Faqih Usman Ulama Multitalenta, Perumus Kepribadian Muhammadiyah, oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah.
PWMU.CO – KH Faqih Usman punya kecakapan relatif komplit. Ilmu agamanya tinggi. Ekonominya kuat. Dia jempolan saat merumuskan pemikiran termasuk lewat tulisan. Kecakapan berorganisasinya teruji lewat berbagai jabatannya di Muhammadiyah dan di luar Muhammadiyah. Di level negara, dia dipercaya antara lain sampai dua kali menjadi Menteri Agama.
Superpembelajar
Faqih Usman lahir di Gresik, Jawa Timur pada 12 Maret 1904. Dia berasal dari keluarga santri yang suka akan ilmu pengetahuan (agama dan umum). Awal mula, di saat kecil, dia belajar kepada sang ayah.
Menginjak remaja, sekitar 1914-1918, dia nyantri di pesantren di Gresik. Lalu, 1918-1924, dia belajar di pesantren di luar Gresik. Penguasaannya dalam bahasa Arab bagus sehingga memudahkannya dalam menguasai kitab-kitab yang diajarkan di pesantren.
Faqih Usman terbiasa membaca surat kabar dan majalah berbahasa Arab, terutama dari Mesir yang berisi tentang pergerakan kemerdekaan. Apalagi, pada ketika itu, di dunia Islam pada umumnya sedang terjadi gerakan kebangkitan.
Faqih Usman sering mendampingi ayahnya dalam mengelola aktivitas perdagangannya. Hebatnya, pada saat yang sama dia tetap tekun mempelajari bahasa dan agama secara mandiri.
Ketika Muhammadiyah masuk ke Gresik pada 1922, Faqih Usman termasuk yang menjadi anggota pertamanya. Dia lalu sangat aktif di Muhammadiyah Gresik. Selanjutnya, pada 1925, Faqih Usman diangkat menjadi Ketua Group Muhammadiyah Gresik, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi salah satu Cabang Muhammadiyah di Wilayah Jawa Timur.
Kemudian, mengingat kemampuannya sebagai ulama-cendekiawan, dia diangkat sebagai Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya. Lalu, ketika Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dia menggantikan kedudukan Mas Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur pada 1936. Dengan aktivitasnya di Muhammadiyah itu, mengharuskan Faqih Usman pergi-pulang Surabaya-Gresik menggunakan mobil pribadinya.
Di tengah kesibukan berorganisasi, ada setidaknya dua hal penting yang terus ditekuninya. Pertama, Faqih Usman tetap bersemangat mengurusi usaha dagangnya. Kedua, di waktu luang, Faqih Usman selalu memanfaatkannya untuk belajar ilmu agama dan pemikiran tokoh-tokoh pembaharu Islam. Di antara buku yang dipelajarinya adalah karya Muhammad Abduh.
Padat Aktivitas
Dengan aktivitasnya di Muhammadiyah, jaringan pergaulan Faqih Usman meluas dan amanah yang diembannya makin banyak. Misal, dia aktif di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1937.
Pada 1938 Faqih Usman menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya. Pada 1940 beliau mengundurkan diri dari jabatan itu karena ada amanah lain.
Pada 1940-1942, Faqih Usman menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Lalu, pada 1945 dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya.
Pada 7-8 November 1945 Faqih Usman hadir sebagai peserta aktif pada Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta. Adapun keputusan pentingnya, Masyumi dijadikan partai politik yang mewakili kepentingan segenap umat Islam.
Selanjutnya, mengingat adanya Pertempuran 10 November di Surabaya, Faqih Usman dan keluarganya mengungsi ke Malang. Di Malang, beliau bergabung dengan Masykur dan Zainul Arifin untuk membentuk kelompok revolusi yang dibentuk dari unsur Sabilillah dan Hizbullah, yang pernah dilatih Jepang. Di satuan yang dibentuk itu, Faqih Usman menjadi Wakil Pemimpin.
Pada Agresi Militer Belanda II, Desember 1948, Faqih Usman dan keluarganya mengungsi ke Surakarta. Di kota itu Faqih Usman kembali aktif di Muhammadiyah.
Di kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo untuk periode yang terakhir, Faqih Usman mendapat amanah sebagai salah satu Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Dengan posisi itu, mengharuskan Faqih Usman pergi-pulang Surakarta-Yogyakarta.
Hal di atas terjadi pada 1953. Itulah, untuk kali pertama Faqih Usman diangkat dalam kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Selanjutnya, dia selalu terpilih sebagai salah seorang staf Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Perumus Kepribadian Muhammadiyah
Kepribadian Muhammadiyah dirumuskan di Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, pada 1962. Muktamar yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiya itu ditutup oleh Presiden Soekarno yang kala itu menyampaikan pidato ‘Makin Lama Makin Cinta’.
Adapun naskah Kepribadian Muhammadiyah bermula dari makalah yang disampaikan Faqih Usman dalam kursus pimpinan Muhammadiyah di Madrasah Mu’allimiin Muhammadyah Yogyakarta pada Ramadhan 1961. Judul makalahmya, Apakah Muhammadiyah Itu?
Atas makalah itu, lalu ada kerja penyempurnaan oleh tim perumus Kepribadian Muhammadiyah”. Mereka adalah Faqih Usman, Hamka, Wardan Diponingrat, Djarnawi Hadikusumo, Farid Makruf, M. Djindar Tamimy, dan M. Saleh Ibrahim.
Lewat Kepribadian Muhammadiyah, dinyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada perseorangan dan masyarakat, untuk mewujudkan masyarakat utama, adil, makmur, yang diridhai Allah atau masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Selain gerakan Islam dan dakwah, Muhammadiyah juga merupakan gerakan tajdid (baca suaramuhammadiyah.id).
Jejak Panjang
Muktamar Muhammadiyah ke-37 berlangsung di Yogyakarta, pada 1968. Di acara itu Faqih Usman terpilih sebagai Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk periode 1968-1971.
Sayang, amanah itu sempat dipegang Faqih Usman hanya dalam beberapa hari saja. Hal ini, karena pada 3 Oktober 1968 beliau wafat.
Meski usia kepemimpinan Faqih Usman sebagai Ketua (Umum) PP Muhammadiyah super-singkat, tetapi secara umum jasanya di Muhammadiyah sungguh sangat banyak. Jejak kontribusinya di Muhammadiyah masih mudah dilihat sampai saat ini dan insyaallah sampai masa yang akan datang.
Multitalenta
Faqih Usman serba-bisa. Di bidang kewirausahaan, dia pernah diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik. Hal itu karena dia seorang pengusaha sukses. Tercatat, Faqih Usman memiliki kegiatan bisnis berskala cukup besar yaitu lewat beberapa perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik.
Di bidang tulis-menulis, Faqih Usman juga cakap. Faqih Usman pernah memimpin majalah Bintang Islam, sebagai sarana dakwah lewat tulisan bagi Muhammadiyah Jawa Timur. Lalu, Pada 1959 dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas) bersama-sama dengan Buya Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad. Majalah ini memiliki ikatan yang erat dengan Muhammadiyah.
Di bidang politik, Faqih Usman juga ikut andil dalam Partai Masyumi sejak didirikannya pada 7 Novemper 1945 dalam Muktamar Umat Islam di Yogyakarta dan menjadi salah seorang Pengurus Besar Masyumi. Pada 1952, dia menjabat sebagai Ketua II Masyumi sampai 1960, saat partai membubarkan diri karena tekanan dari rezim Orde Lama.
Di pemerintahan, jejak amanah yang dipegang Faqih Usman banyak. Misal, dia pernah menjadi Menteri Agama pada Kabinet Halim Perdanakusumah, 21 Januar 1950 sampai 6 September 1950. Pada 1951 dia menjabat Kepala Jawatan Agama Pusat. Dia menjadi Menteri Agama lagi pada Kabinet Wilopo, 3 April 1952 sampai 1 Austus 1953.
Lewat posisi yang disebut terakhir itu, Faqih Usman melakukan program reformasi dalam Kementerian Agama, termasuk merumuskan tujuan kementerian. Berikut ini, rumusannya: Untuk menyediakan guru agama, mempromosikan hubungan antar-agama yang baik, dan menentukan tanggal hari raya (baca ibtimes.id).
Lincah Bergerak
Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, Faqih Usman juga terlibat aktif dalam usaha penyelesaian konflik politik dalam negeri. Hal itu terlihat menjelang meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara.
Bersama dengan Muhammad Roem, Faqih Usman berusaha menjadi mediator untuk mendamaikan konflik antara PRRI dengan Pemerintah Pusat saat itu. Dia berusaha menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti Muhammad Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Syafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan persoalan yang semakin menajam.
Upaya tersebut tidak membawa hasil yang memuaskan, bahkan bisa dianggap gagal. Akhirnya, Faqih Usman kembali ke Muhammadiyah yang memang menjadi basis aktivitas kemasyarakatannya.
Pada saat Orde Baru berkuasa, Faqih Usman bersama tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Hasan Basri (di kemudian hari pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia) dan Anwar Haryono (di kemudian hari pernah menjadi Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia) mengirim Nota Politik kepada pemerintah Orde Baru. Nota Politik ini di kemudian hari dikenal sebagai Nota Faqih Usman, yang berisi permintaan agar Pemerintah RI (Orde Baru) mau merehabilitasi Masyumi.
Pada 1968, Faqih Usman menjadi Ketua Panitia Tujuh Pembentukan Partai Muslimin Indonesia. Meski dicalonkan sebagai ketua partai, dia menolak karena tak lama sebelumnya telah terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah (Ensiklopedi Islam Indonesia, 1992: 235).
Sangat banyak kebaikan KH Faqih Usman yang mudah kita kenang. Misal, beliau rajin belajar dengan menekuni ilmu agama sekaligus ilmu umum. Beliau pelaku ekonomi yang sukses. Beliau punya jaringan yang luas karena aktivitasnya di tengah-tengah masyarakat, terutama lewat kegiatannya di Muhammadiyah.
Kebaikan Faqih Usman yang lain, beliau bisa mengungkap pemikirannya lewat tulisan, baik untuk penyusunan konsep-konsep di internal organisasi maupun di birokrasi pemerintahan. Bahkan, menulis untuk konsumsi umum seperti lewat majalah, beliau juga aktif. Beliau pandai mengorganisasi orang. Dia-pun amanah dalam memegang jabatan.
Sungguh, meneladani sekaligus melanjutkan perjuangannya adalah sikap terbaik. Allahu Akbar! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post