Pertarungan Leadership Peristiwa G30S

Pertarungan Leadership
Daniel Mohammad Rosyid

Pertarungan Leadership Seputar G30S/PKI oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.

PWMU.CO– Untuk menjelaskan peristiwa G30S/PKI dari perspektif leadership and managerial skills, paling tidak ada empat tokoh utama dalam sejarah tragis itu. Yaitu Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, Mayjen Soeharto, Pangkostrad, Jenderal AH Nasution, Panglima TNI, dan DN Aidit, Ketua CC Partai Komunis Indonesia.

Dua tokoh pertama berlatar budaya Jawa, Islam, dan Muhammadiyah. Dua tokoh lainnya berlatar budaya Melayu, Islam. Bung Karno paling senior dibanding tiga tokoh lainnya.

Penting dicatat pengaruh Islam pada keempat tokoh ini. Islam sejak awal mengajarkan, setiap orang adalah pemimpin yang harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah swt, Tuhan Yang Mahaesa.

Komunis yang anti-Tuhan mungkin berhasil melahirkan pemimpin, tapi pemimpin yang tidak pernah merasa bertanggung jawab pada Tuhan. Akhirnya komunis hanya melahirkan pemimpin avonturir yang pragmatis.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia membuka jalan mobilitas sosial, terutama bagi masyarakat bawah. Bagi wong cilik, mobilitas itu disediakan oleh tentara dan PKI. Partai lain seperti PNI ataupun Masyumi cenderung priyayi dan elitis.

PKI tidak seperti itu. Tidak mengherankan jika PKI berhasil menarik banyak pengikut yang militan. Pada saat Islam dianggap sebagai mayoritas, suasana perang dingin ikut menaikkan daya tarik PKI karena diferensiasinya.

Keempat tokoh itu memiliki assertiveness (sikap positif dan percaya diri) yang tinggi. Dengan ambisi kekuasaan yang lazim dimiliki oleh para pemimpin. Jika kepemimpinan menurut Harvard Business School dibentuk melalui empat proses, yaitu making sense of experiences, relating with peoples, visioning, and innovating, maka Soekarno telah menapaki keempat tahap proses ini dengan nyaris sempurna.

Baik AH Nasution maupun Soeharto juga demikian, namun memilih jalur tentara. Ini berbeda dengan DN Aidit yang memilih jalur partai politik, seperti Bung Karno. Dari perspektif making sense of experiences ini, Bung Karno tak diragukan lagi adalah yang terbaik.

Barat Vs Blok Timur

Dari segi relating with peoples, ketiga tokoh itu memiliki kemampuan lintas kelompok yang tinggi kecuali Aidit terlalu awal memilih PKI yang track record-nya buruk paling tidak di mata TNI akibat peristiwa Madiun 1948.

Sekalipun Aidit memiliki kepiawaian manajerial untuk  mengurus PKI, tapi sebagai pemimpin Aidit tidak memiliki basis dukungan yang luas. Ini berbeda sekali dengan Bung Karno yang sangat populer, orator dan flamboyan.

Soeharto maupun Nasution memilih jalur tentara-nasionalis yang lebih condong ke Barat melalui pengalaman pendidikan keduanya di KNIL. Aidit, lebih condong ke Uni Sovyet, lalu China yang komunis.  Hemat saya, dilihat dari latar belakangnya dari keluarga yang sederhana, Soeharto memiliki kemampuan relating with peoples yang terbaik. Sedangkan Bung Karno dan Aidit memiliki latar belakang aristokrat.

Dalam suasana perang dingin antara blok Barat vs Blok Timur, sebagai pemimpin, baik Soekarno maupun Soeharto memiliki visi jelas yang otentik. Soekarno dengan Nasakom. Soeharto dengan Pancasila yang terbuka bagi investasi asing.

Keduanya boleh dikatakan berhasil melakukan inovasi untuk mewujudkan visinya itu. Aidit tidak memiliki visi yang otentik karena tenggelam dalam visi Stalin atau Mao. Oleh karena itu gagal melakukan inovasi yang berbasis luas.

Soekarno belum berhasil membuktikan dirinya sebagai manajer yang piawai di saat normal karena sejarah tidak memberinya kesempatan itu. Soeharto tidak saja berhasil membuktikan dirinya sebagai leader yang dibutuhkan di masa krisis, decision making in stress, tapi juga berhasil mengelola pembangunan selama 30 tahun dengan prestasi yang lumayan.

Aidit berhasil membuktikan dirinya sebagai manajer yang berhasil mengelola PKI menjadi partai besar yang berpengaruh. Namun Aidit gagal dalam melaksanakan kudeta karena terlambat mengambil keputusan sehingga kudeta yang sudah cukup lama direncanakan dengan mudah dipatahkan oleh Soeharto.

Krisis Kepemimpinan

Kepemimpinan Soekarno sangat menonjol karena pada fase terakhir kekuasaannya, Soekarno masih setia dengan visi Nasakomnya. Lalu bertahan untuk menyelamatkan persatuan Indonesia dengan menghindari pertumpahan darah akibat perang saudara.

Soeharto masih menghormati Soekarno sebagai proklamator, tapi tegas menghadapi PKI yang dilindungi Soekarno. Soeharto juga rela berhenti menjadi presiden pada 1998, sementara Nasution secara gentleman mempersilakan Soeharto untuk menjadi presiden dalam sidang MPRS tahun 1967.

Sementara itu Aidit gagal menunjukkan dirinya sebagai pemimpin sejati yang demi mewujudkan visinya berani mengambil risiko termasuk menolak perintah Bung Karno untuk menghentikan operasi kudeta itu.

Saat ini kita mengalami krisis kepemimpinan di berbagai tingkat, hingga di tingkat global. Secara nasional, republik ini dikuasai oleh oligarki dengan kepentingan pragmatis jangka pendek. Akibatnya bangsa ini terbelah.

Kualitas pemimpin yang pertama adalah amanah yang pijakannya adalah kejujuran. Jika kebohongan merajalela, maka akan timbul public distrust yang berpotensi mengarah pada public disorder, chaos  and anarchy.

Sementara true leaders respect each other. Pemimpin palsu justru mudah mengkriminalisasi pemimpin lainnya. (*)

Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, Surabaya

29/9/2021

Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version