Pengalaman Menegangkan Berkunjung ke Masjid Al-Aqsha

Nisa Rachmah Nur Anganthi dengan latar belakang Kota Yerusaem (Istimewa/PWMU.CO)

Pengalaman menegangkan berkunjung ke Masjid al-Aqsha. Tapi itulah mimpi panjang 2005-2019 yang terwujud: mengunjungi Masjid al-Aqsha. Ada ketegangan, pertanyaan, dan ghirah.

Catata perjalanan oleh Nisa Rachmah Nur Anganthi, anggota Keluarga Alumni Masjid Universitas Airlangga (KA-MUA); dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

PWMU.CO – Setelah belasan tahun berikhtiar dan berdoa, pada 2019 Allah takdirkan aku beserta suami dan tiga anak bisa shalat di Masjid al-Aqsha. Tentu, bahagia. Tapi, ada juga sedih sebab saat hendak masuk ke Masjid al-Aqha harus melewati tentara-tentara Israel. Sebenarnya kami ini siapa dan mau ke mana. Bahkan untuk ke masjid milik kami sendiri sulit luar biasa. Akan beribadah begitu menegangkan.

Beda, antara Masjid al-Haram, Masjid an-Nabawi, dan Masjid al-Aqsha. Di al-Aqsha ada kesederhanaan, kesyahduan, dan kepiluan. Terutama untuk disebut terakhir, mengundang ghirah.

Kabar Baik

Pada tahun 2005, aku berkesempatan melakukan perjalanan umrah sendiri tanpa disertai keluarga. Aku tidak merasa kesepian, karena ada rombongan besar yang bersamaku. Namun, setelah ibadah umrah, kami harus berpisah di tengah jalan karena sebagian jamaah bermaksud melanjutkan perjalanan ke Masjid al-Aqsha. Aku terkejut, ternyata ada agenda lain setelah berumrah.

Perasaanku menjadi tidak nyaman. Aku ingin bersama mereka, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, karena ketidaktahuanku. Sebenarnya aku cemburu melihat kepergian mereka ke tempat yang menjadi “mimpi”-ku selama ini. Tetapi, ya sudahlah. Akhirnya kuhibur sendiri diriku, bahwa insyaallah aku akan menyusul mereka suatu saat nanti. Itulah niat kuatku.

Aku sadar sebagai wanita berkeluarga, istri adalah hak suami. Artinya dalam mengambil keputusan, sudah selayaknya istri melibatkan suami. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari permasalahan di kemudian hari. Ada kalanya istri bermaksud baik. Namun apabila tidak memperoleh izin suami, dipastikan sulit mewujudkannya. Demikian pula kisah impianku pergi ke Masjid al-Aqsha.

Sejak lama aku terinspirasi oleh Hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri yang membawa pesan: “Tidak diperbolehkan bepergian bagi wanita selama dua hari, kecuali bersama suami atau mahramnya; dan tidak diperbolehkan puasa pada dua hari, Idul Fithri dan Idul Adha; dan tidak diperbolehkan shalat setelah dua waktu shalat, setelah subuh hingga matahari terbit dan setelah ashar hingga terbenam (matahari) dan tidaklah (dianjurkan) untuk bepergian kecuali (untuk mengunjungi) tiga masjid: Masjid al-Haram, masjid al-Aqsha, dan masjidku” (Masjid an-Nabawi) (HR Bukhari).

Ada dua pesan mendalam dari hadits di atas. Pertama, persyaratan wanita dalam melakukan perjalanan. Kedua, tujuan melakukan perjalanan. Ada yang menarik dari kedua pesan itu. Bagi wanita yang hendak melakukan perjalanan lebih dari 24 jam diutamakan dapat bersama mahram. Selanjutnya tujuan perjalanan yang sangat dianjurkan adalah bepergian di tiga masjid, yaitu al-Haram, al-Aqsha, dan a-Nabawi.

Berdasarkan tuntunan hadits di atas, perjalanan bagi wanita perlu lebih direncanakan, karena melibatkan orang lain (mahram). Realitanya kondisi ideal bepergian bersama mahram tidak selalu dapat terwujud. Bisa jadi penyebabnya beragam. Di antaranya, seperti yang kualami sendiri, karena sejak kecil terbiasa menjadi traveler tanpa mahram.

Jalan-jalan dan bepergian ke wilayah baru menjadi favoritku. Selama bepergian aku jarang disertai pendamping karena keterbatasan saudara laki-laki dalam keluargaku. Namun hal ini tak menyurutkan langkahku sebagai traveler. Bahkan sampai menjelang berkeluarga kebiasaanku belum berubah.

Setelah menikah, kondisi di atas pernah aku sampaikan pada suamiku. Alhamdulillah, beliau tidak ada berkeberatan sama sekali, asal “syarat dan ketentuan berlaku”.

Suatu saat kuceritakan keinginanku pergi ke al-Aqsha kepada suamiku. Namun responnya sungguh di luar dugaan dan berbeda dengan jawaban yang biasa kuterima. Aku tidak diizinkan pergi, kecuali bersama keluarga. Intinya apabila aku ingin bepergian ke al-Aqsha, harus dengan suami dan anak-anak kami. Sejak saat itulah awal mula aku mengetuk pintu-Nya agar diberi kemudahan ke al-Aqsha bersama keluarga.

Memimpikan Al-Aqsha

Dalam rangka mewujudkan “mimpi”, aku mencari artikel-artikel tentang Masjid al-Aqsha. Semua kubaca dan kucermati, tak ada yang kulewatkan. Termasuk iklan yang menawarkan berumrah, yang di dalamnya ada program ke al-Aqsha.

Ikhtiar yang kulakukan ternyata tidak mudah. Aku selalu teringat pesan sekaligus dari suamiku: tak ada perjalanan ke Aqsha, tanpa keluarga. Maka, terkait ini, sejujurnya saat membaca iklan umrah plus ke al-Aqsha, terasa sulit untuk diwujudkan. Bekal dana perjalanan ke al-Aqsha tidak murah dan sederhana. Kecuali soal dana, ada lagi kesulitan lain. Bahwa, mengelola jadwal kami sekeluarga-berlima-bukanlah perkara mudah.

Sekarang, soal dana. Bagaimanapun juga, biaya umrah (plus ke al-Aqsha) sebesar Rp 40-50 juta per-orang menjadi kendala. Jadi total biaya yang harus kami keluarkan sebesar Rp 200-250 juta. Harga ini senilai sebuah rumah tipe sedang. Apa perlu menjual rumah untuk pergi ke al-Aqsha?

Aku harus tetap berbaik sangka kepada-Nya, sebagaimana yang dituntunkan Rasulullah Muhammad SAW dalam hadits qudsi: Dari Abu Hurairah, Rasulullah menyampaikan bahwa sesungguhnya Allah berkata: ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku dan Aku bersamanya apabila ia memohon pada-Ku.’ (HR Muslim).

Penjelasan Rasulullah SAW itu begitu memotivasiku. Terutama saat aku memiliki harapan yang (sepertinya) sulit untuk diraih. Pengalaman selama ini, aku belum pernah kecewa dengan berharap kepada-Nya. Aku bertekad mengetuk kembali Rahman Rahim-Nya. Keyakinanku, apabila ridha-Nya kuperoleh, tak akan ada kekawatiran apapun. Apalagi hanya masalah biaya. Allah Maha Kaya. Semua kukembalikan kepada-Nya, sebagai pemilik tiga tempat suci. Bukankah kami bermaksud memenuhi panggilan-Nya. Jadi, aku yakin Allah yang akan menjamin dan memampukan kami. Insya-Allah, amin.

Nisa Rachmah Nur Anganthi Bersama keluarga di Dome of Rock Palestina (Istimewa/PWMU.CO)

Pesona Al-Aqsha

Mengapa al-Aqsha begitu memesona? Abdullah bin Umar seorang ahli fikih dan hadits menjelaskan tentang keistimewaan dan keutamaan Baitul Maqdis (kompleks Masjid al-Aqsha), terletak pada pemanfaatannya oleh para nabi dan malaikat untuk beribadah dan berkumpul. Bahkan menurut riwayat, seluruh (setiap) jengkal tanahnya tidak ada yang tidak digunakan untuk sembahyang, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

“Sesunggunya Maimunah pembantu Nabi berkata, ‘Yaa Nabiyallah, berilah kami fatwa tentang Baitul Maqdis’. Maka Rasulullah menjawab, ‘Bumi tempat bertebaran dan tempat berkumpul. Datangilah ia (Masjid al-Aqsha), maka shalatlah di dalamnya karena sesungguhnya shalat di dalamnya seperti seribu kali shalat di tempat lain’.” (HR Ahmad).

Berdasarkan hadits di atas, Masjid al-Aqsha merupakan tempat berkunjung yang dimuliakan. Maka sangat dianjurkan untuk berziarah ke sana, shalat di dalamnya, dan mengetahui secara mendalam tentangnya. Begitu mulianya berziarah ke Masjid al-Aqsha, sehingga menurut riwayat hampir seluruh sahabat utama Rasulullah SAW pernah berkunjung ke sana. Demikian pula dari kalangan ulama tabi’in. Semoga Allah memampukan keluargaku mengikuti jejak-jejak mereka. Insyaallah, amiin.

Masjid al-Aqsha merupakan rangkaian sejarah yang spektakuler. Sebut saja perjalanan Isra Mikraj Rasulullah SAW. Masjid itu, kiblat pertama umat Islam sebelum berpindah ke Masjid al-Haram. Selanjutnya tanah Syam (Palestina) di mana al-Aqhsa berdiri, merupakan tempat keberadaan kekasih-kekasih (yaitu nabi dan rasul) Allah, sehingga disebut sebagai tanah para nabi.

Selain itu, ada sejarah yang paling menyita perhatian. Hal yang dimaksud adalah kisah konflik tiga agama Samawi uaitu Islam, Yahudi, dan Nasrani.

Di antara berbagai kisah yang kubaca, satu hal yang membuat aku takjub dan yakin terhadap kemahabesaran-Nya adalah peristiwa Isra Mikraj. Salah satu penggalan kisah Isra Mikraj yang menarik adalah kisah sebuah batu (sakhra).

Menurut riwayat, batu (sakhra) ini berkeinginan untuk mengikuti Rasulullah SAW bermikraj. Batu sakhra rela menjadi alas pijakan Rasululullah SAW menuju Sidratul Muntaha. Namun Rasulullah SAW melarang untuk mengikutinya, sehingga batu tersebut berhenti di udara dan tetap melayang tanpa penyangga. Ini, kisah yang sangat menggetarkan hati. Memang, secara keseluruhan, peristiwa Isra Mikraj merupakan fenomena luar biasa yang menakjubkan, baik untuk kajian ketauhidan maupun keilmuan.

Mempersiapkan Perjalanan

Berbekal keyakinan dan berbaik sangka kepada-Nya, setiap hari kulihat iklan-iklan di media yang menawarkan perjalanan umrah plus ke al-Aqsha. Entah sudah berapa banyak iklan yang kubuka dan kubaca dalam rangka memantapkan keyakinanku.

Di iklan itu, rata-rata penyelenggara umrah plus ke al-Aqsha umumnya berada di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Hal ini tentu saja menambah pembengkakan biaya perjalanan.

Meskipun dana yang kumiliki masih jauh dari cukup, namun aku tidak khawatir dan risau. Ikhtiar jalan terus, sambil tak lupa memohon kepada-Nya. Sampai suatu hari aku terpaku pada iklan umrah plus al-Aqsha yang harganya lebih hemat dibanding iklan lainnya. Harga yang ditawarkan hanya sekitar Rp 30 juta.

Aku penasaran dan tidak percaya. Jangan-jangan ini penyelenggara umrah abal-abal. Menurut berita di media, agensi umrah yang menawarkan kemudahan fasilitas dan berbiaya murah umumnya terindikasi penipuan. Naudzubillahi min-dzalik.

Singkat cerita, setelah beberapa kali kontak dengan agensi, aku terkaget-kaget karena agensi yang kutelisik ternyata lokasinya tidak jauh dari rumah. Masyaallah! Subhanallah, wal hamdulillah, wa laa ilaaha Illallahu, Allahu-Akbar. Sekian lama kucari agensi umrah di kota-kota besar dan belum ketemu juga. Ternyata Allah menunjukkan jalan kemudahan melalui agensi umrah di Solo yang dekat rumah. Ya Allah, bagaimana mungkin aku tidak bersyukur pada-Mu atas semua nikmat ini.

Akhirnya aku berkunjung ke kantor agensi umrah yang terpilih. Lagi-lagi aku tak mampu berkata-kata. Semua fasilitasnya berstandar bintang lima dengan harga terjangkau. Selain itu ada kemudahan lainnya yang kuterima yaitu tenggat pembayaran.

Alhamdulillah, akhirnya kami berlima berangkat umrah plus ke al-Aqsha pada 12 Oktober 2019, selama dua pekan. Kami berangkat dari Solo-Indonesia bersembilan belas dengan rute Singapura, Arab Saudi, Yordania, Israel, Palestina, Malaysia, dan kembali ke Indonesia. Ikhtiar dan doa yang kulakukan selama 14 tahun akhirnya dikabulkan-Nya.

Sebagai persiapan menuju al-Aqsha, tak lupa aku mencari informasi tentang perjalanan orang-orang yang sudah pernah ke sana. Ternyata kisah mereka cukup mencengangkan dan patut disimak. Ada kisah tentang kegagalan menyeberangi perbatasan Yordania-Israel. Entah karena faktor apa, tak ada alasan yang disampaikan. Semua rombongan ditolak dan gagal masuk ke wilayah Israel.

Ada lagi kisah lainnya dari rekanku yang berangkat bersama rombongan sebanyak 120 jamaah. Ternyata mengalami nasib yang sama. Hanya sebagian kecil (9 orang) yang diperkenankan melewati perbatasan (dari pengakuan temanku, baru bisa lolos setelah dibacakan Al-Fatihah 3 kali).

Konsekuensinya, bisa jadi satu keluarga menjadi terpisah, karena ada yang lolos dan gagal. Rumornya, tentara Israel mudah curiga pada orang-orang yang memiliki penampilan terpelajar atau agamis. Entahlah, tapi cerita tersebut menjadi catatan dan bekal persiapan menuju ke Al-Aqsha.

Kisah sedih tentang kegagalan masuk perbatasan Yordania-Israel menjadi bahan diskusi dalam keluargaku. Aku sempat melontarkan cerita tersebut dan menyampaikan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada kami.

Aku mengusulkan pada suami dan anakku: “Apabila bunda gagal dalam pemeriksaan, mereka kuikhlaskan melanjutkan perjalanan. Namun doa dan titipan bunda harus tetap ditunaikan. Sebaliknya apabila ada salah satu dari anak-anak yang tidak lolos pemeriksaan, Bunda dengan ikhlas akan menemani anak yang tertinggal.”

Suamiku kemudian menyambung, apabila beliau yang tidak lolos pemeriksaan, juga akan mengkihlaskan istri dan anak-anaknya meneruskan perjalanan.

Setelah kesepakatan dan komitmen diperoleh, semua menjadi tenang. Selanjutnya tinggal pasrah dan tawakal kepada-Nya.

Ikhtiar dan Doa

Perjalanan ke al-Aqsha memberikan pengalaman traumatis pada diriku. Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka (injury). Trauma bisa berlaku untuk fisik maupun psikologis yang disebabkan oleh pengalaman emosi yang ekstrem.

Istilah trauma menunjuk adanya pengalaman emosional yang melukai batinku saat meniti perjalanan ke Masjid al-Aqsha. Pengalaman traumatis ini meskipun melukai namun indah untuk dikenang. Sebuah pengalaman spiritual yang mampu memotivasi untuk mengulang kembali apa yang terjadi, karena keunikan dan sifat personalnya.

Perjalanan menuju perbatasan Yordania-Israel mengandung cerita horor tersendiri. Terutama terkait dengan kisah-kisah menyedihkan, seperti kegagalan melewati perbatasan. Selain itu melihat banyaknya tentara Israel yang bersenjata lengkap di sepanjang jalan menuju Palestina, juga membuat detak jantung berdebar lebih keras. Tentu saja hal yang wajar apabila jamaah tertekan, karena sudah banyak biaya yang dikeluarkan. Sedangkan tujuan untuk dapat masuk wilayah Palestina belum bisa dipastikan.

Bahkan ada kisah menarik sebelum kami berangkat ke al-Aqsha. Pemandu kami sekaligus pemilik agensi melakukan survei ke al-Aqsha sebelum mendampingi jamaah. Ternyata beliau juga mengalami nasib yang sama, tertahan selama lima jam di perbatasan. Entah apa penyebabnya, tak ada alasan juga. Baru setelah beliau membacakan wirid-wirid, akhirnya lolos juga melewati perbatasan.

Sedih sekali rasanya mendengar berbagai kisah kegagalan para peziarah yang akan ke al-Aqsha. Namun itulah sebuah konsekuensi saat al-Aqsha berada di bawah kekuasaan penjajah. Meskipun masjid milik kaum Muslimin, namun tak ada kepastian untuk bisa masuk dan shalat di sana. Sungguh aku merindukan kemerdekaan al-Aqsha yang dijanjikan Allah. Namun aku juga menyadari, kemerdekaan tak mudah diraih kecuali dengan darah dan air mata.

Tegang dan “Bersandiwara”

Menunggu giliran pemeriksaan di perbatasan Yordania-Israel adalah saat-saat paling menegangkan dalam hidupku. Semua jamaah di dalam bus diam seribu bahasa, tak ada percakapan yang terlontar untuk sekadar mengurangi ketegangan. Selain itu kami semua juga mengingat pesan dari ketua rombongan. Bahwa apabila diperiksa dan diwawancarai oleh tentara Israel, jangan memperlihatkan kepintaran atau menonjolkan diri.

Sebagai contoh, jangan mengekspresikan keterampilan berbahasa asing, sebab hal itu menunjukkan wawasan dan pengetahuan yang dimiliki. Jangan bersikap sok akrab dengan mereka, sebab itu merupakan perilaku yang membahayakan rombongan.

Pendek kata, lebih baik bersikap “naif dan lugu” untuk bisa lolos dari pemeriksaan. Lebih baik mengatakan “tidak tahu” atau “no…no…no…” dan memberi isyarat gelengan kepala agar pertanyaan segera dialihkan pada ketua rombongan. Ketua rombongan biasanya sudah memiliki trik-trik untuk lolos dari pemeriksaan berdasarkan pengalaman sebelumnya.

Selama menunggu pemeriksaan, aku yakin semua anggota rombongan merapalkan doa dan dzikir sesuai dengan hafalan yang mereka miliki. Hal ini terbukti dari keheningan di dalam bus yang semakin sunyi tak terkira. Semua tegang menunggu giliran pemeriksaan.

Tak lama kemudian salah seorang jamaah perempuan dipanggil untuk diperiksa bersama dengan pemimpin rombongan. Kami di dalam bus semakin berdebar dan cemas karena tidak tahu nasib selanjutnya. Apakah bisa lolos pemeriksaan ataukah tidak. Setelah sekitar satu jam berlalu, muncullah ketua rombongan dan salah satu jamaah kami dengan wajah ceria dan mengacungkan jempolnya saat memasuki bus. Langsung kami semua mengucapkan syukur: Alhamdulillah, Allahu-Akbar. Serentak kami mengekspresikan kalimat thayibbah bersamaan.

Ada celetukan lucu dari ketua rombongan. Beliau menyampaikan bahwa kami lolos pemeriksaan dengan durasi waktu yang teramat singkat, karena rekan kami yang diperiksa mengikuti semua arahan. Termasuk lebih banyak menggunakan bahasa isyarat dan bersikap lugu atau polos daripada bahasa lisan. Kami langsung tertawa bersama dan bersyukur atas kemudahan yang kami peroleh. Selanjutnya, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Palestina.

Di Damascus Gate, bagian kompleks Masjid al-Aqsha (Istimewa/PWMU.CO)

Memasuki Kota Tua

Kami tiba di hotel dekat kompleks Masjid al-Aqsha sore hari. Langsung bersiap-siap menuju masjid untuk menegakkan shalat Maghrib dan Isya’. Ketua rombongan kembali memberi pesan terkait dengan tata tertib dan aturan yang harus dipatuhi jamaah sepanjang menuju masjid. Antara lain tidak boleh terpisah dari rombongan, perempuan harus berjalan di posisi depan atau tengah rombongan. Saat melewati tentara Israel, tidak boleh memandang atau menentang matanya. Kemudian juga dilarang berkomunikasi atau bergurau di depan mereka.

Selanjutnya kita juga diminta mengabaikan keberadaan mereka atau menganggap tidak ada. Artinya jangan sampai terprovokasi dan terganggu dengan keberadaan mereka. Begitu banyak aturan dan larangan saat melewati tentara Israel, menjadi stressor tersendiri sebelum masuk ke Masjid al-Aqsha. Aku sempat berpikir, sebenarnya kami itu siapa dan mau ke mana. Bahkan untuk ke masjid milik sendiri saja sulit luar biasa. Begitu banyak aturan yang harus kami patuhi. Sungguh belum pernah kualami, mau beribadah begitu menegangkan dan mendebarkan.

Kami bersama-sama ke Masjid al-Aqsha di kota tua Palestina dengan melewati lorong-lorong panjang dan gang-gang sempit. Sepanjang jalan kami tidak banyak bercakap-cakap. Hanya desiran lirih lafal shalawat dan dzikir yang kami lantunkan dengan berbisik. Setelah kurang lebih tiga kilometer dari penginapan, kami berpapasan dengan tentara Israel yang bersenjatakan laras panjang lengkap. Namun kami tidak ditanya-tanya. Mereka hanya melihat ke arah kami yang datang berombongan dan membiarkan berlalu.

Akhirnya tibalah kami di Masjid Kubah Batu (Dome of The Rock). Oleh pemandu, kami diminta melanjutkan ke Masjid Kubah Biru (Al-Aqsha Mosque). Rombongan akhirnya berpisah. Jamaah lelaki sendiri dan jamaah perempuan sendiri.

Saat memasuki halaman masjid, tak terasa mataku basah. Ternyata airmataku tumpah, deras sekali. “Subhanallah, aku betul-betul sampai di masjid-Mu, Ya Rabb. Sungguh karunia yang teramat besar. Hamba-Mu yang dhaif ini Engkau mudahkan untuk berkunjung ke salah satu tempat terbaik-Mu, Masjid al-Aqsha. Di tempat ini, hamba terkasih-Mu Muhammad Rasulullah Engkau angkat derajatnya dan perjalankan menuju Sidratul Muntaha.

Sekilas Gambaran

Kompleks Masjid al-Aqsha terdiri atas berbagai situs tua yang menarik dan penuh dengan kisah fenomenal dari hamba-hamba terpilih yang dimuliakan-Nya. Ada situs perjalanan Isra Rasulullah SAW, yaitu tempat Buraq Rasulullah ditambatkan. Kemudian batu pijakan Rasulullah sebelum bermikraj menuju ke Sidratul Muntaha.

Selanjutnya ada perpustakakan masjid. Selain itu di salah satu sudut masjid dimanfaatkan untuk halaqah perempuan yang sedang mengkaji Islam. Ada juga situs tempat peribadatan Siti Maryam.

Selain itu, masih banyak lagi situs-situs lain di luar kompleks Masjid al-Aqsha yang perlu dikunjungi, karena pentingnya dan bersejarahnya peristiwa-peristiwa yang ditinggalkan. Semua menarik dan mengesankan. Subhanallah.

Shalat di Masjid al-Aqsha memberi kesan yang berbeda dibandingkan dengan shalat di Masjid al-Haram maupun masjid an-Nabawi. Ada perbedaan suasana, aroma spiritualitas, dan relasi dengan jamaah yang hadir di dalam masjid.

Masjid al-Haram mengesankan suasana yang akrab, familiar, dan egaliter, memukau tanpa batas. Sedangkan suasana di Masjid an-Nabawi terasa kekhusyukan, kesakralan, dan keheningan batiniah yang sangat personal. Adapun suasana di Masjid al-Aqsha sungguh terasa kesyahduan, kepiluan, dan kesederhanaan yang meremas-remas nurani.

Jumlah jamaah yang hadir di Masjid al-Aqsha juga tidak sebanyak di Masjid an-Nabawi, apalagi di Masjid al-Haram. Sungguh suasana yang berbeda. Kebanyakan jamaah al-Aqsha adalah wanita dan lelaki tua, serta anak-anak.
Meskipun ada juga beberapa anak muda.

Namun dari informasi pemandu, kebanyakan jamaah yang muda bukan berasal dari penduduk Palestina, tetapi peziarah dari negara lain. Pemuda-pemuda Palestina hanya diperkenankan untuk shalat Jumat. Waktu-waktu shalat fardhu dilarang untuk pemuda-pemuda Palestina. Wallahu a’lam.

Di dalam Masjid al-Aqsha (Istimewa/PWMU.CO)

Pamitan yang Syahdu

Malam sebelum kepulangan, jamaah menyempatkan mencari buah tangan khas Palestina. Biasanya saat bepergian jauh, buah tangan yang paling mudah dan menjadi favorit peziarah adalah asesoris yang unik, khas, dan hemat di kantong, serta tidak memberatkan di koper. Misalnya, gantungan kunci, kaos, topi, hiasan dinding, atau perhiasan.

Sepanjang jalan dari hotel ke kompleks Masjid al-Aqsha banyak toko-toko yang kami lewati. Namun belum menemukan satu tokopun yang sesuai dengan harapan. Pernak-pernik khas Palestina atau yang berlogo Masjid al-Aqsha ternyata sulit ditemukan. Meskipun ada asesoris yang sesuai, namun semua berlogo Yerusalem atau Israel. Tentu saja, repot juga kalau barang-barang tersebut dibeli, sama saja dengan mempromosikan negara Zionis.

Kami tidak berputus asa. Ikhtiar terus dilakukan sepanjang perjalanan menuju penginapan. Siapa tahu kami beruntung memperoleh barang-barang idaman. Ternyata betul, ikhtiar kami dijawab-Nya. Kami menemukan satu toko kecil di tepi jalan yang tidak menyolok. Luar biasanya, toko tersebut menawarkan berbagai macam produk kerajinan dan cindera mata berlogo Palestina untuk oleh-oleh peziarah. Alhamdulillah, langsung saja kami borong barangnya. Kami bersyukur karena semua jamaah telah memperoleh cindera mata harapan.

Malam sebelum kepulangan menuju Tanah Air, hujan turun deras sekali. Kepala rombongan sempat mengingatkan tentang sebaiknya jamaah tidak perlu shalat Subuh di masjid saat kepulangan, mengingat waktu yang terbatas. Beliau khawatir waktunya tidak cukup untuk perjalanan pulang-pergi ke masjid. Dikhawatirkan, jamaah membutuhkan waktu lama untuk sampai di hotel dan akhirnya terlambat.

Menurut beliau, bus yang disewa tidak bisa menunggu jamaah. Apabila ada jamaah yang terlambat, pasti akan ditinggal, sebagaimana pengalaman sebelumnya. Hal ini dapat menjadi masalah saat melewati perbatasan.

Atas penjelasan itu, semua jamaah diam tidak merespon. Aku, misalnya, di dalam hati tentu saja menolak. Bagaimana mungkin kami tidak shalat di masjid. Sedangkan tujuan kami ke Palestina hanyalah shalat di Masjid Al-Aqsha. Aku yakin tidak hanya aku yang menolak, tetapi jamaah lainnya juga.

Esok harinya kami wajib berkumpul di lobi hotel pukul 06.30 karena bus yang akan mengantarkan siap pukul 07.00 tepat. Kami sekeluarga pagi-pagi berangkat shalat Subuh ke Masjid Al-Aqsha diiringi hujan rintik-rintik yang sejak semalam belum berhenti.

Kami tidak sempat berlama-lama duduk dan bermunajat di dalam masjid, karena waktu yang terbatas. Akhirnya kami segera keluar dari masjid setelah menyampaikan doa perpisahan sekaligus bertekad untuk kembali dan kembali lagi, karena ikatan spiritual dengan masjid yang kami cintai, al-Aqsha. Insyaallah, amin.

Sesampai di lobbi hotel, kami bertemu dengan banyak jamaah yang juga baru saja tiba dari shalat Subuh di Masjid al-Aqsha. Subhanallah, ternyata semua jamaah melaksanakan shalat Subuh di Masjid al-Aqsha, tanpa kecuali. Jadi, terbukti apa yang kupikirkan kemarin. Tak mungkin ada jamaah yang akan melewatkan kesempatan berharga ini, kecuali sedang sakit atau berhalangan.

Tak ada tempat sujud yang begitu diberkahi di Palestina ini, kecuali Masjid al-Aqsha. Semua jamaah berpikiran dan berkeyakinan sama. Meskipun hujan mengiringi perjalanan Subuh kami, tiada halangan untuk “berpamitan” kepada Masjid al-Aqsha. Hal itu karena ghirah yang menggerakkan dan tauhid yang mendasari.

Aku lambaikan tangan kepada kompleks Masjid al-Aqsha, sebagai tanda perpisahan dan kepulangan. Duhai Masjid al-Aqsha, kami bertekat akan kembali menziarahimu bersama kaum Muslimin lainnya. Bersamaan dengan itu, kami akan terus menyuarakan keberadaanmu, kesakralanmu, dan kesyahduanmu kepada keluarga di rumah. Hal itu, agar mereka berbondong-bondong mengunjungimu untuk memperoleh berkah dan hikmah sebagaimana yang dikabarkan Rasulullah SAW

Dukung dan Kunjungi

Ada hikmah yang kuperoleh atas karunia-Nya memudahkan kami seluruh rombongan menyelesaikan perjalanan ini. Hal yang paling utama adalah keikhlasan kami dan sikap saling menguatkan di antara sesama anggota rombongan dalam semua kesempatan. Kami juga kompak dan padu dalam semua aktivitas, baik saat perjalanan maupun dalam ibadah.

Ini, sebuah perjalanan panjang yang mengesankan. Meskipun banyak peristiwa traumatik. Namun, kami ingin mengulangnya kembali dan kembali.

Kami juga akan menyuarakan kondisi saudara-saudara kami rakyat Palestina melalui berbagai kegiatan yang mendukung, seperti lewat publikasi, kajian ilmiah, festival seni, maupun penggalangan dana. Semoga, semua usaha itu memiliki gaung yang lebih luas dan bermakna sebagai bagian dari ikhtiar menjemput janji Allah untuk membebaskan Masjid al-Aqsha.

Jangan takut untuk berkunjung ke al-Aqsha, karena kedatangan kita akan memperteguh dan memperkuat ikatan silaturahim dan ukhuwah di antara sesama Muslim. Kekuatan silaturahim inilah yang akan berdampak secara psikologis, sosial, ekonomi dan politik bagi rakyat Palestina. Kedatangan berbagai bangsa di tanah Palestina akan menjadi perhatian dunia internasional.

Tanpa kehadiran kaum Muslimin lainnya, rakyat Palestina akan sendirian dalam mengawal Masjid al-Aqsha. Mereka akan terisolasi dan tersisihkan dalam percaturan dunia internasional. Akhirnya tak ada lagi yang tersisa sebagai penjaga kesucian al-Aqsha, masjid ketiga yang dimuliakan umat Islam. Oleh karena itu, saudara-saudaraku, kunjungilah Masjid al-Aqsha di Palestina. (*)

Sukoharjo, Jawa Tengah, 20 Mei 2021

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version