Khalifah Ali bi Abi Thalib mengatakan, “Aku adalah hamba sahaya bagi orang yang mengajarku walaupun satu huruf saja. Jika ia bermaksud menjualku maka ia bisa menjualku. Jika ia bermaksud memerdekakanku maka ia bisa memerdekakanku. Dan, jika ia bermaksud memperbudakku maka ia bisa memperbudakku.”
Begitu pula Syaikh Imam Sadiduddin Asy-Syairazi yang menyampaikan, “Sesungguhnya orang yang mengajarimu satu huruf yang kamu butuhkan dalam urusan agamamu, maka ia merupakan ayahmu dalam kehidupan agamamu. Guru kami mengatakan: Barang siapa mengharapkan anaknya menjadi orang alim, maka hendaklah ia memelihara, memuliakan, dan memberikan sesuatu kepada para ahli agama yang mengembara. Jika ternyata anaknya tidak menjadi orang alim tentu cucunya yang akan menjadi orang alim.”
(Baca juga: Karyawan AUM yang Tidak Aktif Berkegiatan di Muhammadiyah Akan Ditindak Tegas)
Pola keilmuan ini telah bergeser menjadi pola keartisan. Maksudnya, kalau dulu proses dialektika dan learning community sebagaimana KHA Dahlan, kini yang terjadi adalah proses pengidolaan. Ketika idolanya salah, maka dihujat ramai-ramai dan ditinggalkan begitu saja tidak ada rasa hormat lagi. Beda bagi generasi muda Muhammadiyah yang sudah tercerahkan, pasti hal ini yang dilakukan: tetap menghormati guru untuk menggapai ilmunya.
Ironinya, ketika kondisi bangsa yang carut marut yang membutuhkan sosok panutan, malah harus dihadapkan pada persoalan yang amat sangat pahit. Yaitu “hilangnya” banyak guru di tubuh Muhammadiyah. Betapa rasa kecewa terhadap idola tidak perlu diekspresikan dengan berlebihan atau kebablasan.
Kata dan kalimat adalah lambang dari perasaan individual, maka tidak sepantasnya mengobral kata-kata kotor sebagai ekspresi kekecewaan terhadap seorang tokoh yang seharusnya dijaga sebagai bagian dari adab dan keakhlakan murid dan guru, orang tua dan anak.
(Baca juga: Kata Pemuda Muhammadiyah Jatim tentang Beda Pandangan dengan Buya Syafii Maarif)
Mereka yang telah dikuasai emosi yang luar biasa sehingga nalar berfikirnya sudah tidak berfungsi dengan baik. Masih terbayang, hanya dengan satu kejadian, ternyata telah menghancurkan banyak harapan generasi muda Muhammadiyah. Mereka telah menjadi yatim tanpa kehilangan orang tua dan mereka menjadi hampa tanpa seorang guru.
Biarpun himbauan PP Muhammadiyah telah mengajak untuk tetap menjaga soliditas dan tidak emosional, ternyata seperti tidak ada artinya sama sekali. Sebab, rasionalitas telah beralih ke emosional hanya karena faktor popularitas dan tren sesaat.
Untuk itu, perlunya muhasabah bagi semua kader untuk kembali pada garis organisasi. Wallahu a’lam bissawab.(*)
Kolom Uzlifah, salah satu bagian dari Angkatan Muda Muhammadiyah Kota Malang
Discussion about this post