Relakan yang Syahid, Sembuhkan yang Sakit, Kuatkan yang Sehat, opini oleh Prima Mari Kristanto, Anggota Majelis Pembina Kesehatan Umum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO – Mendung menyelimuti Kabupaten Lamongan, tidak terkecuali bagi keluarga besar Muhammadiyah, setelah berpulangnya sejumlah kader terbaik akibat Covid-19.
Terbaru ustadz muda Irvan Syaifullah, kader persyarikatan yang sangat potensial wafat hari Kamis 15 Juli 2021 setelah sebelumnya ulama panutan KH Afnan Anshori wafat pada hari Rabu 30 Juni 2021.
Muhammad Rofiq SH, H Abdul Rahman, wartawan Komari, Ustadz Hannas dan adiknya dokter Syamsu Dluha adalah nama-nama kader dan tokoh Muhammadiyah Lamongan yang juga wafat akibat Covid-19.
Belum lagi sejumlah tenaga kesehatan dan simpatisan Muhammadiyah yang wafat akibat Covid-19 dan belum tercatat. Kepada mereka yang wafat karena Covid-19 insyallah bergelar syahid. Amal kebajikan mereka selama berkhidmad di persyarikatan Insyaallah bernilai amal jariah.
Kabupaten Lamongan dinyatakan sebagai zona merah akibat kluster hajatan beberapa hari setelah Idul Fitri yang masih berlanjut hingga kini. Atas kondisi tersebut Lamongan mendapat “kehormatan” dikunjungi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 10 Juni 2021 dalam rangka koordinasi penanganan pandemi Covid-19.
Selain jumlah masyarakat yang terinfeksi Covid-19 melonjak tajam, sejumlah tenaga medis di Lamongan juga banyak dinyatakan positif Covid1-9. Tidak sedikit pula yang wafat, tetapi masih lebih banyak yang kembali dinyatakan sembuh.
Kesembuhan masyarakat dan tenaga kesehatan yang berhasil pulih berkat kesungguhan pasien dan tenaga medis yang merawatnya. Pandemi Covid-19 telah menjadi ladang pahala syahid untuk yang wafat dan semoga menjadi ladang jihad dengan gelar mujahid bagi yang sungguh-sungguh menekan penularannya.
Relakan yang Syahid, Kita Butuh yang Sehat
Untuk menjadi bangsa yang sanggup bangkit dari pandemi dan keterpurukan ekonomi selama pandemi dibutuhkan banyak orang yang sehat, bukan yang syahid atau sakit.
Catatan Bank Dunia (World Bank) menempatkan ekonomi Indonesia berada pada jajaran menengah ke bawah. Bagaimana mungkin negara yang berjuluk zamrud khatulistiwa dan gemah ripah loh jinawi menjadi anggota kelompok negara miskin setara negara-negara kecil Timor Leste dan Samoa. Bisa jadi data Bank Dunia salah atau hanya menilai dari indikator pada waktu pandemi ini saja.
Sebuah ironi hari-hari ini, ketika mata dunia tertuju ke bumi pertiwi Indonesia yang mencatat angka positif orang sakit terinfeksi Covid-19 dan jumlah orang meninggal tertinggi di dunia. Berharap data-data “jawara” korban terinfeksi Covid-19 dan “jawara” korban meninggal akibat Covid1-9 segera sirna, berganti dengan data kesembuhan yang tinggi dan pemulihan ekonomi yang melesat.
Sedih dan pilu kehilangan saudara, sahabat, dan tokoh panutan umat. Semakin menyayat ketika melihat negara-negara pusat episentum Covid-19 tahun lalu sudah bisa hidup menuju normal antara lain RRC, Inggris, Italia, Brazil dan lain-lain.
Inggris bahkan telah sukses menggelar piala Eropa, Italia sukses menjadi juara piala Eropa, Brazil juga sukses menggelar Copa Amerika dengan jumlah penonton yang banyak di stadion Maracana yang melegenda.
Negara-negara yang kini mulai tampak menuju normal tahun lalu mengambil kebijakan lockdown atau menutup total pintu negaranya dari arus keluar masuk warga negaranya sendiri maupun warga negara asing dalam waktu tertentu.
Konsekuensi kebijakan lockdown memang berat di ongkos antara lain harus memberikan jaminan kebutuhan hidup dasar bagi warganya. Kebijakan ini sudah ada dalam Undang-Undang Kekarantinaan tahun 2018, bahkan mewajibkan negara memenuhi kebutuhan makanan binatang ternak milik warga selain jaminan kebutuhan hidup dasar manusia.
Akibat Indonesia Anti-Lockdown
Atas dasar beberapa pertimbangan, Indonesia mengganti istilah atau kebijakan lockdown dan kekarantinaan dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) pada tahun 2020 dan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat Mikro pada tahun 2021 ini.
Apapun pada kebijakan pemerintah, warga negara wajib patuh, tetapi juga memiliki hak bertanya dan mengajukan usul demi kemaslahatan bersama terkait efektifitas dan efisiensi atas kebijakan yang diambil.
Baru-baru ini pemerintah melalui Ketua Satgas PPKM Luhut Binsar Panjaitan menyampaikan kejujurannya bahwa pemerintah tidak menduga lonjakan Covid1-9 tahun ini. Secara jujur pula Pak Luhut menyampaikan varian delta kali ini tidak bisa dikendalikan.
Suatu ungkapan “kejujuran” yang tidak pada tempatnya di tengah harapan masyarakat yang besar pada pemerintah. Selama penanganan Covid-19 peran ilmuwan, ahli kesehatan atau epidemiologi seperti kurang terdengar. Hanya suara indah dokter Raisa yang sering terdengar merdu mangkampanyekan disiplin protokol kesehatan untuk masyarakat.
Suara dokter Raisa cukup pas, merdu, dan tidak fals mewakili kebijakan mikro untuk patuh protokol kesehatan. Adapun kebijakan makro perencanaan dan penanggulangan pandemi apakah tidak selayaknya disuarakan oleh para ahli kesehatan, ilmuwan pakar epidemiologi?
Daya analisisi dan hipotessi para ahli kesehatan, ilmuwan pakar epidemiologi bisa menghindari ungkapan “kejujuran” pemerintah yang tidak menduga lonjakan atau varian delta tidak bisa dikendalikan. Indonesia optimis melewati pandemi ini jika urusan-urusan diserahkan pada ahlinya, optimis yang realistis, bukan optimis yang lip service sebagaimana ungkapan Ketua BEM Universitas Indonesia Leon Alvinda Putra.
Masyarakat sangat menaruh harapan besar pada pemerintah untuk dapat segera menuntaskan pandemi ini sebagaimana yang bisa dilakukan pemerintah RRC, Inggris, Amerika, Brazil dan Italia. Karena bagaimanapun pemerintah adalah pemilik sumber daya terbesar dibandingkan perorangan, ormas atau kelompok-kelompok swadaya masyarakat.
Anggaran Tak Efisien
Berdasarakan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) anggaran pemerintah untuk penanganan Covid-19 mencapai Rp 1.035,2 trilun. Adapun untuk menghadapi PPKM Darurat Mikro pemerintah berpotensi menambah anggaran mencapai Rp 225,4 triliun.
Anggaran pemerintah tersebut seribu kali lipat dari pengeluaran yang telah dikeluarkan oleh pimpinan, warga, dan simpatisan Muhammadiyah yang “cuma” sekitar satu triliun rupiah sebagaimana disampaikan oleh Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jamaludin Ahmad.
Demikianlah sehebat-hebat ormas dan kelompok swadaya masyarakat mengkonsolidasikan sumberdayanya, tidak mungkin melampaui besaran sumber daya negara dalam kendali pemerintah. Masyarakat hanya bisa berharap pemerintah berlaku shiddiq (jujur), tabligh (komunikatif), amanah (tanggung jawab), fathanah (cerdas) dalam menggunakan anggaran dana yang demikian besar yang nota bene uang rakyat juga.
Temuan korupsi bansos Covid-19 oleh KPK pada kelompok tertentu dan catatan inefisiensi anggaran Covid-19 oleh BPK pada pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah tidak perlu terjadi lagi jika semua pihak berkomitmen sungguh-sungguh menyelesaikan pandemi Covid-19 dari bumi Indonesia dengan segera.
Untuk yang berjihad atau bersungguh-sungguh mengusahakan Indonesia segera bebas dari pandemi Covid-19, bersedia vaksin, disiplin protokol kesehatan bagi masyarakat dan disiplin protokol anggaran keuangan bagi aparatur negara semoga layak disebut mujahid. Sejajar dengan mereka yang telah bergelar syahid. Wallahu ‘alam bishshawab. (*)
Relakan yang Syahid, Sembuhkan yang Sakit, Kuatkan yang Sehat: Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post