Ayahku, Haji Poethoet Soegito

Ayahku
Ustadz Putut Sugito, kiri, bersama KH Syukri Zarkasyi.

PWMU.CO– Ayahku Haji Poethoet Soegito dipanggil di sisi Allah taala, Kamis (10/3/2022). Duka sedih sangat mendalam menyelimuti keluarga kami. Kehilangan seorang ayah yang penuh dengan teladan kehidupan.

Ayahku putra ragil dari sebelas bersaudara. Lahir di Desa Jetis, Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo awal tahun 1940. Tapi di KTP tertulis 27 Februari 1942. Dimudakan dua tahun. Namanya sekarang juga ditulis Putut Sugito.

Ayah dari ayahku bernama Raden Sumodiningrat alias Sayoko Surodiharjo dan ibunya bernama Sanikin. Mbah Sayoko merupakan tokoh masyarakat yang biasa memimpin doa-doa dalam kegiatan keagamaan. 

Sejak kecil ayahku diasuh oleh saudara kakek, Mbah Miskun. Mbah Miskun seorang yang dekat dengan agama. Ayah sering menyebutnya Wong Masyumi tulen.

Setiap Senin malam, Mbah Miskun mengantar dan menunggui ayah nyantri agama kepada Kiai Abdul Azis, tokoh Syarikat Islam (SI) Jintap Wonoketro, Jetis, Ponorogo. Kiai akrab dipanggil Mbah Azis. Sangat teguh masalah tauhid. Apapun tema ngajinya, ujung-ujungnya pasti ke tauhid.

Di Mbah Azis, ayah nyantri selama 13 tahun. Saking sayangnya Mbah Azis kepada ayah didaftarkan jadi pegawai Depag. Surat lamarannya Mbah Azis yang membuatkan.

Ayah juga sangat bangga dengan kiainya ini. Dalam banyak kesempatan menceritakan tentang sosoknya. Tulisan Arab ayah ngeblat gaya tulisan Arab Kiai Abdul Azis. Khatnya sama persis.

Ayah kecil tumbuh dalam masa pergolakan perjuangan kemerdekaan. Sekolah di Sekolah Rakyat bisa melanjutkan ke SMP Muhammadiyah Ponorogo. Ayah tumbuh dalam kondisi serba kekurangan dan sulit ekonomi.

Seringkali ayah bercerita hanya mempunyai satu celana untuk bersekolah. Setiap pagi ayah harus berjalan kaki memanggul rinjing berisi pindang dijual ke pasar oleh istri Mbah Miskun. Jarang makan. Hanya makan saat sore hari. Akhirnya menjadi kebiasaan. Selalu makan sedikit sampai akhir hayatnya.

Bentrok dengan PKI

Tahun 1948 adalah tahun duka bagi keluarga besar ayah. Kehilangan lima orang keluarga yang dibunuh PKI saat pemberontakan Madiun. Kekejaman PKI sangat membekas dalam diri ayah.

Ayah mulai berdakwah tahun 1956. Umur 16 tahun. Ceramah dari desa ke desa. Di usia itu ayah aktif di Muhammadiyah. Bermain bola di PSHW, main silat di Tapak Suci, juga aktif di Pemuda Muhammadiyah.

Tahun 1956 kepanduan HW Jetis Ponorogo mengirim kontingen ke Semarang mengikuti jambore se Jawa-Madura, ayah ikut jadi pesertanya. Ayah juga mengikuti muktamar Pemuda Muhammadiyah di masanya.

Tahun 1960-an tahun-tahun pergolakan yang hebat dakwah Islam berhadapan dengan PKI. Ayah aktivis dan tokoh Masyumi. Pengurus Pelajar Islam Indonesia (PII).  Juga ikut pergerakan KAMI/KAPPI menjadi Ketua Komisariat Ponorogo Selatan.

Di pertengahan 1960-an itu ayah juga menjadi Ketua Pemuda Muhammadiyah pertama di Ponorogo dan pendekar Tapak Suci.

Penampilan Garang

Ayah sejak muda berambut gondrong. Kumis dipelintir ke atas. Jenggot lebat sebagai jati diri Islam yang kuat. Kelihatan garang.

Suatu saat saya pernah bertanya, kenapa penampilannya seperti itu. Katanya, untuk mengimbangi kepongahan aktivis komunis saat itu. Orang Islam nyalinya harus besar dan mentalnya harus berani. ”Nyombongi wong sombong kuwi sedekah,” katanya sambil terkekeh.  

Gesekan dengan orang PKI sering terjadi. Mereka berani membubarkan pengajian atau selametan dengan mengedrop aktivis-aktivis PKI di acara itu.

Sebaliknya ayah juga berani membubarkan ludruk yang mementaskan lakon Patine Gusti Allah yang dimainkan orang-orang PKI.

Saat itu ayah dekat dengan Pondok Gontor. Seringkali Pak Syukri, panggilan akrab KH Syukri Zarkasyi, putra dari Mbah KH Imam Zarkasyi, pendiri Gontor, diutus ke rumah untuk koordinasi masalah keamanan Pondok Gontor. Ayah dijadikan polisi eksternal menjaga keamanan Pondok Gontor.

Sampai akhir hayatnya Pak Syukri sangat dekat dengan ayah. Setiap berpapasan di jalan, Pak Syukri pasti berhenti dan menyapa akrab. ”Pak Gito, wis madang urung, ayo madang?” (Pak Gito, sudah makan belum, ayo makan).

Pak Gito, panggilan akrab yang digunakan Pak Syukri dalam saling sapa dan ngobrol. Keduanya tidak pernah menggunakan bahasa kromo tapi ngoko menunjukkan kedekatannya.

Jadi Penghulu

Setelah pergolakan tahun 1960 sampai 1970-an, ayah fokus menjadi mubaligh  Muhammadiyah dan penghulu di Departemen Agama. Pagi sampai siang sore ayah bekerja di KUA. Sore sampai malam dan hari-hari libur, berkeliling dakwah memenuhi undangan pengajian.

Sampai sepuh ayah mengisi hari-harinya untuk pengajian. Pengajian besar maupun pengajian kecil di lingkungan RT atau keluarga.

Dalam kiprahnya ayah memang dekat dengan masyarakat. Ayah juga mengisi rutin pengajian ibu-ibu Aisiyah di Masjid Duwur Ponorogo selama bertahun-tahun sampai sepuh.

Ayah merupakan mubaligh Muhammadiyah yang mampu masuk ke segala lini masyarakat. Dari berbagai status sosial masyarakat hingga lintas ormas diterima dengan baik. Banyak masyarakat mengenalnya.

Dalam berdakwah ayah sering menggunakan prinsip ”Kena iwake aja nganti buthek banyune.” Tangkap ikannya jangan sampai keruh airnya.

”Teguh dalam prinsip, luwes dalam penampilan,” katanya. Jangan membeda-bedakan teman. ”Srawung (hubungan) dengan siapa saja untuk kebaikan.” ”Jangan merasa suci,” katanya lagi.

Bertauhid teguh dengan ungkapan yang sering disampaikan, ”Mobah mosik lara penak bejo ciloko sugih melarat urip mati ing astane Gusti Allah.” Artinya, lakukan yang bisa, sakit, enak, untung, celaka, kaya, miskin, hidup mati di tangan Tuhan Allah.  Juga berprinsip menjunjung tinggi Islam sampai akhir hayat.

Di zaman Reformasi 1998, ayah menjadi Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) Ponorogo. Saat Pemilu mendapatkan satu kursi sehingga ayah terpilih sebagai anggota DPRD Ponorogo 1999-2004.

Ayah punya lima anak. Tiga laki-laki, dua perempuan. Jika anak-anaknya berantem atau bersalah, ayah menghukumnya dengan hafalan surat-surat pendek. Ayah begitu cinta kepada anak-anaknya. Saat saya kecil, setiap ayah mau bersedekah, pasti uang itu diberikan kepada saya, supaya saya yang memberikannya. Hal ini sangatlah membekas di diri saya.

Ayahku telah tiada. Menorehkan teladan kebaikan yang sangat banyak. Di tahun-tahun akhir hayatnya aktivitasnya menulis al-Quran dan mengaji. Duduk di ruang tamu dengan al-Quran besar di hadapannya. Mengaji dengan suara yang lantang.

Selamat jalan Ayahku. Semoga engkau menjadi hamba mulia di sisiNya. Amiin.

Penulis Faruq Ahmad Futaqi  Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version