Kebahagiaan Hakiki
Din Syamsuddin menganjurkan adanya proporsionalitas (keseimbangan) antara kebahagiaan hati dan jasmani. Menurut mantan birokrat dan teknokrat Ibnu Miskawai, kebahagiaan hakiki (kebahagiaan pada tingkat tertinggi) itu ketika seorang manusia dapat menunaikan kewajiban terhadap Tuhannya.
“Akhirnya membawanya ke sebuah kesadaran batin yang tinggi. Semuanya diorientasikan kepada Allah sehingga cita-cita tertinggi dalam hidup adalah memperoleh ridha Ilahi,” tambahnya.
Enam kriteria bahagia berdasarkan al-Quran—yang Ustadz Aam paparkan sebelumnya—menurut Din dapat membawa kita kepada pemahaman, penghayatan, dan pengalaman tentang kebaikan tertinggi. Kebaikan tertinggi itu maksudnya the supreme good (definisi kebahagiaan menurut Aristoteles).
“Hati nurani indikatornya. Hati nurani sebagai bagian terdalam kalbu membisikkan kebaikan-kebaikan,” ungkap Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2015 itu.
Ini berbeda dengan filsafat kebahagiaan dalam aliran hedonisme yang cenderung memuaskan hasrat badani. “Kebahagiaan badani seperti itu tidak langgeng, cepat hilang,” ujarnya.
Dia lalu meluruskan, agar tidak seperti penyair dan sufi wanita Rabiah Al Adwiyah yang punya konsep cintanya tanpa pamrih. Dialah seorang filsuf wanita yang meninggalkan istana dan menyendiri.
“Aku mencintaimu ya Allah dengan dua cinta. Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Adapun cinta karena diriku, aku mencintai-Mu karena diriku. Adalah rinduku kepada-Mu selalu. Sedangkan cintaku padaMu karena diriMu adalah harapanku agar Engkau tidak memalingkan mukaMu dari diriku,” ucap din menirukan Rabiah.
Kemudian, Rabiah mengatakan, “Ya Allah, jika aku usaha kepadaMu karena mengharapkan surga, maka tutupkanlah pintu-pintu surga itu bagiku. Begitupula jika aku beribadah kepadaMu karena takut neraka, ada pamrih, maka bukalah pintu-pintu neraka bagiku.”
Din menegaskan, mencari kebahagiaan memang harus menjadi cita-cita kita sebagai insan beriman, mukmin dan mukminah. “Namun kebahagiaan yang harus kita cari adalah kebahagiaan hakiki, as-saadah alhakikiah, itupula akan membawa ke al-hasanah fiddunya wal akhirat!” tegasnya.
Reorientasikan Hidup
Akhirnya Din berpesan, “Mari kita reorientasikan kehidupan kita terutama dalam pergantian zaman ini, zaman yang cepat berubah, yang membawa aneka masalah, tantangan, dan peluang, dengan betul-betul beristikamah kepada Allah SWT yang telah menciptakan kita dan kepada-Nya kita akan kembali!”
Dia menegaskan, orbit kehidupan berpegang pada innalillahi wa innailaihi rajiun. “InsyaAllah hidup ini indah, penuh berkah. Harta bukan segalanya,” tuturnya.
Sebab, lanjut Din, kebahagiaan itu ada dalam diri kita. “Walaupun jasmani kita punya hak asupannya sendiri, tapi jangan lupa auspan rohani itu sesuatu yang lebih tinggi dan mulia!” imbaunya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post