Waspada Fitnah Harta! Kajian oleh oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Waspada Fitnah Harta! ini berangkat dari hadits riwayat Tirmidzi dan Thabran:
عَنْ كَعْبِ بْنِ عِيَاضٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ. رواه الترميذى
Dari Ka’ab bin ‘Iyadl berkata: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: ‘Sesungguhnya setiap umat itu memiliki fitnah dan fitnah umatku adalah harta.’ (HR Tirmidzi dan Thabrani).
Fitnah Harta
Semua manusia tanpa kecuali pasti memiliki kecenderungan akan harta, karena dengan harta (seolah) manusia dapat melakukan apa saja. Itulah yang sering terjadi, seseorang yang memiliki harta, termasuk jabatan, merasa percaya diri lebih dari mereka yang tidak berharta.
Dan dengan kepercayaan dirinya itu seolah bebas bersikap apa saja, semaunya sendiri. Betapa banyak korban dari sikap orang-orang yang merasa telah menguasai dan memiliki harta ini tanpa mereka menyadarinya.
Jika harta itu dipergunakan untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya, dan menegakkan hukum Allah sebagaimana mestinya makai a akan dapat mengantarkannya ke surga. Sebaliknya jika harta itu hanya untuk mendapatkan kepuasan nafsu dunia maka justru akan mengantarkannya ke dalam neraka.
Harta dan seluruh fasilitas di dunia ini–termasuk sehat dan jabatan–adalah sarana saja dan bukan tujuan itu sendiri. Maka menjadi ironi jika semua itu seolah menjadi tujuan sehingga menjadi kebanggaan dan tindakan semena-mena. Seolah kesuksesan hidup itu diukur oleh seberapa besar kita mampu menguasai harta dunia ini, sehingga setelah itu kita akan merasa bahwa diri kita telah sukses dalam hidup ini.
Kecintaan kepada dunia menjadikan seseorang lupa akan tujuan yang hakiki atau tujuan yang sebenarnya dalam hidup ini, sehingga ukurannya adalah untung rugi tanpa memandang etika baik dalam mencarinya maupun kedapa orang lain. Kepuasaannya hanyalah bertumpu pada keuntungan yang sebasar-sebesarnya sekalipun harus mengorbankan spiritualitasnya.
Ancaman Allah
Allah memberikan peringatan akan kesalahan berlabuhnya cinta ini jika hanya terpaut dengan keuntungan dunia dan dunia semata.
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ
Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (at-Taubah 24)
Fatarabbashu hatta yaktiyallahu bi amrih yakni maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya adalah kalimat ancaman Allah terhadap mereka yang lalai akan tujuan hidupnya yang hakiki.
Hanya Sarana
Sesungguhnya harta dan apa saja yang ada di dunia ini adalah sekadar sarana. Maka tidak ada hubungannya terhadap kemuliaan seseorang baik di dunia apalagi di akhirat.
Kita boleh berusaha mencari harta sebanyak-banyaknya, juga menjaga kesehatan kita agar tetap prima. Namun hal itu sekali lagi bukan tujuan, tetapi justru dengan itulah yakni sarana itu untuk kemudian kita beribadah, berbakti, taat dan patuh yakni memiliki loyalitas tanpa batas kepada Allah Subhanahu wa Tataala.
Bukankah tujuan hidup kita memang hanya satu yaitu ibadah kepada Allah?
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzariyat 56)
Maka sungguh telah teripu orang-orang yang mengerahkan semua kemampuannya hanya untuk harta dan harta, dan setelah itu merasa telah mulia dengan hartanya. Sehingga semakin bertambahnya usia aktivitas itu tidak ada hentinya dan malah dituntut semakin keras dan keras untuk medapatkannya.
Padahal seharusnya semakin bertambah usia akan semakin berusaha mendekat dirinya kepada Allah sebagai bekal pada kehidupan selanjutnya.
Ibadah mahdhah banyak yang terbengkalai baik secara kuantitas dan juga kualitasnya. Kesibukan yang tiada henti dalam rangka mencari harta menjadikan abai dan lalai pada aktifitas ritual yang sesungguhnya menjadi kebutuhan dasar setiap hamba.
Tidaklah kemuliaan seseorang manusia itu karena faktor penguasaanya pada keduniawiahan, tetapi justru hal itu adalah amanah dan ladang pahala jika dijalankan sebagaimana ketentuan Allah dan Rasul-Nya, dan bukan mengacu pada hukum ekonomi dunia yang akan menjebaknya pada sikap konsumerisme yang tiada henti dan tiada pernah puas.
فَأَمَّا ٱلۡإِنسَٰنُ إِذَا مَا ٱبۡتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكۡرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّيٓ أَكۡرَمَنِ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبۡتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيۡهِ رِزۡقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّيٓ أَهَٰنَنِ
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku’. (al-Fajr 15–16)
Sebagaimana dalam hadits di atas, setiap umat ada fitnahnya, dan fitnah umatku adalah harta. Tentu setelah harta ini dikuasai berikutnya akan merembet pada fitnah lainnya yaitu fitnah kekuasaan dan wanita. Dan dampak buruknya adalah terlena dengan konsep ekonomi liberal di mana kesempatan penguasaan harta hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki akses semata dan cenderung menekan dan meperdaya kepada mereka yang lemah.
Bagi kaum Muslimin kepentingan akhirat haruslah diutamakan. Karena orientasi kehidupan ini adalah kebahagiaan akhirat. Sedangkan dunia hanyalah tempat singgah sementara.
Maka tentu arahannya adalah memberikan ruang seluas-luasnya agar umat ini dapat meraih kebahagaaiannya dengan sempurna, sebagaimana Allah memberikan harapan dengan kasih sayang-Nya kepada setiap hamba akan hal itu. Wallahu a’lam bishshawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel Waspada Fitnah Harta!Dua Tempat yang Dicintai dan Dibenci Allah ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 53 Tahun XXV, 15 Oktober 2021/8 Rabiul Awal 1443.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.
Discussion about this post