Menghitung Hari Republik

Menghitung hari
Daniel Mohammad Rosyid

Menghitung Hari Republik oleh Daniel Mohammad Rosyid, pendiri Rosyid College of Arts, guru besar ITS pakar maritim.

PWMU.CO– Sambil menunggu para pendukung setia Presiden Jokowi berbondong-bondong memenuhi Ibu Kota Negara Nusantara, Kabupaten Panajam Paser Utara, saya sedang menunggu bagasi saya di Bandara ElonMuskarta tidak jauh dari Nusantara. 

Seperti Republik Amerika Serikat yang kini sedang melorot menuju negara otoritarian, Republik inipun sedang mengarah pada jurang yang sama. Sebentar lagi, Republik ini akan jatuh menjadi semacam Roma di tangan Nero. Tinggal menghitung hari.

Jika para Republiken AS yang white, and christian telah keras mendaku sebagai manusia Amerika sejati. Sementata Joe Biden yang demokrat makin tidak populer, pendukung Jokowi saat ini merasa paling Indonesia, paling Pancasila, paling toleran, paling nasionalis sehingga berhak berkuasa sekalipun dengan membajak demokrasi.

Orang lain, apalagi muslim, harus dicurigai sebagai un-Indonesia, intoleran dan anti-Pancasila. Jokowi dan para pendukungnya bisa melakukan apapun tanpa kontrol. DPR lumpuh, media mainstream hanya corong pemerintah, dan kampus asyik mengejar ranking world class university serta sibuk men-scopus. Akademisi yang kritis diintimidasi dengan tuduhan radikal, jika bukan teroris sehingga harus segera ditangkap atau dipecat.

Maladministrasi publik terjadi makin gila-gilaan di mana UU dibuat, ditafsirkan dan ditegakkan demi kepentingan oligarki, bukan kepentingan masyarakat, apalagi wong cilik. Wacana publik dan deliberasi di parlemen tidak terjadi karena anggota parlemen tidak mungkin bersuara lain selain suara partai politik yang sudah berkoalisi dengan penguasa. Hak-hak politik rakyat selesai di bilik-bilik suara Pemilu, tidak pernah dibawa ke Senayan.

One-man one-vote memang berlaku di bilik suara, tapi di gedung parlemen one voice of a parliament member shall count karena mewakili ratusan ribu suara pemilihnya. 

Ibu Kota Negara begitu mudah dipindahkan dari Jakarta ke sebuah wilayah yang secara geologi bermasalah. Belum lagi secara keamanan dan pertahanan, serta kebencanaan hidrometeorologi.

Bappenas bersikeras menganggap, persoalan struktural ekonomi nasional hanya bisa diterobos dengan memindahkan Ibu Kota Negara. Ini sejalan dengan pikiran rezim mega proyek-proyek infrastruktur.

Bukannya merancang kebijakan maritim yang lebih mendorong pemerataan dan memperkuat otonomi daerah. Membangun Ibu Kota Negara baru dianggap akan menjadi magnet baru yang sangat kuat yang akan mendorong pemerataan pembangunan.

Sambil melupakan peran penting Jakarta sebagai episentrum sejarah negeri ini, semua alasan diajukan untuk mensahkan proyek pemindahan Ibu Kota Negara ini, kecuali satu yang penting. Tidak saja nama Ibu Kota Negara bergesekan dengan UUD 2002 pasal 25a yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang bercirikan Nusantara.

Pandangan lama para elite bahwa setiap jengkal tanah negeri ini adalah aset, sementara manusia di atasnya adalah tagihan, maka IKN baru ini akan menjadi bukti terbaru tentang invasi para investor yang didukung oligarki atas masyarakat suku Paser yang tidak pernah sungguh-sungguh diajak bicara hingga hari ini.

Setelah mengalami semacam sindrom pemungut bagasi terakhir, metaversely, seperti hari-hari Republik AS sedang dihitung mundur, sayapun menghitung mundur atas nasib Republik di bentang alam Nusantara ini.

Gunung Anyar, 20/1/2022

Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version