Jalan Horor Guru Honorer, oleh Yakub Fadillah, Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Kaderisasi PW Pemuda Muhammadiyah Kalimantan Timur.
PWMU.CO – Sekira 12 tahun berlalu, saya sempat diminta membantu mengawas ujian semester sebuah universitas, memfasilitasi para guru yang belum mencapai sarjana. Jangan tanyakan apakah mereka kompeten atau tidak, belasan tahun mengabdi mencerdaskan anak bangsa.
Bahkan di antara mereka yang saya awasi dalam kelas yang menjadi tugas saya, di antaranya adalah guru saya semasa SD. Ada rasa terkejut, malu, dan sungkan. Sebagai murid, saya yang biasa diawasi saat ujian catur wulan—sebelum masa 2000-an—kini saya berdiri di depan ruang bergantian mengawasi.
Pejuang NIP
Peran saya saat itu lebih besar mengamati akan keseriuasan dan ketulusan mereka, dalam menjalani proses untuk mendapatkan predikat layak menjadi guru sesuai perundang-undangan. Sebagian dari mereka ada yang bangga diawasi oleh muridnya, namun pandangan saya bukanlah pada wajah-wajah yang penuh harap, namun pada tangan-tangan terampil yang telah mengantarkan ratusan anak didik mereka.
Sebagian telah sukses melampaui mereka dengan gemetar penuh perjuangan melingkari lembar jawaban komputer (LJK), yang sebenarnya lebih layak untuk mahasiswa regular atau para siswa SD, SMP, atau SMA. Hati ini tidaklah tega, melihat tangan-tangan yang sudah penuh dengan karya harus berjuang layaknya siswa, yang diuji akurasi urat syaraf jemari mereka.
Lantas, apa korelasi dengan Hari Guru Nasional pada 2021? Kini para tenaga guru honorer itu harus berjuang untuk mendapatkan NIP (Nomer Induk Pegawai), apakah sebagai CPNS atau sebagai PPPK. Tentu ini mengacu pada UU ASN no 5 Tahun 2014. Mereka harus berjuang dan bersaing dengan para lulusan baru, yang secara psikomotorik dan juga penggunaan perangkat IT jauh lebih familiar saat menjalani tes tertulis, dibanding mereka yang jauh telah lama lulus.
Lantas, dimana letak penghargaan negara atas pengabdian mereka yang selama ini mendapatkan kompensasi yang jauh dari kata “layak””? Setiap daerah pun memiliki varian yang berbeda besaran gaji guru honorer. Ada yang bernilai di atas satu juta rupiah, ada juga yang di bawahnya. Bahkan ada yang habis hanya sekadar membeli bensin motornya. Untuk keperluan hidup pun tidak sedikit yang harus bekerja paruh waktu pada sektor lain, agar keluarga mereka tetap terjamin keberlangsungannya.
Jalan Horor Putusan MK
Tahun 2015, seorang ASN asal Ponorogo yang bernama Rachmadi Sularsono bersama tiga tenaga honorer yaitu Wahid Ahmad Nahrowi, Siti Murijstul Khadijah, dan Iva Fitria, melakukan langkah hukum dengan mengajukan permohonan uji materi UU ASN no 5 tahun 2014 dengan nomer register 27.
Putusan mejelis hakim dibacakan pada 26 Agustus 2015 dengan menolak semua isis gugatan, tak satu pasal pun dikabulkan. Dengan putusan ini, tentu celah bagi para guru honorer yang telah melewati usia 35 tahun tak mungkin lagi, kecuali bagi mereka yang masuk data K1 & K2.
Lantas apa korelasinya? Kita mengenal guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Jasa yang dimaksud adalah tanda pangkat yang melekat, bahkan ketika identitas yang mencolok atau sekadar pembeda seperti seragam tugas kita tidak menemukan perbedaan antara ASN atau tenaga honorer. Hal ini mengapa bisa tidak sama dengan instansi dengan fungsi pelayanan publik? Semua dibuat sama agar wibawa dan kharismatik seorang guru memiliki egaliter di depan peserta didik.
Jika seseorang memutuskan mengajar di lembaga pendidikan swasta tanpa penugasan dan pemerintah, wajar mereka tenang dan nampak bahagia dengan status yang mereka sandang. Sedari awal mereka sadar bahwa itu bukan jalur untuk mendapatkan NIP.
Lantas bagaimana dengan mereka yang memilih mengabdi di sekolah negeri atau dengan rela ditugaskan oleh pemerintah membantu lembaga pendidikan swasta? Berdasarkan kode etik profesi tentu tak bisa menuntut pemerintah untuk mengangkat mereka secara massal atau bertahap, karena pada dasarnya mereka tidak punya perjanjian untuk menjadi ASN, latar belakang mereka yang memilih studi untuk menjadi seorang pendidik adalah bukti cita-cita luhur mereka.
Keikhlasan dan Jalan Horor Guru Honorer
Tidak dipungkiri mereka rela mengabdi dengan honor “seikhlasnya” sesuai kemampuan daerah dan provinsi atau lembaga pendidikan vertical, yang dituntut untuk ikhlas mengabdi. Mereka dedikasikan waktu, pikiran, dan tenaga, tidak lain mereka ingin menatap senja dengan riang gembira bersama anak dan cucu mereka kelak.
Mereka ingin di masa tua bisa menghibur anak atau cucunya dengan jerih payah dari masa mudanya, meski tentu dengan standar seorang pensiunan guru, setidaknya ada harapan meski usia belum tentu menggapainya.
Seiring dengan tuntutan zaman, seorang guru dituntut berkembang dan berinovasi mengikuti arus kemajuan. Dalam praktiknya, tidak sedikit yang harus tertatih-tatih dalam mengimbangi lajunya pertumbuhan percepatan teknologi, seperti harus memiliki komputer atau laptop pribadi demi kemajuan proses pembelajaran. Bahkan seorang guru matematika, fisika, mekanika teknik yang masih berstatus honorer, honor sebulan untuk membeli kalkulator scientific saja habis bahkan ada yang tidak mencukupi.
Jika demikian tentu seorang guru honor harus berjibaku memajukan pendidikan dan sekaligus sebagai tulang punggung keluarga, yang tidak bisa diselesaikan dengan prinsip pengabdian seorang guru honorer atau sekadar air mata menghibur orang yang berlindung di bahu mereka.
Globalisasi Guru
Pada peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November ini yang mengangkat tema “Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan”, besar harapan bangsa ini pendidikan semakin maju, berkualitas, humanis dan menggembirakan. Abad 21 yang sudah lebih seperlima masanya kita lalui, akan menuntut hasil pendidikan yang memilki daya saing, seiring dengan persiapan era globalisasi yang akan membuat persaingan semakin terbuka dan kompetitif.
Abad 21 adalah era di mana otot hanya sebagai penunjang, kemampuan psikomotorik akan lebih didominasi kemampuan sensorik. Dengan demikian, seorang guru akan dituntut mendidik para peserta didik dengan metode dan obyek yang tidak ditemui di zamannya ketika menjadi peserta didik. Karena mereka mendidik peserta didik di zaman yang penuh dengan tuntutan kemajuan dan kepekaan.
Dengan beratnya tugas yang diemban oleh para pendidik yang harus profesional yang mana di dalamnya akan mengandung banyak unsur, mulai dari kompeten, ulet, cekatan, berjiwa mentor, peka terhadap perubahan, familiar dengan sesuatu yang baru dan seterusnya. Maka sudah sewajarnya mereka mendapatkan hak secara profesional sesuai dengan tuntutan dari tugas seorang guru.
Dengan adanya putusan MK yang menolak perubahan UU ASN no 5 tahun 2014 pada 26 Agustus 2015, tentu membuat para guru honorer semakin berkecil hati bagi yang benar mengharapkannya, meski efeknya tidak hanya untuk guru honorer tapi semua tenaga honorer. Eskalasi aksi damai yang pernah terjadi meminta kebijakan pemerintah harus berujung kecewa, karena memang tidak ada celah untuk bisa menjanjikan.
Solusi?
Lantas apakah ada solusi bagi mereka yang sudah melampaui ambang batas usia? Bahkan yang belum memasuki ambang batas usia pun juga masih harap-harap cemas. Tentu besar harapan kita mereka yang mendedikasikan diri untuk kemajuan anak-anak bangsa yang akan datang akan ada perhatian penuh.
Karena sejatinya, mereka yang duduk menangani RUU, memberikan legislasi hingga putusan uji materi, mereka pernah menikmati pengabdian para guru dengan waktu belasan tahun. Artinya, semua stake holder tentang kebijakan mereka adalah produk pendidikan yang dijalankan oleh para guru.
Harapan kita, UU tentang ASN bisa direvisi kembali, jika tidak bisa meng-cover semua minimal ada perhatian buat para guru honorer dan tenaga lain yang vital seperti tenaga medis. “ Selamat Hari Guru Nasional ke-76, 25 November 2021”.
Semoga politik kebangsaan negeri ini memiliki komitmen terhadap para guru honorer yang memberikan keistimewaan, dengan reformasi peraturan-perundangan yang berpihak demi menatap senja para pahlawan tanpa tanda jasa.
Jalan Horor Guru Honorer, Catatan Hari Guru Nasional (*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post