Menunda Pemilu Buat Apa Dulu oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar
PWMU.CO– Sukses besar dua Ormas Islam terkemuka, soko guru NKRI menunda muktamarnya telah berhasil menularkan energi positif di ranah politik praktis. Ijtihad menunda Pemilu 2024 usulan partai politik bukan tanpa asbabul nuzul.
Dua ormas terbesar Islam itu telah menunjukkan sikap keteladanan yang dewasa. Bahwa kekuasaan bukanlah segalanya. Sebab berkhidmah kepada jamaah adalah hal yang utama. Tidak penting siapapun ketuanya.
Bahwa menunda muktamar bukan bermakna menahan kekuasaan agar lebih lama, tapi semata demi kemalashatan umat yang lebih banyak. Ijtihad yang amat bijak.
Jadi bukan soal telat atau ditundanya tanggal Pemilu tapi ikhtiar memperbaiki sistem demokrasi politik yang telah aus karena lapuk dimakan oligarki. Rakyat sedang tak butuh pemimpin politik baru. Tapi harga beras dan gula terjangkau. Pelayanan kesehatan dan pendidikan yang egaliter, akses demokrasi yang sehat dan suasana yang menyenangkan.
Bukankah Muhammadiyah dan NU juga telah menunda muktamarnya. Dengan berbagai pertimbangan positif dan negatifnya. Setidaknya penundaan mengindikasikan bahwa syahwat berkuasa sedikit bisa diredam dan itu baik. Di tengah kesengsaraan umum yang melanda negeri, maka ada baiknya pesta demokrasi ditunda barang sebentar.
Rakyat butuh recovery. Rehat sejenak, ngopi tipis-tipis, dan berhenti tidak bicara politik. Sementara politisi berikhtiar menunjukkan empatinya kepada situasi yang sulit untuk sedikit bersabar dan menahan diri. Berharap bisa ikut bekerja mengurai soal.
Dana puluhan triliun untuk Pemilu: Pilpres, Pileg, Pilgub, Pilbup, dan pil-pil yang lain bisa dipakai buat benahi urusan kebutuhan pokok rakyat daripada dipakai sewa kamar hotel timses, bayar buzzer, para orator, para makelar politik, terop, dan sound system buat kampanye.
Politik Ananiyah
Ketika politik ananiyah (egoisme) mengemuka di mana nafsu kuasa tak bisa dibenam, maka penundaan Pemilu menjadi solusi. Luka Pilpres pada Pemilu yang kemarin juga masih panas terasa. Lebamnya belum pulih. Wajah bopengnya masih jelas membekas. Maka penundaan Pemilu adalah sikap yang teramat bijak. Mungkin al-Mawardi dan Ibnu Khaldhun suka dengan pernyataan ini.
Setidaknya ada ruang untuk sejenak melupakan luka Pilpres tahun kemarin yang melelahkan, yang mendistorsi kebenaran, yang melembagakan keakuan di tengah publik dan hampir saja memecah belah bangsa, karena politik identitas entah siapapun pelakunya.
Energi positif dua ormas Islam terbesar pendiri NKRI itu semoga bisa memberkati dan menjadi teladan baik bagi bangsa yang sedang krisis keteladanan, yang bisa dijadikan uswah. Terus bisa bernasihat meski tak dihiraukan sama sekali. Yang mengurapi para pengasong kekuasaan dan mengajak pada pertaubatan massal.
Tapi siapa bisa setangguh Krisna yang keukeuh memberi wejangan kepada Arjuna yang mulai ragu dengan Baratayuda: untuk apa kemenangan jika saudaraku mati semua, keluhnya dalam Bagawat Gita.
Muhammadiyah dan NU telah menunjukkan kepada publik bahwa ditundanya muktamar adalah hal rasional yang lazim sebagai peristiwa politik sekaligus ikhtiar mendelegitimasi dan mendesakralisasi periode lima tahunan yang angkuh. Yang konon tak bisa diundur walau sedetik dan tak bisa dimajukan walau sesaat. Tapi kenapa harus lima tahun —bukan tujuh, sembilan, atau setahun sekali biar yang punya syahwat tinggi dapat banyak kesempatan bertarung meski terus kalah.
Tahayul Demokrasi
Periodesasi hanyalah semacam tahayul demokrasi yang diaminkan bersama, kata Socrates. Para pengagung khilafah mungkin sepemikiran dengan saya bahwa: orang bodoh tak layak dapat biting suara untuk memilih apalagi duduk di majelis syura mendengar pertanggungjawaban pemimpin.
Setegas Allen Pop: demokrasi tidak menjanjikan kesejahteraan tapi kebebasan. Kebebasan bila diberikan kepada orang dengan status sosial rendah akan dijual dengan harga murah.
Jadi apa ada jaminan bahwa demokrasi bakal bikin rakyat sejahtera? Apakah Pilpres ditunda akan mengakibatkan kiamat atau sebaliknya jika dilakukan tepat waktu akan memberi efek sejahtera? Nonsens kata Allen Pop.
Tapi ini politik. dunia yang tak mengenal pertemanan, kata Greg Barton dalam buku Menjerat Gus Dur — atau yang disebut oleh Ben Anderson tentang makin kerasnya politik identitas, sebab itu Habibie dan Gus Dur digulingkan oleh sesama santri. Kurang Islam apa Habibie. Kurang santri apa Gus Dur?
Jadi politik macam apa yang antum kehendaki: tergantung kamu pernah disakiti oleh siapa? Jawab Rustum, perdana menteri kepercayaan Khilafah Utsmaniyah Turki kepada calon putra mahkota yang kalah. Jadi apa salahnya menunda Pemilu jika dilakukan tepat waktu atau diundur, tidak menjanjikan perubahan apapun? (*)
Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post