat hukum. Sementara masyarakat yang ingin melawan itu takut dianiaya, dikeroyok, atau pun diancam.”
Lanjutnya, “Tiba-tiba ada sosok satu orang namanya Gajah Mada datang, kemudian berantem sama ini preman. Preman ini terbunuh, kira-kira masyarakat ini senang enggak?”
Lalu dijawabnya sendiri, “Pasti senang, terbebas dari narkoba, terbebas dari premanisme, terbebas dari caci maki yang dilakukan preman kampung ini,” jelasnya.
Tentu apa yang disimbolkan Pak Fadil itu pastilah tidak tepat. Tidak saja mengaburkan sejarah Mahapatih Gajah Mada yang kisahnya mengagumkan, lalu coba disederhanakan kisahnya sebagai pembasmi preman kampung.
Juga HRS, meski itu tersirat, yang diasosiasikan sebagai preman kampung, itu tentu mengecilkan persoalan. Mengecilkan “lawan” itu sikap lengah, bukan sikap yang tepat. HRS itu tidak sekadar milik FPI, tapi sudah jadi milik mayoritas umat Islam Indonesia. Itu bisa dilihat dari aksi-aksi berjilid-jilid yang digerakkannya. Real HRS itu, diakui atau tidak, mampu menggerakan massa.
Tapi tentu tidaklah masalah jika Pak Fadil mengasosiasikan diri menjadi figur besar yang pernah ada dalam sejarah, itu sah-sah saja. Dan apa yang dikisahkan Pak Fadil, itu tanpa disadarinya, atau justru disadarinya, bagian dari ia tengah mengirim simbol bahwa ia layak berada di posisi lebih tinggi, seperti idolanya Mahapatih Gajah Mada.
Maka, ia memposisikan diri layak menjadi Kapolri. Ambisi dan cita-cita menjadi Kapolri, tentu mesti juga terukur. Jika menangani HRS dan FPI tidak tepat, maka tidak mustahil ia akan tersingkir dan sama sekali tidak diperhitungkan sebagai kandidat Kapolri.
Pertarungan di internal Kepolisian dalam perebutan jabatan Kapolri, jika itu ada sebagaimana analisa yang muncul, tentu menguntungkan presiden memilih beberapa kandidat yang masing-masing tengah bersolek dengan style masing-masing, tinggal mana yang dibutuhkan.
Boleh saja Pak Fadil Imran menjuluki diri—sekali lagi—secara tersirat, sebagai Gajah Mada, tapi waktu yang bersamaan akan menentukan nasibnya. Benar-benar menjadi Jenderal Polisi Gajah Mada atau tetap sebagai Irjen Polisi Gajah Mada. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post