PWMU.CO – Mengembangkan Religiusitas yang Mencerahkan di Era Disrupsi menjadi tema yang diusung pada Pengajian Ramadhan tahun 1443 H/2022 M Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Selasa (5/4/2022)
Hal ini, menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi, ada dua pertimbangan yang mendasari dipilihnya tema tersebut.
“Pertimbangan pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam (al-Harakat al-Islamiyyah, Islamic Movement) seyogyanya menghidupkan tajuk-tajuk keislaman yang khas (al-masail al-diniyah al-khasah),” paparnya.
Dengan menghidupkan tajuk keislaman yang khas itu, sehingga isi dan tampilan dakwah Muhammadiyah semakin kuat sebagai gerakan Islam yang membawa misi dakwah dan tajdid dalam posisi sebagai organisasi keagamaan.
“Jangan hanya isu-isu umum yang terus menerus menjadi perhatian warga Muhammadiyah, termasuk melalui media sosial yang telah menjadi media interaksi dan komunikasi publik yang meluas menjadi realitas dunia baru saat ini,” tuturnya menginginkan.
Pertimbangan kedua, dengan adanya masalah-masalah besar dalam kehidupan umat manusia saat ini, khususnya akibat revolusi sains dan teknologi informasi yang melahirkan disrupsi atau perubahan besar-besaran, diperlukan penguatan aspek religiusitas Islam yang mencerahkan.
“Ini sebagai panduan kehidupan manusia agar menjalani hidup dengan benar, lurus, dan autentik sekaligus membawa kemajuan yang maslahat,” ucap Haedar Nashir.
Mengingatkan Ihya Ulumuddin
Menurutnya, mengembangkan religiusitas yang mencerahkan dalam khazanah Islam mengingatkan kaum muslimin pada karya terbesar Imam Al-Ghazali (1058/450 H–1111/505 H) yakni Ihya Ulumuddin atau Al-Ihya. Kitab yang mengupas tentang hakikat kehidupan muslim untuk menyucikan jiwa (Tazkiyatun al-Nafs) untuk perilaku mulia.
“Al-Ghazali dengan filsafat akhlaknya mengajarkan hikmah dan etika kehidupan yang utama. Dalam beramar-makruf dan nahi munkar, Syaikh al-Islam itu memberikan panduan tentang syarat-syarat dan Adab Amar Makruf Nahi Munkar,” terang guru besar bidang sosiologi UMY tersebut.
Haidar menjelaskan, kelemahan Al-Ihya karena memuat hadits-hadits yang lemah sanadnya, lalu diperbaiki oleh Ibnu Jauzi yang menghasilkan kitab Minhajul Qashidin Wa Mufidush Shadiqin.
“Karya mutakhir yang mengangkat tema senada ialah kitab Tanwir al-Qulub Fi Mu’analati ‘Alami al-Ghuyub karya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (wafat 1913M), ulama besar Al-Azhar, sekaligus syeikh tarikat bermazhab Syafii,” jelasnya.
Karya sufisme tersebut menekankan pentingnya pencerahan hati untuk menjadi “manusia bumi, manusia langit”, meski selalu ada problem di sekitar tarekat dan sufisme.
Sementara itu, imbuh Haedar, karya terkenal di lingkungan umat Islam Asia Tenggara dan Muhammadiyah ialah Tasawuf Modern karya Buya Hamka, yang mengajarkan sufisme yang bebas dari unsur-unsur tarekat dan lebih mengedepankan ajaran akhlak yang spiritualistik atau religiusitas yang aktual.
“Muhammadiyah dalam Tanwir Bengkulu 2019 melahirkan Risalah Pencerahan sebagai bagian dari pandangan Islam Berkemajuan untuk menjadi panduan keberagamaan yang mencerahkan khususnya di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah,” terang Haedar. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni