Moderasi Beragama Juga Ekstrem oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar.
PWMU.CO– Bukan agama, manhaj, madzhab atau ideologi yang dimoderasi tapi sikapmu yang mengambil titik ekstrem yang kemudian dipahamkan secara parsial letterlijk itu yang perlu dimoderasi.
Arogansi Barat memaksakan nilai-nilai liberal materialistik terhadap Islam juga penting dimoderasi. Lantas Karl Popper berkata: keliru adalah manusiawi, dan saya berbuat manusiawi sekaligus dua.
Maka tesis Daniel Bell tentang The End of Ideologiy pun patah. Risetnya tentang berakhirnya ideologi tidak terbukti. Sebaliknya perang ideologi makin kencang dengan skala yang lebih luas tapi latent.
Umat Islam menganggap bahwa hanya agama Islam yang benar yang lain salah dan sesat.
Zionis berpegang teguh kepada keyakinan bahwa bangsa Israel adalah bangsa pilihan Tuhan. Lantas menganggap bangsanya yang paling agung dan berhak melakukan apapun yang disuka.
Keselamatan terjadi hanya karena menanggalkan, mematikan, dan membuang segala dosa-dosanya dengan percaya, menerima, dan mengakui Yesus Kristus sebagai juru selamat pribadi.
Marxisme bilang bahwa agama adalah candu masyarakat sebab itu harus enyah.
Liberalisme menyebut agama adalah sumber petaka, sumber kemunduran karena dianggap tidak menggunakan akal.
Benarkah hanya NU sebagai representasi ahli sunah wal jamaah lainnya sesat? Benarkah Salafi Wahabi yang berhak menyandang paling nyunah, paling murni paling autentik dan sangat dekat dengan al-Quran dan as-Sunah yang selainnya adalah sesat dan ahli bid’ah masuk neraka?
Pun dengan Muktazilah, Jabbariyah, Khawarij, Syiah dan puluhan aliran lainya yang semisal meski kecil tapi beringas. Menganggap hanya aliran dan manhajnya yang benar yang lain batil.
Sikap ekstrem menolak hidup berdampingan, inginnya hidup sendiri meniadakan yang tidak sepemahaman. Dengannya bisa menampik yang tidak sepemahaman dan menolak siapapun yang berbeda. Sikap inilah yang perlu dimoderasi.
Pada awalnya setiap agama punya sikap merasa benar sendiri: tidak Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Islam atau agama apapun selalu dibarengi sikap merasa benar sendiri dan menganggap selain agamanya salah.
Sikap merasa paling benar dan paling baik dari yang lain adalah niscaya. Ibarat pedang bermata dua. Satu sisi sebagai sumber kekuatan dan satunya sebagai sumber petaka. Satu sisi berfungsi sebagai kekuatan yang mengokohkan, sisi lainnya melahirkan sikap ekstrem yang meniadakan.
Karen Amstrong menyebut bahwa setiap agama, aliran, manhaj pada dasarnya punya titik ekstrem yang tidak bisa bercampur. Sebab itu jika ada yang mencoba memadukan antar iman sesungguhnya buang-buang waktu karena pasti hanya lipstik.
Hal pentingnya adalah pikiran merasa paling benar sendiri bukan monopoli agama Islam yang kemudian menjadi target moderasi. Lantas iman Islam dipadankan dengan yang lain. Ini pikiran sesat. Agama atau manhaj atau ideologi lain juga sama. Tak ada beda. Bahkan sebagian malah kebablasan.
Moderasi pun dilakukan dengan cara ekstrem dan radikal pula. Bahkan ada yang menyamarkan iman agar terlihat baik di depan semua orang, dan itu klise. Ternyata konsep moderasi beragama juga ekstrem yang perlu dimoderasi pula. (*)
Editor Sugeng Purwanto