
PWMU.CO – Sudah Puasa kok Tidak Mampu Menahan Diri? Hal ini dibahas dalam sesi diskusi Sarasehan Kebangsaan bertema Puasa dalam Berbagai Agama, Senin (3/5/21).
Dalam pertemuan virtual itu, hadir enam pemantik sebagai perwakilan masing-masing agama. Hadir pula Ketua Umum Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM) Prof M Din Syamsuddin selaku penyelenggaranya.
Pada sesi tanya jawab, salah satu peserta asal Gorontalo Sukrin Taib menyatakan kegelisahannya. Dia sepakat puasa sebagai upaya mengendalikan diri, memiliki dimensi ketuhanan dan sosial.
Pertanyaannya, puasa—dilakukan sejak dulu hingga sekarang—tidak mampu membentuk nilai toleransi, cenderung formalistik. “Orang yang berpuasa kok tidak mampu menahan diri? Ada apa dengan puasa?” katanya.
Padahal, menurut Sukrin, seharusnya dengan semakin berpuasa, secara pribadi menjadi lebih baik, negara pun juga akan jadi baik.
Down Grade Makna Puasa
Uung Sendana—pemantik yang mewakili agama Konghucu—berpendapat, “Kenapa bisa seperti itu karena kita men- down grade makna puasa.”
Seringkali, lanjutnya, orang hanya memaknai puasa secara fisik, tidak makan dan minum.
Uung lalu menjelaskan dari perspektif agama Konghucu, puasa itu bagaimana menata suasana hati dan perilaku sehingga cahaya kebajikan Tuhan dalam diri akan memancar.
“Memancar artinya justru mewujud di dalam perilaku kita terhadap sesama kita, di samping hubungan kita dengan Tuhan,” katanya.
Dengan memaknai puasa lahir batin seperti itu, menurutnya, kegelisahan Sukrin Taib tadi tidak akan terjadi.
“Saya pikir sebetulnya (puasa dalam) agama-agama lain pun punya makna mirip, bukan cuma menahan lapar dan haus. Sebab, kalau tidak ada makanan pun otomatis mampu mengendalikan diri,” ucap Uung.
Sekaligus, menurut dia hal ini juga menjawab juga pertanyaan lain di kolom komentar, “Bagaimana agar negara tidak koruptif?”
“Kalau kita memaknai puasa dengan makna hakikinya; tindakan koruptif, menyakiti hati orang lain, dan sebagainya tidak akan kita lakukan,” tutur dia.
Wakil agama Budha, Philip K Widjaja, menegaskan, menjalankan puasa tidak sekadar formalitas, seperti, “Saya sudah melakukan puasa, berarti saya sudah melakukan kewajiban sesuai ajaran.”
Pun dari ajaran itu, lanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah apa yang didapat dan terus-menerus berkesinambungan di dalam kehidupan.

Yang Salah Bukan Ibadahnya
Wakil agama Islam, Amirah Nahrawi, meluruskan, “Yang salah bukan pada ibadahnya, tapi manusianya.”
Jadi, lanjutnya, tidak bisa menyalahkan salah satu ajaran atau metode puasanya. Tapi perlu mengevaluasi orang yang menjalankan puasa, “Apakah sudah sungguh-sungguh sesuai tata cara dan aturan atau hanya formalitas?”
Dia menjelaskan, kalau memang hanya formalitas—hanya makan pada Maghrib, sahur sebelum Subuh, bisa ngabuburit—maka hanya begitu saja, tidak ada maknanya. Bahkan bisa menunjukkan perilaku lebih buruk dari biasanya.
“Tapi kalau dilakukan lillahi ta’ala, hanya mengharapkan keridhaan Allah, tidak mengharapkan selain itu, maka pintu hatinya akan terbuka,” ungkap Amirah.
Ketika pintu hatinya terbuka, akan ada petunjuk dari Allah untuk membersihkan diri yang kemudian tampak dari perilakunya. “Manusia sesungguhnya yang memang Tuhan tunjuk untuk diperbaiki dan dibersihkan hatinya, yaitu manusia yang memang melakukan puasa dengan sungguh-sungguh dari A-Z,” terangnya.
Amirah mencontohkan, secara sungguh-sungguh atau hakiki ini seperti, “Aku berserah kepadamu wahai Tuhan untuk membersihkan jiwa ini, untuk menjadikan saya orang yang lebih baik.”
Akhirnya dia optimis menyatakan, “Insyaallah di masa depan dan generasi yang akan datang, bisa menjadikan ibadah puasa sebagai momentum untuk selalu membersihkan diri.” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post