PWMU.CO – Busyro Muqoddas: Negara Kini Dikuasai Orde Oligarki. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr H M Busyro Muqoddas SH MHum membahasnya secara reflektif pada acara Penguatan Ideologi Muhammadiyah.
Kegiaa bertajuk “Muhammadiyah dan Keadilan Sosial” ini diselengarakan oleh Mugeb Islamic Center (MIC) Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah GKB, Gresik, secara daring, Selasa (6/7/2021).
Di masa kini, dia memberi istilah Orde Oligarki, yaitu sejumlah orang kecil yang menguasai politik, birokrasi, dan bisnis. “Mereka bergandengan tangan erat, berselingkuh politik dengan terbuka. Itulah yang sekarang menguasai negeri ini,” ungkapnya.
Berikut ini berbagai kasus yang Busyro Muqoddas ulas secara reflektif untuk menilik bagaimana gambaran pelanggaran keadilan sosial yang banyak terjadi.
Kasus Menista Pancasila
Jika boleh membandingkan, sambungnya, jumlah perguruan tinggi (PT) Muhammadiyah seluruh Indonesia ada 170, padahal PTN hanya 121. Muhammadiyah membiayainya sendiri, sedangkan PTN dibayari pemerintah.
“Biaya sendiri dari umat. Memang berutang kepada bank, tapi gak ada bank yang menolak karena percaya, Muhammadiyah tidak utang kayak bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI),” terangnya.
Busyro menjelaskan, saat itu KPK mengeluarkan Surat Perintah Pemberhentian Penyelidikan (SP3). Jadi tidak akan diteruskan, padahal itu perampok. BLBI saat presidennya Megawati itu, kasus awalnya dulu mencapai sekitar Rp 617 Triliun pada tahun 2002.
Busyro lantas bertanya retoris, “Itu melanggar keadilan sosial tidak?”
“Tidah hanya melanggar; menabrak, merobek-robek, menginjak, menista Pancasila,” tegas pria yang hampir genap berusia 69 tahun itu.
Dia menekankan kejadian itu menista Pancasila. Semua sila, tidak hanya sila kelima, karena lima sila itu selalu berkaitan. “Dijiwai oleh sila pertama, menjiwai sila kedua sampai dengan sila terakhir,” ungkapnya.
Begitu pula dengan skandal Muhammad Syamsi dari Gerindra. Juga kasus direktur suatu perusahaan yang dia lupa namanya. “Cuma berhenti di situ,” ujarnya.
Kasus Reklamasi
Lalu saat reklamasi pantai kapuk, imbuhnya, waktu itu gubernurnya Ahok, juga mengalami pola penanganan yang sama. “Berhenti di situ aja, tidak sampai terus. Sebab kalau terus, gempa bumi skala 10 Richter,” ulas dia. Gempa bumi yang dia maksud itu adalah gempa bumi politik.
“Apakah itu melanggar keadilan sosial?” tanyanya retoris, lalu menjawab, “Jelas sekali! Korbannya nelayan-nelayan di pantai Jakarta Utara. Tidak hanya nelayan-nelayan, tapi juga lingkungan-lingkungan,” ungkapnya.
Dia pun menambahkan sebuah pertanyaan reflektif karena baginya banyak sekali fenomena yang melanggar keadilan sosial. Terakhir, dia mengulas kasus Meikarta. Yaitu proyek membuat kota baru bernama ‘Meikarta’, di mana melibatkan Walikota Bekasi perempuan yang berujung ditangkap KPK.
“Pemeriksaannya juga berhenti pada orang-orang itu. Tidak sampai pemeriksaan ke tingkat atasannya, seperti Mendagri, Kepala BPN, dan Menteri Perdagangan saat itu,” jelasnya.
Lalu dia melontarkan pertanyaan refleksi, “Apakah kasus Meikarta melanggar keadilan sosial?” Jawaban dia pun sama dengan kasus-kasus sebelumnya.
“Reklamasi itu menimbun laut. Saya tidak tahu di Gresik itu ada reklamasi atau tidak,” ucapnya.
Dia lalu menceritakan hal menarik pada kunjungannya ke Gresik sekitar 4-5 tahun yang lalu. Dia bertanya kepada seseorang yang menjemputnya, “Di Gresik ini ada reklamasi nggak?”
Lalu orang itu menjawab ada. Sekarang nelayan itu pindah profesi. Nelayan yang terdampak negatif itu kini menjadi pegawai buruh pabrik.
Praktik Pancasila sebagai Ideologi Negara
Dari sebagian kecil contoh itu, Busyro ingin menyampaikan, yang bertanggung jawab dalam kasus ini adalah negara, terutama pemerintah. “Karena pemerintah eksekutif, sehari-hari menjalankan pemerintahan dari pusat sampai lurah,” jelasnya.
Nah, apakah ada korupsi secara nasional? Melihat fenomena korupsi ini, dia lantas mempertanyakan bagaimana praktik Pancasila sebagai ideologi negara. “Praktiknya, Pancasila menjadi mainan, alat untuk meremuk, mencari-cari alasan orang lain tanpa masalah kemudian diremuk atau dipecat,” jawabnya.
Dia mencontohkan fenomena yang menimpa 75 pegawai KPK yang terbukti unggul kepancasilaannya dan kebangsaannya. Mereka dites seputar wawasan kebangsaan, di mana ada pertanyaan-pertanyaan tentang ideologi Pancasila.
Kata Busyro, temuan penelitian lantas menunjukkan, ideologi Pancasila itu menjadi alat untuk menggusur orang-orang yang dianggap berbahaya. Berbahayakah? Busyro menegaskan, tidak sama sekali. Dia tahu, sebab sudah selama empat tahun mereka bergaul, taawun.
Pancasila di Orde Baru Disalahgunakan
Kata Busyro, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akhir-akhir ini menyatakan, “Di saat pandemi Covid-19 kita harus waspada karena teroris-teroris itu terus mengembangkan sayapnya lewat dunia maya. Mereka mengumpulkan duit dari dunia maya,” ujarnya.
“Saya sendiri tidak ragu karena di masa Orde Baru dulu kami membongkar permainan intelijen angkatan darat dipimpin Letnan Jenderal Ali Moertopo yang diberi kepercayaan penuh oleh Pak Harto,” ungkapnya.
Dia menceritakan, saat itu umat Islam difitnah dengan politik Komando Jihad yang memakan korban paling banyak dari Jawa Timur. Padahal, Komando Jihad itu rekayasa intelijen TNI AD.
Dari sini, dia menyimpulkan, ideologi Pancasila dulu di era Orde Baru itu disalahgunakan oleh penguasa eksekutif—presiden dan antek-anteknya—untuk membuat hoax politik.
“Sasarannya, mayoritas bahkan semuanya umat Islam. Banyak yang dipenjara, disiksa, dan dihukum mati,” ujarnya.
Lalu dia menyatakan, “Pancasila di era Orde Baru itu apakah berupa keadilan sosial? Omong kosong! Bohong pada rakyat.”
Korupsinya saat itu luar biasa, walau sekarang menurutnya korupsinya lebih ngeri daripada era orde baru. Dia tau persis, karena mengalami masa orde baru.
Ketidakadilan Politik
“Saya sering diperiksa intel-intel yang pemeriksaannya tidak ada dasarnya,” ungkap Busyro.
Busyro menerangkan, dia bersama tim yang lain, termasuk Prof Dr H Adnan Buyung Nasution SH, melakukan pembelaan-pembelaan terhadap korban ketidakadilan politik saat itu.
“Keadilan sosial itu termasuk keadilan politik. Jadi kalau umat Islam difitnah dengan Komando Jihad tadi itu keadilan politik!” tuturnya.
Ada buku yang dia tulis di mana menggambarkan ketidakadilan politik. Dari hasil wawancara yang dia muat, dia sadar, Pancasila sebagai ideologi negara itu lebih banyak digunakan sebagai alat untuk mainan, membohongi, menekan, dan memfitnah. Dia lalu mengingat bagaimana dulu Buya Hamka, Kasman Singodimedjo, dan lainnya ditahan. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni