PWMU.CO– Manhaj gerakan Muhammadiyah dikupas tuntas oleh Dr Syamsudin, Wakil Ketua PWM Jatim, di Forum PDM Balapan (Banyuwangi, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Kota/Kabupaten Probolinggo, dan Kota/ Kabupaten Pasuruan).
Pertemuan diselenggarakan di Aula SMK Muhammadiyah Lumajang Jl. Slamet Wardoyo 103 Labruk Lor, Ahad (20/3/2022).
Acara mulai pukul 08.30, berakhir pukul 14.00 dihadiri PDM, PDA, Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, Majelis Waqaf, dan Ortom (IPM, IMM, PDPM, PDNA, PDHW, PD Tapak Suci).
Syamsudin menjelaskan, manhaj diperlukan untuk memahami, memaknai, dan mengembangkan gerakan dan pemikiran keagamaan.
Manhaj Islam berkemajuan (al-Islam altaqaddumiy) digunakan agar pemahaman, pemaknaan dan pengembangan yang diperoleh dari al-Quran dan Sunnah bisa dipertanggungjawabkan atas prinsip-prinsip agama dan akal pikiran.
”Kembali kepada al-Quran dan Sunnah merupakan penegasan tentang posisi dua sumber utama itu dalam pandangan keagamaan umumnya dan pemikiran hukum Islam khususnya,” katanya.
Ayat-ayat al-Quran dan Sunnah, sambung dia, dipahami dan dijelaskan dalam bentuk bayani. Yakni penafsiran atau uraian yang berlandasan pada teks dan kaidah kebahasaan. Atau bentuk ta’lili, yakni penentuan illat atau sebab sebagai dasar untuk memutuskan status hukum pada kasus yang berbeda.
Atau bentuk istishlahi, yakni penentuan hukum atas pertimbangan kemaslahatan. Prinsip yang terkandung di dalam al-Quran dan Sunnah dijadikan sebagai pijakan dasar yang tetap (tsawabit). Sementara pemahaman, implementasi dan manifestasi atas prinsip-prinsip dasar tersebut bersifat fleksibel (mutaghayyirat). Dikatakan, sunnah yang menjadi sumber ajaran Islam adalah sunnah maqbulah (yang diterima), yang diyakini secara ilmiah berasal dari Nabi Muhammadi saw.
Sunnah maqbulah tersebut bisa berupa hadis shahih lizatihi, shahih lighairihi, hasan lizatihi (karena hadis yang bersangkutan) ataupun hasan lighairihi (karena diperkuat hadis-hadis lain).
Istilah sunnah maqbulah menjadi penegasan atas penerimaan hadits-hadits yang sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam
Inti Islam
Syamsuddin menerangkan Islam adalah agama yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Ajaran tersebut terdiri dari akidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah.
Ajaran akidah menyangkut keyakinan dasar agama yang wajib dipercayai oleh umat Islam. Akidah bersumber dari wahyu, dan karena itu harus bersih dari syirik, takhayul, dan khurafat, yang tidak ditemukan landasannya dalam al-Quran atau Sunnah.
Pendekatan rasional terhadap akidah yang tercermin dalam tradisi Kalam atau Ilmu Kalam adalah upaya yang mungkin terus dilakukan sepanjang tidak menyimpang dari tauhid.
Ibadah adalah konsekuensi logis dari ketertundukan seorang muslim terhadap Allah, dan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan al-Quran atau Sunnah, dan bersih dari bid’ah.
Pemahaman terhadap ketentuan itu adalah usaha manusia yang tercermin dalam perkembangan fikih ibadah yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat.
Ajaran tentang akhlak berkaitan dengan prinsip-prinsip normatif yang menegaskan dan membedakan antara perbuatan yang mulia (al-karimah) dan yang rendah (alradzilah) dalam hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan hewan, dan manusia dengan alam.
Ajaran tentang mu’amalah menyangkut ketentuan bagaimana mengelola dunia ini dengan sebaik-baiknya dan mendinamisasi kehidupan sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Dalam hal ajaran tentang muamalah (duniawiyah) ini terbuka kemungkinan yang luas untuk pengembangan sesuai dengan tuntututan perubahan zaman dan tempat atas dasar kemaslahatan umum.
Tiga Pendekatan
Dalam memahami ajaran agama manhaj gerakan Muhammadiyah digunakan tiga pendekatan, yakni bayani (nash, kebahasaan), burhani (rasional) dan irfani (spiritual).
Pendekatan bayani digunakan untuk memahami agama yang didasarkan atas petunjuk teks atau bahasa dari al-Quran dan Sunnah. Merupakan pendekatan paling dasar dalam memahami agama.
Rujukan pertama dari ketentuan agama berasal dari wahyu. Kemudian akal menghubungkan persoalan baru dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh teks-teks keagamaan.
Pendekatan burhani digunakan untuk memahami ajaran agama dengan akal pikiran. Manifestasi penggunaan akal di dalam proses ijtihad terdapat pada kaidah berpikir yang logis, penelitian ilmiah yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta refleksi atas fenomena alam untuk membaca tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah swt.
Pendekatan irfani digunakan untuk menggali makna melalui pengalaman spiritual. Dalam tradisi Islam, pengalaman spiritual itu disebut dengan dzauq (rasa), bashirah (mata batin), qalb (hati), wijdan (gerak batin), dan sirr (rahasia).
Pendekatan irfani lebih menekankan substansi rasa untuk menghayati kehadiranNya, rasa untuk berempati pada sesama manusia, kearifan untuk mempertahankan kemaslahatan dan menghidari kemudaratan, serta untuk menghindari keterikatan kuat dengan hal-hal duniawi yang syubhat dan haram.
Pendekatan bayani, burhani dan ‘irfani digunakan secara serentak sehingga bisa terlihat aneka persoalan melalui pandangan yang utuh, mendalam dan komprehensif. Penggunaan tiga pendekatan itu dapat dilihat dalam berbagai dokumen pemikiran Muhammadiyah, seperti Teologi Lingkungan, Fikih Kebencanaan, Fikih Kesejahteraan Sosial, Fikih Tata Kelola, Fikih Zakat Kontemporer, Fikih Air, Fikih Difabel, dan Risalah Akhlak Islami, ujarnya.
Madzhab
Syamsuddin menyampaikan bahwa dalam perjalanan kehidupan umat Islam, telah lahir berbagai madzhab yang merupakan hasil ijtihad untuk memahami ajaran Islam, khususnya dalam bidang fikih, teologi dan tasawuf.
Perkembangan madzhab-madzhab tersebut merupakan kekayaan tradisi yang sangat berharga. Merujuk kepada al-Quran dan Sunnah dan mempertimbangkan perubahan zaman yang terus menerus terjadi, maka keperluan terhadap ijtihad tidak bisa diabaikan.
Karena itu, pemahaman baru tetap terbuka dan keterikatan terhadap suatu madzhab tertentu tidak memungkinkan. Sikap ini tidak berarti anti-madzhab atau tidak mempertimbangkan pandangan-pandangan ulama madzhab.
Madzhab-madzhab yang pernah lahir dalam sejarah sangat berharga untuk dikaji, dipertimbangkan dan diambil manfaatnya. Kemungkinan melahirkan fatwa baru yang belum pernah dikeluarkan sebelumnya atau bahkan mengubah fatwa yang pernah dikeluarkan tetap terbuka.
Prinsip tarjih (mengambil yang lebih kuat) digunakan pada saat berhadapan dengan aneka sumber nash dan pendapat yang mengandung pertentangan.
Dalam mencari dalil yang kuat di antara dalil-dalil yang bertentangan, dan mencari pendapat yang lebih kuat, prinsip kemasalahatan bisa dijadikan sebagai pertimbangan lebih lanjut.
Dalam kaitannya dengan teks, prinsip tarjih (menguji validitas nash) digunakan untuk menghasilkan pendapat atas dalil yang râjih (kuat) dan dalil yang marjuh (kurang kuat) untuk dijadikan pedoman dan dasar amalan.
Bersamaan dengan itu, menghormati perbedaan adalah sikap yang paling baik. Sebab, di balik pendapatpendapat yang marjuh mungkin terdapat dalil yang menyebabkannya berada dalam koridor Islam. Dengan demikian, perbedaan pendapat dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam harus disikapi dengan semangat ukhuwah, jelasnya.
Tasawuf
Sejalan dengan orientasi non-madzhab ini, dalam bidang tasawuf telah dibangun pandangan tersendiri. Bentuk tasawuf yang berkemajuan adalah tasawuf akhlaki (moral), ihsani (etos), dan ijtima’i (sosial).
Ini bermakna bahwa dalam mengamalkan tasawuf seorang muslim tidak perlu mengikatkan diri kepada satu aliran atau tarekat sufi tertentu, melainkan membawa sikap sufistik dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk yang tidak terbatas pada persoalan ritual. Sebaliknya, tasawuf akhlaki, ihsani dan ijtima’i diwujudkan dalam bentuk-bentuk kesalehan sosial.
Semangat filantropis dan kesederhanaan hidup yang berkembang di kalangan masyarakat Muslim adalah perwujudan dari tasawuf semacam itu.
Dengan demikian, pemahaman dan praktik tasawuf menjadi lebih kontekstual dan luwes, dan lebih dari itu membawa tasawuf hidup, berkembang, bersenyawa, dan menyatu dalam kehidupan duniawi.
Ini merupakan pandangan revisionis atas tasawuf yang selama ini dilekatkan dengan kehidupan yang isolatif dan asosial.
“Tasawuf merupakan elemen yang hadir dan menyatu dalam setiap tindakan manusia di semua bidang kehidupan. Aktivitas duniawi, seperti sosial, hukum, ekonomi, atau politik, semuanya harus mengandung dimensi spiritual,” tandas Syamsuddin di akhir penjelasan manhaj gerakan. (*)
Penulis Nurul Mawaridah Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post