
PWMU.CO – ‘Family Man’ Marlim THS, Ketua Pertama Majelis Kebudayaan PDM Lamongan, ditulis oleh Fathurrahim Syuhadi, Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan.
Berbagai profesi dapat melakukan dakwah. Medianya pun sangat bervariasi. Salah satunya berdakwah di bidang seni budaya. Dakwah di bidang sangatlah efektif untuk memperkenalkan Muhammadiyah di masyarakat
Namun berdakwah dengan seni budaya sangat sedikit dilakukan oleh para mubaligh persyarikatan. Hal ini karena mereka merasa kesulitan memanfaatkan media ini.
Marlim THS—nama lengkap H. Marlim Tjipto Hadi Sujoso—adalah sedikit yang mau menggeluti bidang ini. Ia menggerakkan Majelis Kebudayaan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan periode 1990-1995 dan 1995-2000 sebagai lahan berdakwah ke tingkat cabang dan ranting.
Pada saat menjadi khatib, Marlim selalu menyisipkan pesan moral kepada para jamaah terkait dengan menjaga budaya yang Islami. Dia menjelaskan tentang pentingnya harmoni kehidupan dengan seni yang Islami
Sejarah Singkat Majelis Kebudayaan Lamongan
Majelis Kebudayaan PDM Lamongan kali pertama dibentuk oleh pada periode 1990-1995. Pada periode sebelumnya majelis ini menyatu pada Majelis Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K). Perubahan ini saat kepemimpinan KH Abdul Fatah di periode pertama.
Marlim THS adalah Ketua Majelis Kebudayaan yang pertama. Dia dibantu Wakil Ketua M Cholif Ridlwan, Sekretaris Ady Sucipto Djais dan Anggota Hasan BS.
Pada kurun 1995-2000—kepemimpinan KH Abdul Fatah periode kedua—Majelis Kebudayaan berubah menjadi Majelis Seni dan Budaya. Marlim THS ditunjuk sebagai ketua majelis ini. Adapun susunan kepengurusannya adalah Ketua Marlim THS, Wakil Ketua Zawawi Hasyim, Sekretaris Ady Sucipto Djais, serta Anggota Abdul Wachid Syahid dan Supriyadi.
Majelis Seni dan Budaya berubah lagi menjadi Lembaga Seni dan Budaya di era kepemimpinan KH Afnan Anshori pada periode 2000 -2005. Ketuanya Ady Sucipto Djais. Dia dibantu Wakil Ketua Abdul Wachid Syahid, Sekretaris Hadi Sucipto serta anggota anggota M. Helman Syueb, Nur Shodiq, dan Nurul Huda.
Sejak 2000 sampai saat ini nama Lembaga Seni Budaya tidak mengalami perubahan. Struktur organisasinya mulai dari pusat sampai di tingkat daerah semakin kokoh.
Terserang Wabah Muntaber
Marlim THS lahir di Desa Ngunut, Kecamatan Kacangan, Kabupaten Tulungagung, 4 November 1936 dari pasangan Moeslan dan Marikem. Ia anak pertama dari tujuh bersaudara: Marsini, Ngatmini, Sujinah, Samiyem, Jamal, dan Sudar.
Soal orangtua dan adik-adiknya ada cerita yang memilukan. Saat itu Marlim THS berusia enam tahun. Secara berturut-turut selama empat hari ia kehilangan kedua orangtuanya dan dua saudaranya karena wabah muntaber.
Saat itu tidak ada toko yang menjual obat. Tidak ada petugas kesehatan yang ada di desa Kacangan dan sekitarnya. Akhirnya dengan takdir Allah duka beruntun itu terjadi. Senin ibunya wafat. Selasa adiknya: Sujinah, menyusul ibunya. Rabu Sudar wafat juga. Kamis, bapaknya menyusul wafat.

Pendidikan dan Karier Marlim THS
Pendidikannya ditempuh di Sekolah Rakyat (SR) Klandasan, Balikpapan, Kalimantan Timur, tahun lulus 1942. SR Kacangan lulus tahun 1948. SGB (Sekolah Guru B) Tulungagung lulus tahun 1957 dan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Tuban lulus tahun 1968.
Setelah lulus dari SGB ia ditugaskan menjadi Guru SDN Gembong, Babat, Lamongan sejak 1 Agustus 1957. Pada tahun 1966 dia menjadi Kepala Sekolah SDN Babat II. Selanjutnya menjadi Kepala Sekolah SDN Babat 1 pada tahun 1975.
Kariernya Marlim semakin moncer. Pada tahun 1980 ia diangkat menjadi Penilik Kebudayaan Dinas Pendidikan & Kebudayaan (Dinas P dan K) Kecamatan Babat. Tahun 1986 diangkat menjadi Kepala Dinas P dan K Kecamatan Brondong. sekaligus sebagai Pembantu Cabang Dinas P dan K Kabupaten Lamongan. Pada tahun 1987 ia menjadi Kepala Dinas P dan K Kecamatan Kedungpring dan tahun 1992 pensiun dari kedinasan.
Setelah dua tahun menjadi guru, Marlim mempersunting Shofiyah gadis dari Bedahan, Babat—Putri seorang aktivis Masyumi Syaechan dan Khasanah. Pernikahan terjadi pada tanggal 3 April 1959. Dari pernikahan itu ia dikaruniai tujuh anak.
Anak pertama adalah Prof Chusnul Mar’iyah PhD—tokoh yang tersohor itu. Dia dosen senior di Departemen Sosial Politik Universitas Indonesia. Chusnul termasuk anggota pendiri dan menjabat sebagai Presiden Direktur Pusat Studi Pemilu dan Partai Politik Fakultas Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum Indonesia tahun 2001- 2007 itu menyelesaikan pendidikan doktor (PhD)-nya di Universitas Sydney Australia pada tahun 1998 dengan disertasi Konflik Politik Perkotaan: Pembangunan Kembali dari Dalam Kota Sydney.
Perempuan yang menjadi Wakil Ketua Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhamamdiyah ini aktif terlibat dalam demokratisasi. Dia juga aktivis perempuan. Tercata sebagai anggota pendiri Koalisi Wanita Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi tahun 1998; Perempuan PeKa (Perdamaian dan Keadilan), 1999; dan The Transparency International Indonesian Chapter, 2001.
Adapun adik-adik Chusnul adalah: Luthfinayati MPd (pensiunan guru SMA); Farid Widigdo SPd (Guru SMA di Pamekasan, Madura); Nanik Nasyi’atin ST (ibu tumah tangga); Imron Bintoro ST (karyawan di perusahaan swasta); Zamroni ST (wirausahawan di Bandung, dan Nur Lina Sari MSc (ustadzah).

Hidup Mulai Nol
Shofiyah adalah aktivis Aisyiyah Babat sejak masa mudanya. Sampai saat ini pun ia masih aktif ikut pengajian Aisyiyah di usianya yang ke-76 tahun. Saking cintanya pada persyarikatan putri keempatnya diberi nama Nanik Nasyi’atin.
Istrinya itu sangat terkesan dengan perjuangan hidupnya bersama Marlim THS—terutama saat awal berumah tangga. Kehidupan yang penuh lika-liku karena kesulitan umemenuhi kebutuhan hidup. Gaji suaminya sebagai guru saat itu hanya cukup untuk kebutuhan hidup selama 10 hari.
“Untuk menopang ekonomi rumah tangga, saya membantu dengan berjualan bahan makanan yang dibeli dari pasar dan dijual di rumah,” jelas wanita yang masih aktif jamaah di Masjid Muhyidin Babat ini. Beruntung suaminya orangnya hemat. Kuat menahan lapar, pantang jajan. Uang lebih baik ditabung untuk biaya sekolah anak-anaknya.
Aktivis Anti-PKI
Saat mudanya, Marlim aktif di Pemuda Muhammadiyah Babat. Pengalaman organisasinya dilalui dari menjadi Sekretaris Pemuda Muhammadiyah se-Karesidenan Bojonegoro. Saat itu, 1960-1968, ketuanya ialah M. Thohir, putra Mohammad Shaleh perintis Muhammadiyah Babat.
Pada saat meletus G30S/PKI, Marlim THS juga menjadi aktivis anti-PKI. Oleh karena itu ia juga menjadi target pembunuhan PKI di Babat. Sehingga ia dan beberapa aktivis Muhammadiyah harus keluar rumah kalau malam hari. Sementara istrinya yang berada di rumah juga sering diteror oleh tetangganya yang berhaluan PKI.
Jabatan Marlim THS di Muhammadiyah sebagai Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Babat periode 1965-1970. Pada saat itu ketuanya Adnan Nur Shodiq. Sejak tahun 1970 secara struktural namanya tidak tercantum di struktur karena Orde Baru menerapkan monoloyalitas PNS. Walaupun begitu ia tetap aktif pengajian dan berkegiatan di Muhammadiyah.
Pemilik nomor baku Muhammadiyah (NBM) 172.004 yang tercatat di PP Muhammadiyah pada tanggal 26 April 1963. ini aktif di PCM Babat Lamongan. Dia ikut membidani pendirian sekolah Muhammadiyah dan Balai Pengobatan Muhammadiyah di Babat. Juga Balai Pengobatan Muhammadiyah di Sugio dan di Kedungpring.
H. Marlim Tjipto Hadi Sujoso yang telah melaksanakan ibadah haji pada tahun 1995 itu orangnya sangat energik. Badannya selalu digerakkan dengan jalan jalan pagi setelah shalat Subuh berjamaah di Masjid Muhyidin. Pikirannya selalu diasah dengan banyak membaca dan berdiskusi. Gemar melakukan silaturahmi.

Family Man
Marlim itu dikenal sebagai orang yang penuh semangat, optmistik, kreatif, dan pekerja keras. “Dedikasinya terlihat saat melaksanaka program majelis. Beliau pekerja keras dan selalu optimis dalam mengemban dakwah lewat kebudayaan,” ungkap Sucipto Jais, Sekretaris Majelis Kebudayaan PDM Lamongan periode 1990-1995 dan 1995-2000.
Dia menceritakan, pada saat turba ke cabang se-Lamongan. Marlin THS sangat disiplin dan tepat waktu. Seringkali harus menunggu cabang lain yang belum hadir di mushala. “Pak Marlim yang sudah udzur selalu sabar menunggu. Itupun kadang cabang yang hadir cuma beberapa. Maklum, Majelis Kebudayaan adalah majelis baru saat itu,” terang dia.
“Tidak jarang Pak Marlim harus pulang telat. Karena menunggu kendaraan umum atau mencari ojekan. Beliau dengan ikhlas merogoh uang sendiri untuk turba,” jelas Ady Sucipto yang saat ini menjabat sebagai Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Lamongan.
Menurut Zamroni, putra keenamnya, Marlin THS sangat tegas dan keras dalam mendidik. “Mungkin karakter beliau mewakili perjalanan hidupnya yang penuh dengan perjuangan yang keras dan penuh kesulitan. Tapi kasih sayang beliau di balik itu jauh lebih besar pada kami. Perhatiannya pada pendidikan agama, budi pekerti, dan akhlak terus diwariskan semasa hidupnya,” paparnya
Zamroni menyampaikan, salah satu kebiasaan yang rutin dilakukan ayahnya adalah mengadakan forum di rumah yang dihadiri seluruh anggota keluarga. Di situ Marlim THS selalu berpesan dan berwasiat akan pentingnya menjaga silaturahmi di tengah-tengah keluarga.
“Yang tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati yang lebih tua,” pesan Marlim THS yang masih terngiang-ngiang di benak Zamroni.
Kedahsyatan forum keluarga itu juga diakui Nur Lina Sari, putri ketujuh. “Untuk memotivasi anak-anaknya, family meeting selalu disempatkan. Di mana petuah-petuah kehidupan disampaikan kepada seluruh anggota keluarga,” terang dia.
Di situ, sambungnya, pendidikan dan nilai agama selalu menjadi materi utama dalam petuah Marlnm THS. “Kepada kami beliau selalu mengatakan, ‘Bapak tidak bisa meninggalkan kalian harta benda, yang bisa Bapak tinggalkan hanya pendidikan dan agama.’,” kisahnya.
Menurut Nur Lina Sari, ayahnya itu adalah seorang family man, di mana keluarga selalu jadi prioritasnya. Dia becerita, agar anaknya bisa bersekolah tinggi, ayahnya itu rela berhenti merokok dari dua bungkus sehari menjadi berhenti sama sekali.
“Ketika kakak (Chusnul Mar’iyah) masuk kuliah, demi anaknya yang sekolah, beliau tidak tega untuk jajan. Bahkan sekadar untuk membeli minuman saat beliau harus kontrol bulanan di RSUD Dr Soetomo Surabaya,” ungkapnya.
Marlim THS wafat pada usia 72 tahun setelah menjalani sakit sekitar dua tahun. Ia dimakamkan di Kuburan Islam Desa Karangasem, Babat, Lamongan, pada tanggal 9 Oktober 2008. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post