Pengembalian Biaya Haji Bukan Solusi oleh Prima Mari Kristanto, akuntan dan aktivis Muhammadiyah di Lamongan.
PWMU.CO – Jamaah calon haji Indonesia kembali tidak diberangkatkan tahun 2021 ini oleh pemerintah Indonesia dengan pertimbangan keselamatan jamaah di tengah pandemi Covid-19.
Tahun ini merupakan pembatalan kedua setelah pembatalan tahun 2020 pada puncak pandemi Covid-19.
Keputusan pemerintah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, sebagian ada yang maklum, mendukung, tidak sedikit juga yang menyayangkan.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah termasuk yang mendukung langkah pemerintah, tetapi Prof Abdul Mu’ti masih berharap adanya izin dari pemerintah Indonesia untuk haji khusus apabila pemerintah Saudi memberikan kuota untuk Indonesia.
Sebagian jamaah calon haji yang kecewa mempertanyakan simpanan biaya haji mereka bahkan tidak sedikit yang berpikir untuk menarik dananya.
Menghadapi hal ini pemerintah bersama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menjamin dana jamaah yang telah disetorkan aman.
Masyarakat yang bermaksud menarik simpanan biaya hajinya, pemerintah dalam hal ini kementerian agama dan BPKH mempersilakan.
Penarikan Dana
Penarikan biaya haji sebagai luapan emosi sebagian calon jamaah haji yang kecewa. Meskipun pengembalian biaya haji hak calhaj, mestinya pemerintah perlu memberikan edukasi dampaknya. Yaitu daftar tunggu atau antrean bisa berubah lebih lama jika suatu saat mendaftar kembali.
Posisi jamaah demikian lemah karena tidak ada pililhan kemana lagi harus mendaftar haji jika bukan melalui pemerintah dan menitipkan dana hajinya pada BPKH sebagai satu-satunya badan yang sah mengelola keuangan haji.
Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, dana haji didefinisikan dana setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji, dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji, dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam.
Dari UU tersebut kata “dikuasai oleh negara” menunjukkan peran besar bahkan dominan negara dalam tata kelola dana haji.
Pada UU disebutkan bahwa pada komponen dana haji selain setoran atau titipan biaya haji ada juga dana abadi umat (DAU) di mana pengadaan dana ini dilakukan sejak era Menteri Agama dijabat oleh Tarmizi Taher (1993-1998) melalui efisiensi dan penekanan harga tiket penerbangan maskapai nasional Garuda Indonesia.
Atas keberadaan dana ini Presiden Soeharto menerbitkan Keppres No. 35 Tahun 1996 dan 52 Tahun 1996, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, bahwa DAU merupakan hasil efisiensi dana BPIH.
Pengukuhan ini selanjutnya diikuti dengan terbitnya Keppres No, 22 tahun 2001 tentang Badan Pengelola Dana Abadi Umat. Sejak tahun 2018 aset haji termasuk DAU mulai diserahkan pengelolaannya oleh Kementerian Agama kepada BPKH.
Laporan Tak Lengkap
Pada laporan tahunan BPKH 2019 yang telah diaudit mencatat saldo dana penyelenggaraan ibadah haji sebesar Rp 120,75 triliun dan dana abadi umat sebesar Rp 3,57 triliun.
Laporan tahunan 2020 yang belum diaudit saldo dana penyelenggaraan ibadah haji sebesar Rp 135,08 triliun dan dana abadi umat sebesar Rp 3,69 triliun.
Dari ikhtisar laporan keuangan sebelumnya, hasil audit atas laporan keuangan tahun 2020 biasanya akan dipublikasikan bulan Juni 2021.
Dari laporan keuangan tahunan BPKH sejak 2018 belum bisa diperoleh informasi lengkap layaknya entitas publik. Laporan BPKH yang sudah ada sejak tahun 2018 meliputi neraca, operasional, arus kas, perubahan dana dan ikhtisar singkat, sedangkan catatan atas laporan keuangan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan secara keseluruhan belum ditampilkan.
Sebagai entitas pengelola dana publik atau dana umat Islam dalam jumlah besar yang keberadaannya mayoritas di Indonesia selayaknya BPKH menyajikan laporan tahunan sebagaimana perusahaan publik yang tercatat di pasar modal.
Laporan tahunan yang lebih lengkap sebagaimana standar perusahaan publik antara lain menyajikan laporan hasil audit dan laporan keuangan lengkap sampai catatan atas laporan keuangan, opini audit serta kantor akuntan publiknya.
Laporan tahunan juga menyajikan ikhtisar-ikhtisar yang lengkap tentang masa lalu serta rencana masa depan, profil pengelola, pengawas beserta penjelasan lainnya yang uraiannya bisa tersaji lebih kurang dalam 100-an halaman A4 atau F4.
Sewajarnya pada penyetor dana ibadah haji diperlakukan layaknya investor besar yang paling ikhlas dengan diberi hak mengakses keterbukaan informasi tempat mereka menitipkan dana haji.
Harus Terbuka
Semua pihak insyaallah percaya dengan kementerian agama dan BPKH selaku penyelenggara ibadah haji. Bukankah dengan sesama muslim apalagi yang beriman diwajibkan saling berbaik sangka.? Lebih indah lagi kepercayaan yang diberi “bonus” keterbukaan informasi atas pengelolaan dana bersama.
Dengan keterbukaan informasi dalam tata kelola dana haji yang semakin baik dan lengkap diharapkan bisa banyak masukan untuk bagaimana mengoptimalkan pertumbuhan investasi dana haji yang benar-benar bermanfaat bagi kemaslahatan umat calon haji, sudah haji atau kaum dhuafa juga masakin.
Sejauh mana efisiensi dan efektivitas penempatan dana haji pada SBSN (Surat Berharga Syariah Negara)?Berapa persen yang oleh negara dipakai untuk pendanaan infrastruktur atau kegiatan pendanaan lainnya? Infrastruktur apa saja yang didanai dengan SBSN dari dana haji?
Mana di antara pilihan instrumen investasi syariah tersebut yang lebih maslahah, memberi nilai tambah optimal bagi umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan?
Semua pertanyaan hanya bisa terjawab dengan laporan tahunan BPKH yang disajikan lebih komprehensif. Jadi solusi batal haji bukan sekadar pengembalian biaya haji. Wallahu’alam bishawab. (*)
Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post