Pertemuan Bersejarah
Pada tahun 1917, Ahmad Dahlan mengumpulkan putri-putri Kauman Yogyakarta. Lewat rapat, mereka diajak mengembangkan Sapa Tresna.
Pertemuan tersebut dihadiri Ahmad Dahlan, Fachrodin, Mochtar, Ki Bagus Hadikusumo, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Wadingah, dan Siti Badilah (lima nama anak perempuan yang disebut itu masing-masing masih berusia belasan tahun).
Hasilnya, dibentuk secara resmi organisasi yang menghimpun para perempuan Muhammadiyah. Dalam pertemuan itu, nama yang disepakati adalah Aisyiyah. Nama tersebut dinisbahkan kepada istri Nabi Muhammad SAW yang bernama Siti Aisyah.
Ada fakta cukup menarik dalam proses pembentukan kepengurusan pertama Aisyiyah. Walaupun tidak hadir, Siti Bariyah justru ditunjuk sebagai ketua. Pertimbangannya, dia dinilai cakap.
Siti Bariyah yang lulusan Sekolah Netral dipercaya menjadi Ketua Aisyiyah yang pertama. Rupanya, sebagai generasi pertama tamatan Sekolah Netral, Siti Bariyah dinilai oleh Ahmad Dahlan cukup memiliki ilmu dan kemampuan berorganisasi secara modern. Alasan rasional inilah yang mendasari sikap Ahmad Dahlan mengapa bukan Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan) atau putri-putrinya (seperti Siti Aisyah atau Siti Busyro) yang dipilih sebagai Ketua Aisyiyah.
Selanjutnya, berikut ini kepengurusan Aisyiyah periode pertama. Ketua, Siti Bariyah, Sekretaris, Siti Badilah, Bendahara, Siti Aminah Harowi, Pembantu adalah Ny. Abdullah, Ny. Fatimah Wasool, Siti Dalalah, Siti Wadingah, Siti Dawimah, dan Siti Busyro.
Siti Bariyah memimpin Aisyiyah sejak 1917 sampai 1920. Dia terpilih lagi sebagai Ketua pada 1927. Juga, kembali terpilih sebagai Ketua Aisyiyah di dua muktamar berikutnya 1928 dan 1929. Sementara, pada masa Nyai Ahmad Dahlan menjadi Ketua Aisyiyah, Siti Bariyah menjadi Wakil Ketua-nya.
Suara Intelektual
Pada 1923, saat dipimpin KH Ibrahim, Muhammadiyah memberikan kepercayaan kepada wakil dari Aisyiyah, Siti Bariyah, untuk memberikan penafsiran terhadap maksud Muhammadiyah. Atas hal itu, kemudian tulisan Siti Bariyah berjudul “Tafsir Maksud Muhammadiyah” dimuat majalah Suara Muhammadiyah. Hal ini, mengindikasikan bahwa intelektualitas si penulis diakui oleh pimpinan Muhammadiyah.
Selanjutnya, Siti Bariyah merintis penerbitan majalah Suara Aisyiyah, yang edisi pertamanya terbit pada 1926. Dia salah satu anggota redaktur pada masa awal bersama Siti Wakirah, Siti Hayinah dan Siti Wardhiyah.
Kesan Istimewa
Pada diri Siti Bariyah, terasa menonjol sosoknya sebagai intelektual. Jika dibanding kawan-kawan seangkatannya, intelektualitasnya tampak lebih terasah.
Siti Bariyah yang juga dikenal sebagai pengusaha batik, sebagaimana rata-rata keluarga besarnya yang lain, meninggal sekitar tahun 1931 (menurut sebuah sumber).Meski meninggal dalam usia relatif muda, tetapi Siti Bariyah akan terus dikenang dengan segala kebaikannya termasuk sebagai ketua pertama Aisyiyah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post